KAWIN SIRIH (Teori Pendekatan sosiologi dalam kajian islam)


 KAWIN SIRIH

 Teori Pendekatan sosiologi dalam kajian islam (kawin siri)

Kaitannya dengan pendekatan sosiologi. Minimal ada tiga teori yang bisa digunakan dalam peneitian, yaitu: teori fungsional, teori interaksional, dan teori konflik. Tapi ada juga yang menambahkan dua teori lainnya, yaitu teori peranan dan teori kepentingan.

1.      Teori fungsional
Teori fungsional yakni teori yang mengasumsikan masyarakat Sebagai organisme ekologi mengalami pertumbuhan. Semakin besar pertumbuhan terjadi semakin kompleks pula masalah-masalah yang akan dihadapi. Maka yang menjadi kajian penelitian agama dengan pendekatan sosiologi dengan teori fungsional adalah dengan melihat atau meneliti fenomena masyarakat dari sisi fungsinya.  

Adapun teori yang berhubungan dengan teori fungsi adalah teori peran. Peran disini maksudnya adalah, seperangkat tindakan yang diharapkan yang akan dimiliki seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Berperan berarti bertindak atau bermain sebagai. Sedangkan peranan adalah tindakan yang dilakukan sesorang dalam suatu peristiwa . Hubungan peran dan status, baahwa peran tidak dapat dipisahkan dari status. Adapun pengertian status adalah tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial sehubungan dengan orang-orang lain dalam kelompok tersebut . Ada dua jenis status atau kedudukan:

a. Ascribe status, status yang didapat seseorang secara otomatis, tanpa usaha atau tanpa memerhatikan kemampuan. Misalnya status bangsawan, atau kasta yang diperoleh sejak lahir dari orang tua.
b.  Achieve status, status yang diperoleh seseorang dengan usaha yang disengaja sesuai dengan kemampuannya.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam menggunakan teori fungsional antara lain : (a) Membuat identifikasi tingkah laku sosial yang problematic, (b) mengidentifikasi konteks terjadinya tingkah laku yang menjadi obyek penelitian. (c) Mengidentifikasi konsekuensi dari satu tingkah laku sosial.

Masalah dalam masyarakat tentang nikah siri yaitu ketika menilai fenomena nikah siri  yang kini terjadi di masyarakat Indonesia sudah disalahgunakan. "Sekarang ini  nawaitu-nya (niat) sudah benar-benar salah. Mereka yang menikah untuk yang kedua, dan seterusnya sebagian besar menikah dengan alasan hawa nafsunya" ujar Dadang. Sementara zaman Rasul dulu, pernikahan kedua dan kesekian dilakukan untuk mengangkat derajat wanita. 

Pernikahan  sirri sekarang sekarang ini, kata Badriah banyak dijadikan solusi oleh kaum pria  untuk mengambil enaknya saja, terutama secara seksual. Sementara sisi lain kebutuhan wanita diabaikan begitu saja. "Padahal perempuan itu kan tidak  hanya ingin kebutuhan biologis saja, namun juga banyak kebutuhan lainnya. Dan ini yang tidak bisa terpenuhi dari pernikahan yang hanya berorientasi pada seks saja", ujarnya Badriah juga menyebut pernikahan sirri tidak bisa menjerat kaum pria dengan aturan hukum apapun jika ia melalaikan kewajibannya. "Secara agama ia pasti akan mempertanggung jawabkan perbuatannya di akhirat, tapi di dunia, jika tidak diatur secara negara ia tidak bisa dikenakan pasal apapun", jelasnya.

Karena itu ia menyatakan seharusnya tidak usah dipertentangkan status hukum menikah secara agama atau tidaknya. "Jangan ipertentangkan, namun dilihat  bahwa apa yang dilakukan negara merupakan upaya memperkuat dan melindungi ikatan yang sudah dibuat oleh agama", jelasnya. Aturan negara ini juga memiliki konsekuensi hukum yang akan mengikat para pelakunya.  "Sehingga ketika mereka tidak bertanggung jawab secara agama, maka ada aturan hukum yang mengaturnya", ujarnya. 

Karena itu dengan tegas, Dadang menyatakan bahwa pernikahan apapun selain yang tercatat secara resmi di negara hukumnya tidak sah. "Itu (nikah sirri) tidak sah karena tidak tercatat secara resmi" ujarnya. Menurut Dadang (2006: 83), riwayat pernikahan sirri zaman dahulu berbeda dengan sekarang. Dulu belum ada negara dan belum ada administrasi yang mengaturnya. Namun kini, segala urusan termasuk pernikahan sudah diatur dan harus tercatat secara resmi. "Bukan hanya untuk kepentingan negara melainkan juga demi menjaga kehormatan wanita" tegasnya. 

2.      Teori Interaksionisme
Teori Interaksionisme yang mengasumsikan dalam masyarakat pasti ada hubungan anatara masyarakat dengan individu, antara individu dengan individu lain. Teori Interaksionis sering diidentifikasi sebagai deskripsi yang interpretatif yaitu suatu pendekatan yang menawarkan analisis yang menarik perhatian besar pada pembekuan sebab senyatanya ada. Ada sejumlah kritik muncul pada teori ini yakni : (a) Menggunakan analisis yang kurang ilmiah, karena teori ini menghindari pengujian hipotesis, menjauhi hubungan sebab akibat. (b) Teori ini terlalu memfokuskan pada proses sosial yang terjadi ditingkat makro. (c) Teori ini terlalu mengabaikan kekuasaan. Kemudian prinsip yang digunakan interaksionisme adalah (a) Bagaimana individu menyikapi sesuatu yang ada dilingkungannya (b) Memberikan makna pada fenomena tersebut berdasarkan interaksi sosial yang dijalin dengan individu lain. (c) Makna tersebut dipahami dan dimodifikasi oleh individu melalui proses interprestasi atau penafsiran yang berkaitan dengan hal-hal lain yang dijumpainya.

3.      Teori Konflik
Teori konflik yakni teori yang kepercayaan bahwa setiap masyarakat mempunyai kepentingan (interst) dan kekuasaan (power) yang merupakan pusat dari segala hubungan sosial. Menurut pemegang aliran ini nilai dan gagasan-gagasan selalu dipergunakan sebagai senjata untuk melegitimasi kekuasaan. Teori-teori yang berhubungan dengan pendekatan sosiologi adalah teori-teori perubahan sosial yakni teori evolusi, teori fungsionalis structural,teori modernisasi,teori sumber daya manusia,teori ketergantungan,dan teori pembebasan.[1]

a.      Perspektif Struktural Fungsional
Perspektif struktural fungsional banyak dipengaruhi oleh ilmu-ilmu alam khususnya oleh ilmu biologi. Perspektif ini menganalogikan masyarakat seperti mahluk hidup atau yang dikenal dengan istilah “organisme”. Masyarakat terdiri dari berbagai unsur yang saling berhubungan dan menjalankan fungsinya masing-masing. Ralp Dahrendorf mengemukakan empat asumsi dasar dari perspektif ini, yaitu:
a)      Setiap masyarakat merupakan suatu struktur unsur yang relatif gigih dan stabil.
b)      Mempunyai struktur unsur yang terintegrasi dengan baik.
c)      Setiap unsur dalam masyarakat mempunyai fungsi, memberikan sumbangan pada terpeliharanya masyarakat sebagai suatu sistem.
d)     Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada konsensus mengenai nilai di kalangan para anggotanya.
Menurut perspektif struktural fungsional masyarakat merupakan suatu sistem yang unsur-unsurnya saling tergantung dan berhubungan. Bagi perspektif ini individu dibentuk oleh masyarakat, dan ini merupakan fungsi penting yang harus dilakukan oleh masyarakat. Sedangkan perubahan sosial menurut perspektif ini akan mendapat perlawanan dari sistem sosial yang ada dalam masyarakat.

Penjelasan perspektif struktural fungsional menitik beratkan pada konsep-konsep integrasi, saling ketergantungan, stabilitas, equilibrium atau titik keseimbangan.Tokoh-Tokoh dari perspektif struktural fungsional di antaranya adalah Aguste Comte, Turner, Herbert Spenser, Emile Durkheim, Talcott Parsons, dan Robert K. Merton.

b.      Perspektif Interaksionisme Simbolik
Perspektif Interaksionisme simbolik dikembangkan dari konsep interaksi sosial. Interaksi sosial menurut perpektif ini merupakan bagian yang penting dari masyarakat. Menurut Turner, ada empat asumsi dasar yang mendasari perspektif interaksionisme simbolik yaitu :
a)      Manusia merupakan makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol.
b)      Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi.
c)      Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (terjadi melalui role taking).
d)     Masyarakat tercipta, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, untuk mendefinisikan, untuk melakukan renungan, dan untuk melakukan evaluasi.
Perspektif Interaksionisme simbolik melihat masyarakat sebagai kumpulan individu-individu yang berinteraksi secara tatap muka dan membentuk konsensus sosial. Perkembangan diri (kepribadian) individu berasal dari komunikasi dan interaksi sosial. Perubahan sosial bagi perspektif ini terjadi ketika tidak ada lagi konsensus bersama mengenai perilaku yang diharapkan. Perubahan itu termasuk dikembangkannya pencapaian konsensus yang baru. Perspektif ini menekankan pada konsep-konsep interpretasi, konsensus, simbol-simbol, adanya harapan-harapan bersama, dan kehidupan sosial membentuk kenyataan sosial.

Para tokoh yang mengembangkan perspektif interaksionisme simbolik diantaranya adalah Georg Simmel dan Max Weber, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey, George Herbert Mead, W.I. Thomas, Herbert Blumer, Erving Goffman, dan Peter Berger.

Dalam kaitannya dengan studi agama (Islam) sebagai gejala sosial, pada dasarnya bertumpu pada konsep sosilogi agama. Awalnya sosiologi agama mempelajari hubungan timbal balik antara agama dan masyarakat. Belakangan sosiologi agama mempelajari bagaimana agama mempengaruhi masyarakat dan bisa juga sebaliknya, bagaimana masyarakat mempengaruhi konsep agama. Dalam kajian sosiologis agama dapat berposisi independent variable maupun dependent variable. Sebagai dependent variable berarti agama dipengaruhi faktor unsur lain. Sementara sebagai independent variable berarti Islam mempengaruhi faktor/unsur lain.Misalnya contoh dependent variable adalah bagaimana budaya masyarakat Yogyakarta mempengaruhi resepsi perkawinan Islam  ( muslim Yogyakarta). Kemudian Islam sebagai independent variable adalah bagaimana Islam mempengaruhi tingkah laku muslim Yogyakarta.[2]

Melalui pendekatan sosiologis, agama akan dapat dipahami dengan mudah, karena agama itu sendiri  diturunkan untuk kepentingan sosial, Dalam Al-qur’an misalanya kita jumpai ayat-ayat yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan manusia lainnya,sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kemakmuran suatu bangsa,dan sebab-sebab yang menyebabkan terjadinya kesengsaraan. Semua itu jelas baru dapat dijelaskan apabila yang memahaminya mengetahui sejarah sosial pada saat ajaran agama itu diturunkan.



BAB III
KESIMPULAN
Pendekatan sosiologis dalam bidang studi Islam adalah Adapun yang dimaksud dengan pendekatan di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama. Dalam hubungan ini Jamaluddin Rakhmat mengatakan bahwa agama dapat diteliti dengan menggunakan berbagai paradigma realitas agama yang diungkapkan mempunyai nilai kebenaran sesuai dengan kerangka paradigmanya. Oleh karena itu, tidak ada persoalaan apakah penelitian agama itu, penelitian ilmu sosial, penelitian legalistis, atau penelitian filosofis. Dengan pendekatan ini semua orang dapat sampai pada agama. Di sini dapat dilihat bahwa agama bukan hanya monopoli kalangan teolog dan normalis, melainkan agama dapat dipahami semua orang sesuai dengan pendekatan dan kesanggupannya. Oleh karena itu, agama hanya merupakan hidayah Allah dan merupakan suatu kewajiban manusia sebagai fitrah yang diberikan Allah kepadanya.

Paradigma sosiologi lahir dari teori-teori sosiolog dari masa klasik hingga era modern ini. Menurut Thomas khun mengatakan bahwa paradigma sosiologi berkembang secara revolusi bukan secara kumulatif seperti pendapat sosiolog sebelumnya. Khun menyekemakan munculnya paradigm sebagai berikut: Paradigma I→ Normal Science→ Anomalies→ Crisis→ Revolusi→ Paradigma II Dalam displin ilmu sosiologi agama, terdapat berbagai logika teoritis (pendekatan) yang dikembangkan sebagai perspektif utama sosiologi yang seringkali digunakan sebagai landasan dalam melihat fenomena keagamaan di masyarakat. Di antara pendekatan itu yaitu: perspektif fungsionalis, pertukaran, interaksionisme simbolik, konflik, teori penyadaran dan ketergantungan. Masing-masing perspektif itu memiliki karakteristik sendiri-sendiri bahkan bisa jadi penggunaan perspektif yang berbeda dalam melihat suatu fenomena keagamaan akan menghasilkan suatu hasil yang saling bertentangan. Pembahasan berikut ini akan memaparkan bagaimana keempat perspektif tersebut dalam melihat fenomena keagamaan yang terjadi di masyarakat.

 Secara Sosiologis
Didalam masyarakat sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab itu mempunyai arti, bahwa dalam kehidupan ini, kita harus bisa adil terhadap diri sendiri atau terhadap orang lain. Karena pada dasarnya manusia itu bersifat inndividu dan sosial, dan sifat itu merupakan kodrat dari manusia. 
Masyarakat Indonesia selalu menyeimbangkan dua sifat kodat tersebut yang ajarannya terkandung dalam ajaran Pancasila, sehingga Pancasila merupakan ajaran keseimbangan hidup dalam bermasyarakat dan berbangsa.


[1] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam, ( Jogjakarta : academia,2010) hlm 206
[2] Khoiruddin Nasution, Pengantar Studi Islam,Ibid,hlm 207

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KAWIN SIRIH (Teori Pendekatan sosiologi dalam kajian islam)"

Post a Comment