macam-macam mahrom
Mahrom di sini terbagi menjadi
dua macam: [1] Mahrom muabbad, artinya tidak boleh dinikahi selamanya; dan [2]
Mahrom muaqqot, artinya tidak boleh dinikahi pada kondisi tertentu saja dan
jika kondisi ini hilang maka menjadi halal. Berikut kami rinci secara ringkas.
Mahrom Muabbad
Mahrom muabbad dibagi menjadi
tiga: [1] Karena nasab, [2] Karena ikatan perkawinan (mushoharoh), [3] Karena
persusuan (rodho’ah).
[1] Mahrom muabbad karena nasab
ada tujuh wanita:
Pertama: Ibu.
Yang termasuk di sini adalah ibu
kandungnya, ibu dari ayahnya, dan neneknya (dari jalan laki-laki atau
perempuan) ke atas.
Kedua: Anak perempuan.
Yang termasuk di sini adalah anak
perempuannya, cucu perempuannya dan terus ke bawah.
Ketiga: Saudara perempuan.
Keempat: Bibi dari jalur ayah
(‘ammaat)
Yang dimaksud di sini adalah
saudara perempuan dari ayahnya ke atas. Termasuk di dalamnya adalah bibi dari
ayahnya atau bibi dari ibunya.
Kelima: Bibi dari jalur ibu
(khollaat)
Yang dimaksud di sini adalah saudara
perempuan dari ibu ke atas. Termasuk di dalamnya adalah saudara perempuan dari
ibu ayahnya.
Keenam dan ketujuh: Anak
perempuan dari saudara laki-laki dan saudara perempuan (keponakan).
Yang dimaksud di sini adalah anak
perempuan dari saudara laki-laki atau saudara perempuannya, dan ini terus ke
bawah.
[2] Mahrom muabbad karena ikatan
perkawinan (mushoro’ah) ada empat wanita:
Pertama: Istri dari ayah.
Kedua: Ibu dari istri (ibu
mertua). Ibu mertua ini menjadi mahrom selamanya (muabbad) dengan hanya sekedar
akad nikah dengan anaknya (tanpa mesti anaknya disetubuhi), menurut mayoritas
ulama. Yang termasuk di dalamnya adalah ibu dari ibu mertua dan ibu dari ayah
mertua.
Ketiga: Anak perempuan dari istri
(robibah). Ia bisa jadi mahrom dengan syarat si laki-laki telah menyetubuhi
ibunya. Jika hanya sekedar akad dengan ibunya namun belum sempat disetubuhi,
maka boleh menikahi anak perempuannya tadi. Yang termasuk mahrom juga adalah
anak perempuan dari anak perempuan dari istri dan anak perempuan dari anak
laki-laki dari istri.
Keempat: Istri dari anak
laki-laki (menantu). Yang termasuk mahrom juga adalah istri dari anak
persusuan.
[3] Mahrom muabbad karena persusuan
(rodho’ah):
Wanita yang menyusui dan ibunya.
Anak perempuan dari wanita yang
menyusui (saudara persusuan).
Saudara perempuan dari wanita
yang menyusui (bibi persusuan).
Anak perempuan dari anak
perempuan dari wanita yang menysusui (anak dari saudara persusuan).
Ibu dari suami dari wanita yang
menyusui.
Saudara perempuan dari suami dari
wanita yang menyusui.
Anak perempuan dari anak
laki-laki dari wanita yang menyusui (anak dari saudara persusuan).
Anak perempuan dari suami dari
wanita yang menyusui.
Istri lain dari suami dari wanita
yang menyesui.
Adapun jumlah persusuan yang
menyebabkan mahrom adalah lima persusuan atau lebih. Inilah pendapat Imam Asy
Syafi’i, pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad, Ibnu Hazm, Atho’ dan Thowus.
Pendapat ini juga adalah pendapat Aisyah, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Zubair.
Mahrom Muaqqot
Artinya, mahrom (dilarang
dinikahi) yang sifatnya sementara. Wanita yang tidak boleh dinikahi sementara
waktu ada delapan.
Pertama: Saudara perempuan dari
istri (ipar).
Tidak boleh bagi seorang pria
untuk menikahi saudara perempuan dari istrinya dalam satu waktu berdasarkan
kesepakatan para ulama. Namun jika istrinya meninggal dunia atau ditalak oleh
si suami, maka setelah itu ia boleh menikahi saudara perempuan dari istrinya
tadi.
Kedua: Bibi (dari jalur ayah atau
ibu) dari istri.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ
عَلَى خَالَتِهَا
“Tidak boleh seorang wanita
dimadu dengan bibi (dari ayah atau ibu) -nya.” (HR. Muslim no. 1408)
Namun jika istri telah dicerai
atau meninggal dunia, maka laki-laki tersebut boleh menikahi bibinya.
Ketiga: Istri yang telah bersuami
dan istri orang kafir jika ia masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ
“Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu.” (QS. An Nisa’:
24)
Jika seorang wanita masuk Islam
dan suaminya masih kafir (ahli kitab atau agama lainnya), maka keislaman wanita
tersebut membuat ia langsung terpisah dengan suaminya yang kafir. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ
مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ
لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ وَآَتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا
آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka
janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang
telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar
kepada mereka maharnya.” (QS. Al Mumtahanah: 10)
Keempat: Wanita yang telah
ditalak tiga, maka ia tidak boleh dinikahi oleh suaminya yang dulu sampai ia
menjadi istri dari laki-laki lain.
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ
طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ
مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ
زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا
جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ
ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ
اللَّهِ
“Kemudian jika si suami
mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal
baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain
itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan
isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah.” (QS. Al Baqarah: 230)
Kelima: Wanita musyrik sampai ia
masuk Islam.
Allah Ta’ala berfirman,
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلَأَمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ
وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
“Dan janganlah kamu menikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al
Baqarah: 221)
Yang dikecualikan di sini adalah
seorang laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab. Ini dibolehkan berdasarkan
firman Allah Ta’ala,
الْيَوْمَ
أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ
الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حِلٌّ
لَكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلٌّ لَهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ إِذَا
آَتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلَا
مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
“Pada hari ini dihalalkan bagimu
yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal
bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (Dan dihalalkan mangawini)
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al
Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik.” (QS. Al Maidah: 5)
Adapun wanita muslimah tidak
boleh menikah dengan laki-laki ahli kitab atau laki-laki kafir. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
فَإِنْ
عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى
الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ
لَهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ
“Maka jika kamu telah mengetahui
bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada
(suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. Al
Mumtahanah: 10)
Keenam: Wanita pezina sampai ia
bertaubat dan melakukan istibro’ (pembuktian kosongnya rahim).
Tidak boleh menikahi wanita
pezina kecuali jika terpenuhi dua syarat:
(a) Wanita tersebut bertaubat.
Allah Ta’ala berfirman,
الزَّانِي
لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ
مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا
زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ
ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak
mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan
perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina
atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang
mukmin” (QS. An Nur: 3)
Dengan taubat-lah yang akan
menghilangkan status sebagai wanita pezina. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
التَّائِبُ
مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ
لَهُ
”Orang yang bertaubat dari suatu
dosa seakan-akan ia tidak pernah berbuat dosa itu sama sekali.” (HR. Ibnu Majah
no. 4250. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
(b) Istibro’ yaitu menunggu satu
kali haidh atau sampai bayi dalam kandungannya lahir. Inilah pendapat Imam
Ahmad dan Imam Malik. Inilah yang lebih tepat.
Dalilnya adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ
تُوطَأُ حَامِلٌ حَتَّى تَضَعَ
وَلاَ غَيْرُ ذَاتِ حَمْلٍ
حَتَّى تَحِيضَ حَيْضَةً
“Wanita hamil tidaklah disetubuhi
hingga ia melahirkan dan wanita yang tidak hamil istibro’nya (membuktikan
kosongnya rahim) sampai satu kali haidh.”[2] (HR. Abu Daud no. 2157. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Ketujuh: Wanita yang sedang ihrom
sampai ia tahallul.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لاَ
يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ
يَخْطُبُ
“Orang yang sedang berihram tidak
diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.” (HR. Muslim no. 1409,
dari ‘Utsman bin ‘Affan)
Kedelapan: Tidak boleh menikahi
wanita kelima sedangkan masih memiliki istri yang keempat.
Allah Ta’ala berfirman,
فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ
النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ
“Maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat” (QS. An Nisa’: 3)
Bagi kaum muslimin dilarang
menikahi lebih dari empat istri. Kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
boleh menikahi lebih dari empat istri dan boleh menikah tanpa mahar.
0 Response to "macam-macam mahrom"
Post a Comment