SIKAP TOLERANSI AGAMA
TOLERANSI AGAMA
- Sikap
toleransi dan kerukunan antar umat beragama
Dengan tumbuhnya pengetahuan tentang agama-agama lain,
menimbulkan sikap saling pengertian dan toleran kepada orang lain dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga tumbuh pula kerukunan hidup beragama
dimungkinkan karena agama-agama memiliki dasar ajaran hidup rukun. Semua agama
menganjurkan untuk senantiasa hidup damai dan rukun dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari.
Islam secara positif mendukung kerukunan hidup baragama,
sikap kerukunan hidup yang tertanam dalam setiap peribadi muslim adalah
berdasarkan atas pelajaran al-quran dan as-sunnah, antara lain dapat
diperhatikan surat Al-imran ayat 64. Panggilan kepada ahli kitab andai kata
mereka tidak memperhatikan, maka ucapan bagi mereka ialah “ ketahuilah bahwa
kami selaku orang islam” kepa orang
kafir pun terdapat penggarisan untuk menunjukan toleran sebagaimana terdapat
dalam surat Al-Kafirun ayat 1-5. Kemudian ayat lebih umum, sebagai mana dalam
surat Asy-syura ayat 15”….Allahlah Tuhan kami dan tuhan kamu. Bagi kami
amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak ada pertengkaran antar kami
dan kamu. Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita). Jadi
umat islam sudah terpinpin dengan Al-quran untuk hidup rukun bersama umat agama
islam. Dan dalam
berdakwah pun orang islam di beri garis yang jelas yaitu tidak di benarkan
melakukan paksaan untuk menarik orang yang berlainan agama menjadi penganut
islam, bagi umat islam pengembangan rasa hormat menghormati sudah menjadi satu
dalam pribadinya. Masih banyak ayat-ayat dalam Al-quran yang barang kali baik
di cantumkan di bawa ini:
1.
“ Dan berpeganglah semuanya pada tali (agama) Allah,
dan janganlah kamu bercarai-berai” (Al-Imron : 103)
2.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah
kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatannya dan dan bersabarlah
3.
“….. Dan sekitarnya Allah tidak menolak (keganasan)
sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan
biara-biara nasrani, greja-greja, rumah-rumah ibadat orang yahudi dan
masjid-masjid yang di dalamnya banyak di sebut nama Allah. “ (Al Haj:40).
4.
“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebijakan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran” (Al-Maidah 2)
5.
“Hai manusia, sessungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang peremouan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara
kamu ”. (Al hujurat:13)
Berdasarkan ayat-ayat suci Al[-qur’an nul karim jelas bahwa agama islam
mempunyai prinsip menghormati agama-agama lain. Disamping itu agama isalm
mendidik pemeluk-pemeluknya untuk yaay kepada pemerintah, memberikan
nilai-nalai moral dan akidah-akidah sosial muntuk mengendalikan tingkah laku
atau perangai manusia dalam pergaulan bangsa dan umat manusia.
Dialog Antar Agama
Akkhirnya, salah satu bagi dari kerukunan antar umat beragama adalah
perlu dilakukannya dialog antaragama. Agar komunikatif dan terhindar dari
perdebatan teologis antar pemeluk (tokoh) agama, maka pesan-pesan agama yang
sudah direinterpretasi selaras dengan universalitas kemanusiaan menjadi modal
terciptanya dialog yang harmonis. Jika tidak, proses dialog akan berisi
perdebatan dan adu argumentasi antar berbagai pemleluk agama sehingga ada yang
menang dan ada yang kalah. Dialog antar agama, justru membiarkan hak setiap
orang untuk mengamalkan keyakinannya dan menyampaikan kepada orang lain. Dialog
antar agama adalah pertemuan hati dan pikiran antar pemeluk berbagai agama yang
bertujuan mencapai kebenaran dan kerja sama dalam masalah-masalah yang di
hadapi bersama.[1]
- Toleransi
islam dan toleransi barat
Toleransi dalam Islam merupakan pembahasan yang cukup penting
untuk dikaji, karen banyak di kalangan umat Islam yang memahami toleransi
dengan pemahaman yang kurang tepat. Misalnya, kata “toleransi” dijadikan
landasan paham pluralisme yang menyatakan bahwa “semua agama itu benar”, atau
dijadikan alasan untuk memperbolehkan seorang muslim dalam mengikuti
acara-acara ritual non-muslim, atau yang lebih mengerikan lagi, kata toleransi
dipakai oleh sebagian orang ‘Islam’ untuk mendukung eksistensi aliran sesat dan
program kristenisasi baik secara sadar maupun tidak sadar. Seolah-olah, dengan
itu semua akan tercipta toleransi sejati yang berujung kepada kerukunan antar
umat beragama, padahal justru akidah Islamlah yang akan terkorbankan.
Sebagai muslim, kita harus mengembalikan hakikat toleransi
dalam kacamata Islam. Sebab, istilah toleransi ini sebagaimana disebutkan dalam
buku Tren Pluralisme Agama karya Dr Anis Malik Toha pada dasarnya tidak
terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi termasuk istilah modern yang lahir
dari Barat sebagai respon dari sejarah yang meliputi kondisi politis, sosial
dan budayanya yang khas dengan berbagai penyelewengan dan penindasan. Oleh karena
itu, sulit untuk mendapatkan padanan katanya secara tepat dalam bahasa Arab
yang menunjukkan arti toleransi dalam bahasa Inggris. Hanya saja, beberapa
kalangan Islam mulai membincangkan topik ini dengan menggunakan istilah
“tasamuh”, yang kemudian menjadi istilah baku untuk topik ini. Dalam kamus
Inggris-Arab, kata “tasamuh” ini diartikan dengan “tolerance”. Padahal jika
kita merujuk kamus bahasa Inggris, akan kita dapatkan makna asli “tolerance”
adalah “to endure without protest” (menahan perasaan tanpa protes).
Sedangkan
kata “tasamuh” dalam al-Qamus al-Muhith, merupakan derivasi dari kata “samh”
yang berarti “jud’wa karam wa’tasahul” (sikap pemurah, penderma, dan
gampangan). Dalam kitab Mu’jam Maqayis al-Lughah karangan Ibnu Faris, kata
samahah diartikan dengan suhulah (mempermudah). Pengertian ini juga diperkuat
dengan perkataan Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari yang mengartikan
kata al-samhah dengan kata al-sahlah (mudah), dalam memaknai sebuah riwayat
yang berbunyi, Ahabbu al-dien ilallahi al-hanafiyyah al-samhah. Perbedaan arti
ini sudah barang tentu mempengaruhi pemahaman penggunaan kata-kata ini dalam
kedua bahasa tersebut (Arab-Inggris).Dengan demikian, dalam mengkaji konsep
toleransi dalam Islam, penulis merujuk kepada makna asli kata samahah dalam
bahasa Arab (yang artinya mempermudah, memberi kemurahan dan keluasan), dan
bukan merujuk dari arti kata tolerance dalam bahasa Inggris yang artinya
menahan perasaan tanpa protes. Akan tetapi, makna memudahkan dan memberi
keluasan di sini bukan mutlak sebagaimana dipahami secara bebas, melainkan
tetap menggunakan tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah.
Kalau kita mau melihat terbentuknya konsep toleransi antara
Islam dan Barat, maka akan kita dapatkan bahwa motif terbentuknya konsep
toleransi antar keduanya sangat berbeda. Konsep toleransi dalam Islam dibentuk
oleh ajaran Islam itu sendiri baik berupa firman Allah (Al-Quran) ataupun sabda
dan perilaku Rasulullah SAW (al-Hadits). Sedangkan Barat, dibentuk berdasarkan
sejarah ataupun reaksi terhadap kondisi sosial dan politik.Sebagai contoh,
dalam sejarahnya, peradaban Barat (Western Civilization) pernah mengalami masa
yang pahit, yang mereka sebut dengan “zaman kegelapan” (the dark age). Zaman
itu dimulai ketika Imperium Romawi Barat runtuh pada 476 H dan mulai munculnya
Gereja Kristen sebagai institusi dominan dalam masyarakat Kristen Barat sampai
dengan masuknya zaman renaissance sekitar abad ke-14. Renaissance artinya
rebirth (lahir kembali), karena masyarakat Barat merasa bahwa ketika hidup di
bawah cengkeraman kekuasaan Gereja, mereka seolah mengalami kematian.
Di
“zaman kegelapan” inilah terjadi banyak penyelewengan dan penindasan kepada
rakyatnya dengan mengatasnamakan agama. Penindasan yang terkenal paling jahat
pada waktu itu adalah, apa yang dilakukan oleh institusi Gereja dengan nama
Inquisisi. Inquisisi adalah hukuman terhadap kaum heretic (kaum yang di cap
menyimpang dari doktrin resmi gereja). Karen Armstrong, mantan biarawati dan
penulis terkenal, menggambarkan institusi inquisisi dalam sejarah sebagai
berikut, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi
Kristen paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument terror dalam
Gereja Katholik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga
digunakan oleh Gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap
kaum Katolik di negara-negara mereka”.
Adapun bentuk kejahatannya, Robert Held dalam bukunya
Inquisition, memaparkan bahwa ada lebih dari 50 jenis dan model alat-alat
siksaan yang sangat brutal yang digunakan oleh institusi gereja pada waktu itu,
seperti pembakaran hidup-hidup, pencukilan mata, gergaji pembelah tubuh,
pemotongan lidah, alat penghancur kepala, pengebor vagina, dan berbagai alat
dan model siksaan lain yang sangat brutal. Ironisnya lagi, sekitar 85 persen
korban penyiksaan dan pembunuhan adalah wanita. Antara tahun 1459-1800,
diperkirakan antara dua-empat juta wanita dibakar hidup-hidup di dataran
Katolik maupun Protestan Eropa.Dalam ajaran Yahudi, juga telah terjadi
penyelewengan yang berujung kepada penindasan atas nama agama. Dalam Old
Statement (Kitab Perjanjian lama), dinyatakan bahwa sikap mereka terhadap
kelompok lain tidak hanya sebatas kebencian, pelaknatan dan pengingkaran. Namun
mereka juga diperintah untuk membumihanguskan bangsa-bangsa lain, karena
menurut mereka bangsa Yahudi adalah bangsa pilihan (the Chosen People).
Pemusnahan semua kelompok lain, menurut mereka adalah merupakan perintatah.
Dari peristiwa
penyelewengan dan penindasan atas nama agama inilah, kemudian pemikiran
mengenai pentingnya toleransi di Barat mulai timbul. Adalah John Locke figur
yang cukup terkenal dalam menelurkan ide toleransinya, yaitu dengan menjabarkan
tiga pikiran mengenai pentingnya toleransi. Pertama, hukuman yang layak untuk
individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup
ekskomunikasi (pengasingan). Kedua, tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran,
sehingga satu sekte tidak boleh mengafirkan sekte yang lain. Ketiga, pemerintah
tidak boleh memihak salah satu sekte, sebab masalah keagamaan adalah masalah
privat. Tiga doktrin inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia
Barat (negara-negara demokrasi Barat).
Adapun dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Ketoleranan Islam mencakup berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminan.
Adapun dalam Islam, toleransi (samahah) merupakan ciri khas dari ajaran Islam. Ketoleranan Islam mencakup berbagai segi, baik dari segi akidah, ibadah, maupun muamalah. Dari segi aqidah, Islam mempunyai kaidah dari sebuah ayat Al-Qur’an yaitu laa ikraaha fi al-dien (tidak ada paksakan dalam agama). Namun kaidah ini tidak menafikan unsur dakwah dalam Islam. Dakwah dalam Islam bersifat mengajak, bukan memaksa. Dari kaidah inilah maka ketika non-muslim (khususnya kaum dzimmi) berada di tengah-tengah umat Islam atau di negara Islam, maka mereka tidak boleh dipaksa masuk Islam bahkan dijamin keamanannya karena membayar jizyah sebagai jaminan.
Dalam masalah Ibadah,
Islam juga bersifat toleran. Maksudnya, pelaksanaan ibadah di dalam Islam
bersifat tidak membebani. Hal tersebut bisa kita lihat ketika seseorang ingin
berwudhu dan tidak ada air, maka Islam mempermudah cara berwudhu dengan cara
tayamum. Di dalam shalat, ketika seseorang tidak mampu berdiri, maka boleh
dengan duduk. Begitu juga puasa, ketika seseorang sedang sakit, maka boleh di
qadha. Sifat mempermudah dan tidak membebankan seseorang inilah yang menjadi
ciri khas bahwa Islam adalah agama yang toleran dari segi ibadah.
Adapun dalam muamalah, Islam menyuruh berbuat baik dalam
bermasyarakat, baik itu kepada yang muslim atau non-muslim. Misalnya, ketika
seorang muslim mempunyai tetangga non-muslim yang sedang membutuhkan bantuan,
maka harus dibantu. Ketika diberi hadiah, maka harus diterima. Begitu juga
ketika ada tetangga non-muslim sedang sakit, harus dijenguk. Itulah adab
seorang muslim yang harus dijaga dalam rangka membangun kerukunan antar umat
beragama.
Permasalahannya adalah, ketika muamalah dengan non-muslim ini
masuk dalam ranah akidah dan peribadatan, maka banyak orang salah paham. Mereka
mengira bahwa toleransi dalam masalah keikutsertaan acara-acara non-muslim
diperbolehkan dengan tujuan untuk menciptakan kerukunan antar umat beragama.
Padahal toleransi seperti ini di dalam syariat terdapat dalil-dalil yang
melarang, baik itu dari Al-Qur’an, Al-Sunnah, maupun ijma ulama.
Ketika muamalah dengan non-muslim ini masuk dalam ranah akidah
dan peribadatan, maka hal ini bisa dikategorikan dalam hal tolong menolong
dalam dosa yang sudah jelas diharamkan. Allah SWT telah melarang perbuatan
tersebut sebagaimana disebutkan di dalam salah satu ayat (yang artinya), Tolong
menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong
menolong dalam dosa dan permusuhan (Qs Al-Ma’idah 2). Dalam memahami ayat ini,
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam tafsirnya bahwa Allah memerintahkan orang
beriman untuk tolong menolong dalam kebaikan dan meninggalkan kemungkaran.
Allah juga melarang umat Islam saling tolong menolong dalam kebatilan, dosa,
dan sesuatu yang haram. Ritual non-Muslim adalah suatu amalan batil yang
diharamkan oleh Allah SWT yang menjadikan pelakunya berdosa. Oleh karena itu, keikutsertaan
seorang Muslim dalam ritual non-Muslim termasuk dalam kategori tolong menolong
dalam kebatilan, dosa, dan sesuatu yang diharamkan.
Selain itu, keikutsertaan ritual non-muslim dengan alasan
toleransi juga tidak bisa dibenarkan secara syar’i karena seseorang tersebut
tergolong telah mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil. Allah
berfirman (yang artinya), Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak dengan yang
batil, dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui
(Q.S Al-Baqarah: 42). Imam al-Thabari menukil penjelasan Imam Mujahid (murid
Ibnu Abbas) mengenai maksud ayat Dan janganlah kamu campuradukkan yang hak
dengan yang batil adalah mencampuradukkan ajaran Yahudi dan Kristen dengan
Islam.
Adapun toleransi antar umat beragama dalam muamalah duniawi,
Islam menganjurkan umatnya untuk bersikap toleran, tolong-menolong, hidup yang
harmonis, dan dinamis di antara umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan
ras mereka. Dalam hal ini Allah berfirman (yang artinya), Allah tidak melarang
kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah
hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu
karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah
orang-orang yang zalim (QS. Al-Mumtahanah: 8-9).
Banyak
hal yang bisa kita ambil pelajaran dari ayat di atas dalam memahami sikap
toleransi antar umat beragama yang benar dalam Islam. Dalam memahami ayat di
atas, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa “Allah tidak melarang kamu untuk
berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu
karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu” maksudnya, Dia tidak
melarang kamu berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangimu
karena masalah agama, seperti berbuat baik dalam masalah perempuan dan orang
lemah.
Selain itu, Imam al-Syaukani (1250 H) dalam Fath al-Qadir
menyatakan bahwa maksud ayat ini adalah Allah tidak melarang berbuat baik
kepada kafir dzimmi, yaitu orang kafir yang mengadakan perjanjian dengan umat
Islam dalam menghindari peperangan dan tidak membantu orang kafir lainnya dalam
memerangi umat Islam. Ayat ini juga menunjukkan bahwa Allah tidak melarang
bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka.
Adapun sebab turunnya ayat ini sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitabnya al-Musnad dari Abdullah bin Zubair, Ia
berkata: “Qatilah mendatangi putrinya Asma’ binti Abu Bakar. Namun Asma’ enggan
menerima hadiah dan kedatangan perempuan (ibunya) itu ke rumahnya. Karena itu,
Aisyah menanyakan permasalahan tersebut kepada Nabi SAW. Maka Allah menurunkan
surat Al-Mumtahanah ayat 8-9. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan Asma’ untuk
menerima hadiah dan kedatangan ibunya ke rumahnya”.
Ini merupakan dalil bahwa berbuat baik kepada non-Muslim
merupakan kewajiban, selama orang-orang non-Muslim itu tidak memerangi dan
mengusir umat Islam dari negeri mereka, serta tidak membantu orang lain untuk
mengusir umat Islam dari negeri mereka. Bahkan Rasulullah SAW mengancam
terhadap umatnya yang berbuat zalim kepada non-Muslim yang sudah terikat
perjanjian dengan umat Islam dengan ancaman tidak masuk surga. Rasulullah SAW
bersabda (yang artinya), Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat
perjanjian dengan umat Islam, maka ia tidak akan mencium keharuman surga.
Sesungguhnya keharuman surga itu bisa dicium dari jarak empat puluh tahun
perjalanan (di dunia) (H.R Bukhari).
Oleh
karena itu, Nabi SAW bermuamalah dengan orang Yahudi di Madinah dengan muamalah
yang sangat baik. Dalam masalah perdagangan, Beliau SAW pernah menggadaikan
baju perangnya kepada seorang Yahudi yang bernama Abu Syahm. Rasulullah juga
menetapkan perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar dengan kaum Yahudi.
Perjanjian itu antara lain berisi tentang perdamaian dengan kaum Yahudi, sumpah
setia mereka, serta mengakui keberadaan agama (bukan kebenaran agama selain
Islam) dan harta-harta mereka. Beliau SAW juga meminta jaminan kepada mereka
untuk menepati perjanjian mereka. Namun demikian, sikap toleransi, harmonis,
tolong menolong dan kerjasama antara umat Islam dengan non-Muslim di sini
hanyalah dalam masalah muamalah keduniaan yang tidak berhubungan dengan
permasalahan akidah dan ibadah.Dari paparan di atas, sangat jelas sekali
bagaimana ternyata pembentukan pola doktrin toleransi antara Islam dengan Barat
amatlah berbeda. Doktrin toleransi dalam Islam tidaklah dibentuk oleh sejarah,
melainkan merupakan bagian integral dari warisan Islam. Berbeda halnya dengan
Barat yang doktrin toleransinya dibentuk oleh sejarah karena adanya abuse of power.
Itulah sebabnya menyamakan doktrin toleransi Islam dengan doktrin toleransi
yang ada di Barat tidaklah tepat.Namun anehnya, saat ini proses overlapping
doktrin toleransi mulai muncul ke permukaan sehingga mengakibatkan kerancuan
dalam memahami makna toleransi yang benar menurut Islam. Dari sinilah maka
tidak tepat kalau ada umat Islam yang menggunakan kata toleransi untuk
mendukung eksistensi aliran sesat apalagi untuk mendukung gerakan kristenisasi,
karena toleransi semacam ini adalah toleransi ala Barat yang tidak dibenarkan
dalam Islam.
Kesimpulan
Sebagai muslim, kita
harus mengembalikan hakikat toleransi dalam kacamata Islam. Sebab, istilah
toleransi ini sebagaimana disebutkan dalam buku Tren Pluralisme Agama karya Dr
Anis Malik Toha pada dasarnya tidak terdapat dalam istilah Islam, akan tetapi
termasuk istilah modern yang lahir dari Barat sebagai respon dari sejarah yang
meliputi kondisi politis, sosial dan budayanya yang khas dengan berbagai
penyelewengan dan penindasan.
Dengan memperhatikan persoalan di
atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan
politis, ekonomi, atau social budaya. Apabila konflik itu murni konflik agama
maka masalah kerukunan tetapi hanya dapat di bangun atas dasar nilai-nilai
keadilan, kebebasan, dan hak asasi manusia yang menyentuh keseluruhan martabat
manusia. Makin mendalam rasa keagamaan manusia makin mendalam pula rasa
keadilan dan kemanisiaan, seandainya tidak demikian agama tidak mengangkat
keluhuran martabat manusia. Walluhu’alam.
Daftar Pustaka
1.
Drazat, Zakiah,dkk. 1996” perbandingan agama” Jakarta: Bumi Aksara
2.
Muthahari, Murthada. 1992” Keadilan ilahi” Bandung: Mizan
4.
http:/agama.kompasiana.coom/2010/09/13/islam-toleren/
0 Response to "SIKAP TOLERANSI AGAMA"
Post a Comment