DINASTI DI BARAT BAGHDAD I DINASTI IDRISIYAH DAN DINASTI AGHLABIYAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Islam telah mencapai puncak kejayaannya pada masa Dinasti Abasiyah, yang
berlangsung kurang lebih selama 500 tahun. Mulai dari tahun 132 H s/d 656 H.
Atau dari tahun 750 M s/d 1258 M. Pada masa ini Islam menjadi pusat dunia dalam
berbagai aspek peradaban. Kemajuan itu hampir mencakup semua aspek kehidupan;
mulai dari bidang ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, ilmu pengetahuan
dll.
Tetapi tidak dipungkiri dibalik itu semua tersimpan persoalan politik yang
pada akhirnya bermuara pada persoalan disintegrasi bangsa tersebut. Masalahnya
ada pada kebijakan pemerintahan Dinasti Abasiyah yang lebih menitikberatkan
terhadap pembinan peradaban dan kebudayaan. Sedangkan masalah politik yang
sebenarnya tak boleh diabaikan karena ini menyangkut integritas sebuah bangsa.
Masalah politik yang didalamnya ada ekpansi, kebijakan politis, dsb. tidak
disentuh sehingga mempercepat pelepasan wilayah-wilayah tertentu yang berada
jauh dari pantauan pemerintah pusat Dinasti Abbasiyah.
Dalam sejarah Politik Islam, disintegrasi politik tersebut sebenarnya sudah
terjadi sejak berakhirnya pemerintahan Bani Ummayah. Ada perbedaan mendasar
diantara dua pemerintahan tersebut. Pada Masa Bani Ummayah, wilayah kekuasaan
sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam (mulai dari awal berdirinya
sampai akhir kehancurannya). Sedangkan pada masa Pemerintahan Abbasiyah wilayah
kekuasaannya tidak pernah diakui di daerah Spanyol dan Afrika utara, kecuali
Mesir yang bersifat sebentar-sebentar bahkan kenyataannya banyak daerah yang
tidak dikuasai oleh khalifah.[1][1]
Peta kekuasaan tersebut telah banyak mengakibatkan bermunculan
wilayah-wilayah yang memisahkan diri dan membentuk dinasti-dinasti kecil.
Proses memerdekakan diri dari kekuasaan Abbasiyah tersebut melalui dua cara:
Pertama, melalui pemberontakan lokal dan berhasil, kedua. Melalui gubernur yang
ditunjuk oleh khalifah yang kedudukannya semakin lama semakin kuat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Dinasti
Idrisiyah
Dinasti ini didirikan oleh seorang penganut syi’ah,
yaitu Idris bin Abdullah pada tahun 172 H./789 M. Idrisiyah, yang menjadikan
Fez sebagai ibukota utamanya, merupakan dinasti Syi’ah pertama
yang tercatat dalam sejarah.[2][2] Dinasti ini berusaha
memasukkan doktrin syi’ah ke daerah Maghribi (Maroko) dalam
bentuk yang sangat halus.[3][3] Maksudnya tidak dengan
cara kekerasan seperti ekspansi penaklukan atau perang. Sebelum masa mereka,
wilayah itu di dominasi oleh egalitarianisme[4][4] radikal Kharijiyyah.[5][5]
Idris bin Abdullah merupakan salah seorang
keturunan Nabi Muhammad SAW. Yaitu cucu putra khalifah ‘Ali bin Abi Tholib,
Al-Hasan, dan dengan demikian berhubungan dengan garis Imam-imam syi’ah.
Sebelumnya Dia ikut ambil bagian dalam pemberontakan sengit perlawanan kelompok
keturunan Ali di Hijaz[6][6], Fakh[7][7] (Madinah[8][8]) terhadap ‘Abbasiyah
pada tahun 169 H./786 M. Perlawanan itu bisa diredam dan Dia terpaksa pergi
menyelamatkan diri dari peperangan itu ke Mesir dan kemudian ke Afrika Utara,
di mana prestise[9][9] keturunan ‘Ali dapat
membuat beberapa tokoh Berber Zenata di Maroko utara menerimanya sebagai
pemimpin mereka.[10][10] Di sinilah Idris bin
Abdullah mendirikan kerajaan Idrisiyah, dan kaum Barbar yang gagah dan kuat
telah menjadi tulang punggung pemerintahannya.[11][11] Dinasti Idrisiyah
berperan dalam menyebarkan budaya dan agama Islam ke bangsa Barbar dan penduduk
asli.[12][12]
Ada dua alasan mengapa
Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang sangat kuat. Pertama karena
adanya dukungan penuh dan kuat dari kaum Barbar. Kedua, secara geografis posisi
dinasti ini berada jauh dengan pusat pemerintahan di Baghdad sehingga sulit
untuk ditaklukan.[13][13] Alasannya karena
khalifah Harun Ar-Rasyid merasa ragu-ragu untuk mengirim tentara memeranginya
karena khawatir akan nasib tentaranya ketika berada di tempat yang jauh itu.
Juga karena menyangka bahwa seandainya tentaranya ditewaskan, maka Idris akan
berani pulauntuk menyerang pemerintahan Abbasiyah di Mesir dan Syam.[14][14]
Pada masa Kekhalifahan
Bani Abbasiyah yang dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, (menggantikan Al-Hadi),
Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah
tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirim pasukannya dengan
tujuan memeranginya. Namun faktor geografis yang berjauhan menyebabkan batalnya
pengiriman pasukan.[15][15] Selai dari pada
kekhawatirannya akan penyerangan balik kepada pemerintahan Abbasiyah di Mesir
dan Syam.
Diriwayatkan bahwa
khalifah Harun Ar-Rasyid telah menggunakan suatu taktik dengan mengirim seorang
yang pintar, bernama Sulaiman Bin Jarir, yang menyamar diri sebagai penentang
kaum Abbasiyah dan menerima perlindungan kepada Idris. Setelah Idris
menerimanya dengan baik dan memberinya kepercayaan serta menjadikannya sebagai
teman yang rapat, sulaiman membunuhnya dengan menggunakan racun.[16][16] Khalifah Idris bin Abdullah pun
meninggal. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada khalifah Harun
Ar-Rasyid.[17][17] Tetapi pembunuhan Idris
tidak pula dapat menumpas kerajaan Idrisiyah, karena kaum Barbar telah
bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan mereka sebagai kerajaan yang bebas
merdeka.[18][18] Idris meninggalkan
seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut
melahirkan, kaum Barbar memberikan nama abyi tersebut dengan nama Idris dan
mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagaimana yang pernah diikrarkan
kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya yaitu Idris Bin
Abullah dan disebut sebagai Idris II.[19][19]
1. Masa
kepemimpinan Idris II
Idris I dan putranya
Idris II telah berhasil mempersatukan suku-suku Barbar, imigran-imigran Arab
yang berasal dari Spanyol dan Tripolitania dibawah satu kekuasaan politik.[20][20] Berhasil pula
merestorasi[21][21] Volubilis, kota Romawi
menjadi kota Fez[22][22] dan mampu membangun kota
Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, Fez menjadi pusat kaum Syorfa[23][23] atau Syurafa, yang
menjadi faktor penting dalam sejarah perkembangan Maroko, dan pada tahun 1959
di kota ini telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang
terkenal.[24][24]
Pada masa kepemimpinannya Idris II, dinasti
Idrisiyah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini terbukti ia mampu
membangun sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam sebuah pemerintahan,
seperti pembangunan kembali kota Fez, istana, masjid, percetakan uang, dan
pembangunan saluran air yang dikirim ke rumah-rumah penduduk. Keseriusannya
membangun kota dan perangkat lainnya ini, menurut para ahli, ia dikategorikan
sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti Idrisiyah.[25][25]
2. Masa
kepemimpinan Muhammad Al Muntashir bin Idris
Pada masa kekuasaan
Muhammad bin Idris, Dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada
delapan orang saudaranya, Ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam
supremasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya. Setelah Ia memerintah selama
masa yang cukup tenang, puteranya yang bernama ‘Ali menggantikannya sebagai
raja. Pada masa kepemimpinan ini dinasti Idrisiyah tidak mengalami banyak
perubahan dan masalah.[26][26]
3. Masa
kepemimpinan ‘Ali bin Muhammad
Barulah pada masa
kepemimpinan ‘Ali bin Muhammad terjadi konflik antar keluarga dengan kasus yang
klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan ‘Ali
berpindah ke tangan saudaranya sendiri yaitu Yahya bin Muhammad.[27][27]
4. Masa
kepemimpinan Yahya bin Muhammad
Pada masa Yahya bin
Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah
Afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan
penduduk maupun pembangunan gedung-gedung megah. Tepat pada tahun 863 M., Yahya
bin Muhammad meninggal dan kekuasaannya berpindah ketangan putranya, yaitu
Yahya II.[28][28]
5. Masa
kepemimpinan Yahya II
Pada masa pemerintahan
Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II
dalam mengatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah
kekuasaan. Disamping ketidakmampuan mengatur pemerintahannya, Yahya juga pernah
terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya,
Ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari
perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya tahun 866 M.[29][29]
6. Masa
kepemimpinan ‘Ali bin Umar
Dalam suasana yang
mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurahman bin Abi Sahl
Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan.
Namun, isteri Yahya (anank perempuan dari saudara sepupunya), ‘Ali bin Umar[30][30] berhasil berhasil
menguasai wilayah Kawariyyir (Qairawan) dan memulihkan ketenteraman.[31][31]
7. Masa
kepemimpinan Yahya III
Pada masa Yahya III, pemerintahan
yang semrawut ditertibkan kemali sehingga menjadi tenteram dan aman. Namun,
setelah Yahya III memerintah dalam waktu yang cukup lama, Ia terpaksa harus
menyerahkan kekuasaan kepada kerabatnya yang diberi nama Yahya IV.[32][32]
8. Masa
kepemimpinan Yahya IV
Yahya IV ini berhasil
mempersaukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang
lainnya, dan sejak itu Dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua
kekuatan besar, yaitu Bani Umayah dari Spanyol dan Dinasti Bani Fatimiyah dari
Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.[33][33
9. Masa
kepemimpinan Al Hajjam bin Muhammad
Setelah masa Yahya IV,
saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu
Idris II, yang bernama Al Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya.
Akan tetapi Ia kemudian mendapat penghianatandari seorang pemimpin setempat
sehinggakekuasaannya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M.[34][34]
Jatuhnya dinasti
Idrisiyah diakibatkan adanya serangan dari dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani
Umayyah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah tercatat, dinasti ini tidak pernah
mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai penguasa daerah otonom di Afrika
Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi keutuhan wilayah Islam.
Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani
Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis.
Perseteruan ini terus
berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah. Karena terkepung di
antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol, dinasti Idrisiyah akhirnya hancur
oleh serangan yang mematikan yang dilancarkan seorang jendral utusan Khalifah
al-Hakam II (961-967) M di Kordova.[35][35]
Kekuasaan Idrisiyah yang
ada dikota-kota, tanpa menguasai desa-desa akhirnya terpecah-pecah dimasa
pemimpin Muhammad al-Muntasir pada tahun (213-221) H. Kekuasaan mereka
dibagi-bagikan kepada saudara-saudara al-Muntasir yang banyak jumlahnya.
Musuh-musuh mereka yang terdiri dari suku Berber, dengan mudah dapat
memukulnya. Disamping itu muncul pula ancaman musuh yang lebih besar, yakni
Daulah Fatimiyah yang dipimpin oleh Mahdi Ubaidillah. Yahya IV (292-310) H terpaksa
mengakui kekuasaan Fatimiyah, dan Fez dapat diduduki oleh dinasti baru tersebut
pada tahun 309. Baru menjelang akhir pemerintahannya, Idrisiyah dapat menguasai
pelosok Maroko. Tetapi bani umaiyah yang berkuasa di Spanyol memukul Idrisiyah
tahun 363 H dan keluarga terakhir dinasti yang kalah itu dibawa ke Cordova.[36][36]
No.
|
Nama
|
Tahun
|
Keterangan
|
1.
|
Idris I bin Abdullah
|
789-793 M.
|
|
2.
|
Idris II bin Idris I
|
793-828 M.
|
|
3.
|
Muhammad Al Muntashir
bin Idris I
|
828-836 M.
|
|
4.
|
‘Ali bin Muhammad
|
836-849 M.
|
|
5.
|
Yahya I bin Muhammad
|
849-863 M.
|
|
6.
|
Yahya II bin Yahya I
|
863-866 M.
|
|
7.
|
‘Ali II bin Umar
|
866-? M.
|
Tidak diketahui tahun
akhirnya
|
8.
|
Yahya III bin Al Kasim
|
?-905 M.
|
Tidak diketahui tahun
awalnya
|
9.
|
Yahya IV bin Idris bin
Umar
|
905-920 M.
|
|
10.
|
Hasan Al Hajjam bin
Muhammad bin Al Kasim
|
925-927 M.
|
|
11.
|
Kasim Al Ghannun bin
Muhammad bin Al Kasim
|
937-948 M.
|
|
12.
|
Abu Aysh Ahmad bin
Kasim Ghannun
|
948-954 M.
|
|
13.
|
Hasan bin Kasim Ghannun
|
954-974 M.
|
B. Disasti Aghlabiyah
Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang
berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M). Wilayah kekuasaannya
meliputi Ifriqiyah, Algeria dan Sisilia. Dinasti ini didirikan oleh Binu
Aghlab.
Para penguasa Dinasti Aghlabiyah yang pernah memerintah adalah sebagai
berikut :
No.
|
Nama
|
Tahun
|
1.
|
Ibrahim I bin al-Aghlab
|
800-812 M
|
2.
|
Abdullah I
|
8l2-817 M
|
3.
|
Ziyadatullah
|
817-838 M
|
4.
|
Abu ‘Iqal al-Aghlab
|
838-841 M
|
5.
|
Muhammad I
|
841-856 M
|
6.
|
Ahmad
|
856-863 M
|
7.
|
Ziyadatullah
|
863- M
|
8.
|
Abu Ghasaniq Muhammad II
|
863-875 M
|
9.
|
Ibrahim II
|
875-902 M
|
10.
|
Abdullah II
|
902-903 M
|
11.
|
Ziyadatullah III
|
903-909 M
|
Aghlabiyah memang merupakan Dinasti kecil pada masa Abbasiyah, yang para
penguasanya adalah berasal dari keluarga Bani al-Aghlab, sehingga Dinasti
tersebut dinamakan Aghlabiyah. Awal mula terbentuknya Dinasti tersebut yaitu
ketika Baghdad di bawah pemerintahan Harun ar-Rasyid. Di bagian Barat Afrika
Utara, terdapat dua bahaya besar yang mengancam kewibawaannya. Pertama dari
Dinasti Idris yang beraliran Syi’ah dan yang kedua dari golongan Khawarij.
Dengan adanya dua ancaman tersebut terdoronglah Harun ar-Rasyid untuk
menempatkan balatentaranya di Ifriqiyah di bawah pimpinan Ibrahim bin
Al-Aghlab. Setelah berhasil mengamankan wilayah tersebut, Ibrahim bin al-Aghlab
mengusulkan kepada Harun ar-Rasyid supaya wilayah tersebut dihadiahkan
kepadanya dan anak keturunannya secara permanen. Karena jika hal itu terjadi,
maka ia tidak hanya mengamankan dan memerintah wilayah tersebut, akan tetapi
juga mengirim upeti ke Baghdad setiap tahunnya sebesar 40.000 dinar. Harun
ar-Rasyid menyetujui usulannya, sehingga berdirilah Dinasti kecil (Aghlabiyah)
yang berpusat di Ifrikiah yang mempunyai hak otonomi penuh. Meskipun demikian
masih tetap mengakui akan kekhalifahan Baghdad.[38][38]
Pendiri Dinasti ini adalah Ibrahim bin al-Aghlab pada tahun 800 M. Pada
tahun itu Ibrahim diberi provinsi Ifriqiyah (Tunisia Modern) oleh Harun
al-Rasyid sebagai imbalan atas pajak tahunan yang besarnya 40.000 dinar dan
meliputi hak-hak otonom yang besar.[39][39] Untuk menaklukkan wilayah baru dibutuhkan suatu proses yang panjang dan
perjuangan yang besar, namun tidak seperti Ifriqiyyah yang sifatnya adalah
pemberian Dinasti Aghlabiyah berkuasa kurang lebih dari satu abad, mulai dari
tahun 800-909 M.
Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama ayah Amir yang pertama, yaitu
Ibrahim bin al-Aglab. Ia adalah seorang pejabat Khurasan dalam militer
Abbasiyah. Pada tahun 800 M. Ibrahim I diangkat sebagai Gubernur (Amir) di
Tunisia oleh Khalifah Harun ar-Rasyid. Karena ia sangat pandai menjaga hubungan
dengan Khalifah Abbasiyah seperti membayar pajak tahunan yang besar, maka
Ibrahimi I diberi kekuasaan oleh Khalifah, meliputi hak-hak otonomi yang besar
seperti kebijaksanaan politik, termasuk menentukan penggantinya tanpa campur
tangan dari penguasa Abbasiyah. Hal ini dikarenakan jarak yang cukup jauh
antara Afrika Utara dengan Bagdad. Sehingga Aghlabiyah tidak terusik oleh pemerintahan
Abbasiyah.[40][40]
Pemerintahan Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak yang muncul
dari Kharijiyah Barbar di wilayah mereka. Kemudian di bawah Ziyadatullah I,
Aghlabiyah dapat merebut pulau yang terdekat dari Tunisia, yaitu Sisilia dari tangan
Byzantium 827 M, dipimpin oleh panglima Asad bin Furat, dengan mengerahkan
panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang pasukan
jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar. Ini juga peperangan akhir yang
dipimpin panglima Asad bin Furad karena itu, ia meninggal dalam pertempuran.
Selain untuk memperluas wilayah penaklukan terhadap Sicilia juga bertujuan
untuk berjihad melawan orang-orang kafir. Wilayah tersebut enjadi pusat penting
bagi penyebaran peradaban Islam ke Eropa Kristen.[41][41]
Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautnya yang
menjelajahi pulau-pulau di Laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai
Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan lpen. Selain itu juga berhasil
menaklukan kota-kota pantai Itali, Brindisi, Napoli, Calabria, Totonto, Bari,
dan Benevento. Dan pada tahun 868 M, mampu menduduki Malpa. Dengan berhasilnya
penaklukan-penaklukan di atas Dinasti Aghlabiyah menjadi Dinasti yang kaya,
sehingga para penguasa Aghlabiyah antusias dalam bidang pembangunan.
Keberhasilan penguasaan seluruh pulau Sisilia inilah yang membuat Aghlabiyah
unggul di Mediterania Tengah. Kemudian Aghlabiyah melanjutkan
serangan-serangannya ke pulau lainnya dan pantai-pantai di Eropa, termasuk
berhasil menaklukan kota-kota pantai Italia Brindisi (836/221 H.) Napoli
(837M), Calabria (838 M), Toronto (840 M ), Bari (840 M), dan Benevento (840
M). Karena tidak tahan terhadap serangan berkepanjangan dari pasukan Aghlabiyah
pada Bandar-bandar Itali, termasuk kota Roma, maka Paus Yonanes VIII (872– 840
M) terpaksa minta perdamaian dan bersedia membayar upeti sebanyak 25.000 uang
perak pertahun kepada Aghlabiyah.[42][42]
Pasukan Aghlabiyah juga berhasil menguasai kota Regusa di pantai Yugoslavia
(890 M), Pulau Malta (869 M), menyerang pulau Corsika dan Mayorka, bahkan
mengusai kota Portofino di pantai Barat Italia (890), kota Athena di Yunani-pun
berada dalam jangkauan penyerangan mereka. Dengan keberhasilan
penaklukan-penaklukan tersebut, menjadikan Dinasti Aghlabiyah kaya raya, para
penguasa bersemangat membagun Tunisia dan Sisilia. Ziyadatullah I membangun
masjid Agung Qairuan, sedangkan Amir Ahmad membangun masjid Agung Tunis dan
juga membangun hampir 10.000 benteng pertahanan di Afrika Utara. Tidak cukup
itu, jalan-jalan, pos-pos, armada angkutan, irigasi untuk pertanian (khususnya
di Tunisia Selatan, yang tanahnya kurang subur), demikian pula perkembangan
arsitektur, ilmu, seni dan kehidupan keberagamaan.[43][43]
Selain sebagai ibu kota Dinasti Aghlabiyah, Qairuan juga sebagai pusat
penting munculnya mazhab Maliki, tempat berkumpulnya ulama-ulama terkemuka,
seperti ahnun yang wafat (854 M) pengarang mudawwanat, kitab fiqih Maliki,
Yusuf bin Yahya, yang wafat (901 M), Abu Zakariah al-Kinani, yang wafat (902
M), dan Isa bin Muslim, wafat (908 M). Karya-karya para ulama-ulama pada masa
Dinasti Aghlabiyah ini tersimpan baik di Masjid Agung Qairuan.[44][44]
1. Langkah-langkah
Pemimpin Aghlabiyah
a. Penguasa
Aghlabiyah pertama berhasil memadamkan gejolak Kharijiyah Berber di wilayah
mereka.
b. Dilanjutkan
dengan dimulainya proyek besar merebut Sisilia dari tangan Bizantium pada tahun
827 M, dibawah Ziadatullah I yang amat cakap dan energik, dengan meredakan
oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan Fuqaha’ (pemimpin–pemimpin
religius) Maliki di Qayrawan (Cairovan). Disamping itu, suatu armada bajak laut
dikerahkan, sehingga membuat Aghlabiyah unggul di Mediterania Tengah dan
membuat mereka mampu mengusik pantai Italia Selatan, Sardinia, Corsica, dan
Meriteran Alp. Kemudian Aghlabiah juga berhasil merebut Malta pada tahun 868 M.
Daerah-daerah tersebut yang menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Aghlabiyah.Dengan
demikian, pada tahun 878 M sempurnalah penguasaan atas Sisilia, kemudian pulau
itu dibawah pemerintahan Muslim. Pertama di bawah kekuasaan Aghlabiyah dan
kedua di bawah Gubernur-Gubernur Fathimiyah, sampai penaklukan oleh Norman pada
abad XI. Pulau itu menjadi pusat bagi penyebaran kultur Islam ke Eropa KRISTEN.
2.
Peninggalan-peninggalan Bersejarah Dinasti Aghlabiah
Aghlabiyah adalah pembangun yang penuh semangat. Diantara bangunan-bangunan
peninggalan Aghlabiah adalah:
a.
Pembangunan kembali Masjid Agung Qayrawan oleh ZiyadatullahI
b. Pembangunan
Masjid Agung Tunis oleh Ahmad.
c.
Pembangunan karya-karya pertanian dan irigasi yang bermanfaat, khususnya di
Ifriqiyah selatan yang kurang subur.[45][45]
3. Kemunduran
Dinasti Aghlabiyah
Menjelang akhir abad IX, posisi Aghlabiah di Ifqriqiyah menjadi merosot.
Hal ini disebabkan karena amir terakhirnya yaitu Ziyadatullah III tenggelam
dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah,
juga propaganda Syi’iah, Abu Abdullah. Perintis Fatimiyah, Mahdi Ubaidillah
mempunyai pengaruh yang cukup besar di Barbar, yang akhirnya menimbulkan
pemberontakan militer, dan Dinasti Aghlabiyah dikalahkan oleh Fatimiyah (909
M), Ziyadatullah III di usir ke Mesir setelah melakukan upaya-upaya yang
sia-sia demi untuk mendapatkan bantuan dari Abbasiah untuk menyelamatkan
Aghlabiah.[46][46]
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
A. Dinasti Idrisiyah
1. Dinasti
Idrisiyah adalah dinasti kecil pada masa bani Abbasiyah yang terletak di tepi
barat Baghdad
2. Dinasti
Idrisiyah didirikan oleh penganut syi'ah, yaitu Idris bin Abdullah keturuna
Nabi cicit dari Hasan pada tahun 172 H / 789 M dengan dukungan kaum Bar-bar
3. Fez adalah
ibukota dari Dinasti Idrisiyah
4. Dinasti
Idrisiya mencapai kejayaan pada masa Idrisiyah II
5. Keruntuhan
dinasti Idrisiyah selain dari faktor internal juga dari faktor ekternal yaitu
terkepung dinasti Idrisiyah di antara Fatimiyah Mesir dan Umayyah Spanyol
B. Dinasti Aghlabiyah
1. Dinasti Aghlabiyah adalah salah satu Dinasti Islam di Afrika Utara yang
berkuasa selama kurang lebih l00 tahun (800-909 M).
2. Dinasti ini didirikan dan Nama Dinasti Aghlabiyah ini diambil dari nama
ayah Amir yang pertama, yaitu Ibrahim bin al-Aghlab 800-812 M.
3. Ifriqiyah adalah ibukota Dinasti Aghlabiyah
4. Dinasti Aghlabiyah mencapai kejayaan pada masa awal-awal pemerintahan
dengan perluasan wilayahnya, termasuk pembangunan.
5. Kemunduran Dinasti ini dikarenakan nafsu keduniaan sang Ziyadatullah III
yang sangat tinggi sehingga pada akhirnya dapat ditumbangkan juga oleh Dinasti
Fatimiyah.
DAFTAR PUSTAKA
Amin. Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Amzah, 2009.
Boswort. C.E., Dinasti-Dinasti Islanm, Terj. Ilyas Hasan,
Bandung: MIZAN, 1980.
Hitti. Pilip K., History of the Arab, Terj. R. Cecep Lukman Yasin
dan Dedi Slamet Riyadi, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2010.
Supriadi. Dedi, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia,
2008.
Syalabi. Ahmad, Jilid 3, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Terj. Muhammad
Labib Ahmad, Jakarta: PT. Pustaka Al Husna Baru, 2008.
http. file: ///D:/ Akademis/ semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/
idrisiyah/ dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
http. file:///D:/ Akademis/ semester% 20IV/ SPI% 20III %20% 281258-1800%
29/ idrisiyah/ dinasti- idrisiyah.html.
[1][1] Sir William Munir. The caliphat. New York:
AMS Inc, yang dikutip dari Badri Yatim, Sejrah Perdaban Islam, dikutip juga
oleh penulis dari bukunya Dedi Supriyadi, M.Ag SEJARAH PERADABAN ISLAM.
[2][2] Pilip K. Hitti, History of the Arab,
Terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2010), hal. 570.
[4][4] Berasal dari kata Egalitarian yang berasal
dari kata egalite atau egalitet/egalitas yang berarti persatuan; persamaan;
penyamaan; penyamarataan; kesejajaran; yaitu orang yang percaya akan adanya
persamaan takdir semua orang yang sederajat. Jadi egalitarianisme ialah sebuah
ajaran atau faham bahwa manusia yang berderajat sama memiliki takdir yang sama
pula.
[7][7] Ahmad Syalabi Jilid 3, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Terj. Muhammad Labib Ahmad, (Jakarta: PT. Pustaka Al
Husna Baru, 2008), hal. 143.
[23][23] Syorfa
atau syurafa adalah bentuk jamak dari syarif, orang mulia, ialah
orang-orang terhormat keturunan Nabi SAW. dari Al Hasan dan Al Husain bin ‘Ali
bin Abi Thalib.
[25][25] http. file:///D:/ Akademis/ semester%
20IV/ SPI% 20III %20% 281258-1800% 29/ idrisiyah/ dinasti- idrisiyah.html.
[30][30] Menurut riwayat lain bahwa setelah Yahya
II diusir oleh penduduk kota Fez, ‘Ali bin Umar (paman dari ayah tiri Yahya)
diangkat untuk menduduki tahta yang tak lama kemudian harus dilepaskan lagi
akibat satu pemberontakan.
[40][40] http. file: ///D:/ Akademis/
semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
[43][43] http. file: ///D:/ Akademis/
semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html.
[44][44] http. file: ///D:/ Akademis/
semester%20IV/ SPI%20III%20%281258- 1800%29/ idrisiyah/
dinasti-aghlabiyah-dinasti-islam-kecil.html
sama-sama bu
ReplyDelete