SEKOLAH DAN MASYARAKAT


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam pembahasan ini kami akan membahas tentang sedikit pengertian sekolah sebagai suatu lembaga antara sekarang dan masa yang akan datang. Di dalam pembahasan ini cara untuk memperoleh pengetahuan serta ketrampilan biasanya didapatkan di sekolah formal atau di berbagai gedung, gedung ini yang saya maksud gedung yang memiliki beberapa ruangan yang dimana ruangan tersebut mempunyai tingkatan-tingkatan cara belajar siswa atau mahasiswa, kalau dilihat dari sudut sekolah masyarakat biasanya tidak mengedepankan atau mengharapkan yang namanya ijazah atau titel yang dikedepankan adalah pemikiran atau pengetahuan para murid atau para pendidik.

B.  Tujuan Masalah
      1.   untuk mengetahui pengertian sekolah masyarakat
      2.   untuk menambah pengetahuan bagi penulis maupun pembaca
      3.   agar kelompok ini bisa menerangkan masalah yang kita kaji


BAB II
SEKOLAH DAN MASYARAKAT

A.  Sekolah Sebagai Suatu Lembaga : Pandangan Sekarang dan Masa_Mendatang
Mempersoalkan jasa sekolah sebagai lembaga pendidikan di depan para ahli pendidikan mungkin terdengar tidak pada tempatnya, atau bahkan tidak masuk akal, seperti halnya mempersoalkan kemampuan Gereja memenuhi kebutuhan rohani umat. Selama l00 tahun sejak pendidikan dasar menjadi universal di dunia Barat, banyak hal yang menyangkut persekolahan telah menjadi sesuatu yang begitu biasa sehingga dianggap berakar kepada metafisika. Umpamanya, struktur sistem persekolahan memang seharusnya demikian, sehingga sistem yang lain, walaupun seringkali sejalan, hanya diperuntukkan bagi anak-anak yang mempunyai kelainan dan yang mempunyai bakat lain termasuk golongan sosial lain. Memperoleh pengetahuan serta keterampilan seperti yang digariskan kurikulum dan buku pelajaran hanya dapat berhasil jika dilakukan di gedung sekolah yang megah (terutama dewasa ini) yarg terbagi atas ruang-ruang kelas yang lebih kurang sama besarnya. Anak-anak sebanyak 20 sampai 40 orang dianggap dapat belajar dengan baik selama mereka dengan tekun menuruti khotbah orang yang disebut guru.

Kalau tidak ada guru, proses belajar pun tidak terjadi. Itulah sebabnya mengapa belajar dianggap sama dengan kegiatan guru yang berijazah. Oleh sebab itu, untuk waktu yang lama banyak guru sekolah dasar berpendapat bahwa para orang tua serta guru TK jangan mulai mengajar membaca sebelum anak masuk sekolah dasar. Guru sekolah dasar dipandang sebagai pendidik yang terulung, ya, bahkan sebagai satu-satunya yang berwenang melakukan tugas itu; orang lain yang mengajar anak membaca hanya akan menimbulkan kebingungan saja.

Sudah wajarlah kalau perhatian dicurahkan lebih banyak kepada perluasan kesempatan belajar generasi muda akibat berbagai perubahan yang ditetapkan. Perubahan 1950’an dan 1960-an tidak dimaksudkan untuk mengubah pendidikan di bidang kelembagaan, melainkan Untuk mewujudkan persamaan di bidang pendidikan yang telah direngkum dalam kebijaksanaan sosial-ekonomi.

Sekarang ini anak-anak usia 11-14 tahun tidak lagi langsung mengalami perubahan tugas tugas belajar menjadi tugas bekerja sebagai orang dewasa; tidak seperti dulu, ketika anak-anak menyiapkan diri dngan belajar bersama-sama kakak dan orang tua di rumah. Sekarang ini anak-anak tetap tinggal di sekolah, yang teoritis mengemban tugas yang lebih luas untuk mengalihkan ilmu kepada anak didik dan memasyarakatkannya. Kita kini hidup dalam lingkungan kerja yang lebih rumit, tetapi juga mempunyai liku-liku kewarganegaraan yang lebih ruwet pada umumnya.

Sejalan dengan bertambah besarnya tugas sekolah baik ditinjau dari segi isi maupun waktu, maka status kelembagaannya menjadi semakin kuat. Sebagaimana telah saya kemukakan diatas, sekolah tidak lagi hanya bertanggung jawab mengajarkan ilmu pengetahuan dan keterampilan, walaupun pekerjaan itu sudah menjadi sangat berat akibat masuknya bidang studi-bidang studi baru. Bagaimanapun kita harus mencari bukti yang nyata tentang kebenaran bahwa anak harus menghabiskan waktu begitu lama di sekolah.

Khusus rnengenai keharusan belajar murid, bahwa salah-satu masalah yang paling rawan bagi para remaja pra-dewasa ini adalah masalah bagaimana harus memberi kesempatan kepada mereka supaya dapat mempelajari hal-hal yang berarti dan tidak supaya mereka itu terganggu oleh pengajaran yang harus mereka telan, lepas dari segala maksudnya yang baik. Istilah maksud yang baik ini saya beri tekanan di sini, karena menurut hemat saya, sungguh tragislah melihat ambisi mengajar, yang merangsang kebanyakan guru, terutama di sekolah menengah dan kekecewaan yang sering mereka rasakan apabila mereka gagal menarik perhatian para murid mereka. Kata orang, pengajaran itu gagal mencapai sasaran, karena disiplin anak brengsek. Pada hakikatnya motivasi anaklah yang harus menjadi titik-tolak mengajar, kecuali bila ada rnaksud untuk mendasarkan pendidikan kepada teori pendidikan, yang baru saja saya sindiri dan yang berasal dari yang dapat saya sebut teori negatif tentang motivasi, yang menyatakan bahwa murid belajar untuk menghindari dari hal-hal yang tidak menyenangkan.

Kehidupan di luar sekolah tidak kalah kaya akan informasi kehidupan di dalam sekolah. Ini berarti unsur belajar tradisional di sekolah mendapatkan dukungan dari luar. Dengan demikian kesenjangan antara teori dan praktek semakin rawan; demikian pula kesenjangan antara pendidikan di sekolah dan kehidupan di luar sekolah. Kesenjangan inilah yang dirasakan para remaja dalam usaha mengumpulkan ilmu.

Di sekolah, orang-orang dewasa seringkali sebagai penguasa abstrak menentukan, merencanakan, mempersiapkan tugas secara cermat sesuai dengan idaman sang teknokrat pendidikan. Murid tidak dapat kita harapkan untuk melakukan kegiatan dengan semangat dan perasaan nyaman seperti di rumah. Kita tidak dapat mengharapkan murid bertingkah laku, berprakarsa, dan bertanggung jawab melebihi apa yang diajarkan di sekolah.

Oleh karena itu, tugas utama sekolah adalah mengajar murid supaya dapat belajar, dan meresapi ilmu pengetahuan secara mandiri. Kenyataan bahwa kita tidak lagi boleh menganggap masa usia muda hanya menjadi tanggungjawab sektor pendidikan, maka kita tidak lagi boleh menganggap usia muda itu menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan untuk hidup dan karena itu, memberi kesan yang kuat akan perlunya usaha untuk mengejar ketinggalan seluruhnya. Di dalam masyarakat yang kaya akan informasi, selama hidup orang harus mendidik diri sendiri, harus meluaskan cakrawala, dan di dalam banyak hal, memulai dari permulaan. Dengan demikian, kita tidak dapat mengharapkan sekolah memberikan persediaan “pangan”, yang akan menghidupi remaja seumur hidup, terutama karena sekolah memang tidak menyediakannya. “Pangan” itu baru akan tersedia secara bertahap selama perjalanan hidup.

B.  Perbedaan Perorangan dan Pembelajaran Perorangan
Pelajaran tradisional yang sejak zaman dulu diberikan di sekolah, didasarkan pada tiga anggapan, yang biasanya dipandang sebagai aksioma :
(1) Murid hanya belajar untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan; jika tidak belajar, maka ia akan menerima nilai rendah, tidak naik kelas, mendapatkan peringatan dan hukuman, dan lain sebagainya.
(2)  Beberapa murid dapat menyelesaikan tugasnya, lainnya tidak, karena yang pertama mempunyai kemampuan skolastik, sedangkan yang kedua selalu gagal dalam mata pelajaran tertentu, seperti aljabar, bahasa asing, dan fisika nuklir.
(3)  Kemampuan murid terutama dievaluasi menurut keberhasilan menyelesaikan tugas-tugas yang dibuat semakin berat dan diberikan melalui pelajaran di kelas maupun dari buku teks. Makin berat tugas yang dapat diselesaikan, makin besarlah kemampuannya.
Anggapan ini memberi dampak penting bagi sekolah dan pelajaran yang diberikannya.

Pertama-tama, penilaian harus diberikan dalam wujud angka dan dalam ketentuan naik dan tidaknya murid, karena kalau tidak demikian, banyak murid akan kehilangan motivasi untuk belajar. Kita tidak dapat menganggap mereka akan belajar,  karena mata pelajaran itu sendiri yang merangsang perhatian; dengan kata lain, satu-satunya jalan untuk membelajarkan murid adalah hanya melalui ancaman “pedang bermata dua yang bergantungan di atas kepala mereka” untuk menakut-nakuti mereka.

Kedua, sudah wajarlah bahwa beberapa murid gagal atau berhasil pada suatu tingkat dalam suatu mata pelajaran. Oleh karena tentunya ada suatu sistem pemberian nilai secara mutlak, dengan standar minimal kelulusan. Hal ini seringkali dianggap memang sudah semestinya seolah-olah berakar pada metafisika. Angka perbandingan antara murid yang berhasil dan yang gagal selalu menunjukkan keajegan, tak peduli banyak-sedikitnya murid yang belajar menurut sistem ini.
1.   Pengkhususan Metode Dan Media Untuk Perorangan
Prinsip tradisional yang berlaku untuk mengevaluasi prestasi belajar harus ditinjau kembali sesuai dengan pengalaman-pengalaman yang kita sebut di atas. Sistem pemberian nilai, yang dimaksudkan untuk saling membandingkan murid, baik sekelas, sesekolah dan atau sewilayah, untuk beberapa anak memberi dampak kegagalan, pada hal nilai itu dimaksudkan untuk memberi motivasi. Apa yang harus diketahui oleh murid perorangan (dan juga oleh guru) ialah apakah kurva prestasinya naik atau menurun. Dengan kata lain, ia harus dibandingkan dengan dirinya sendiri.m Itulah salah-satu cara bagaimana sekolah dapat mémberi semua muridnya kesempatan untuk merasakan sukses. Sistem memberi nilai di banyak negara yang berlaku sampai sekarang berasal dari awal abad ke-19, pada waktu mana terjadi peningkatan mobilitas sosial akibat Revolusi Perancis dan ketika pendidikan akademik memandang tugas utamanya mengadakan screening bagi kaum elit sosial dan/atau intelektual untuk menduduki jabatan-jabatan penting di dalam masyarakat. Pada waktu itu masyarakat bersifat lebih “meritokratik”, di mana pendidikan merupakan sarana peningkatan status sosial. Tetapi sekarang tidak ada lagi kemungkinan munculnya kaum elit seperti itu. Sekarang hampir semua orang dapat mencapai status tinggi, yang dulu hanya dapat dimiliki beberapa gelintir orang. Pendidikan belum berhenti setelah anak menyelesaikan pendidikan formalnya. Di dalam masyarakat “belajar” sekarang ini pendidikan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu sangat pentinglah untuk menanamkan rasa “maju terus, pantang mundur”, sehingga walaupun putus-sekolah seorang tidak akan merasa patah hati atau gagal.

Kita harus berusaha sekuat-kuat untuk mengatur kegiatan sekolah sedemikian rupa sehingga rupa sehingga setiap murid dapat belajar menurut kecepatannya sendiri, dan membiarkan pelajaran klasikal lambat laun “meninggal dunia”. Untuk mencapai itu ada dua persyaratan yang harus dipenuhi: 1) menyediakan peralatan pengajaran yang memadai, terutama yang dapat digunakan untuk belajar mandiri, dan 2) menyediakan pendidikan guru yang dapat memenuhi metodologi ini.

C.  Apakah Jumlah Jam Pembelajaran Mengakibatkan Perbedaan ?
Sudah lama orang percaya bahwa seleksi masuk sekolah dan naik tingkat itu menguntungkan tidak hanya anak pandai tetapi juga anak bodoh. Ada lagi kepercayaan bahwa terdapat kaitan linear antara jumlah jam pelajaran dan  pengetahuan yang dikuasai. Di dalam ke dua hal itu orang, menganggap bahwa jenis kelembagaan formallah yang bertanggung jawab atas dikuasainya sebagian, atau seluruh, pengetahuan atau keterampilan oleh murid. Oleh karena itu untuk meningkatkan standar, jumlah tahun pembelajaran atau jumlah jam pembelajaran murid harus diperbanyak.

Di suatu Negara yang mempunyai kurikulum nasional, bidang studi dan jam belajar per minggu ditetapkan oleh parlemen, karena merupakan faktor penting dalam menentukan biaya. Di dalam hal ini persaiangan antara juru wicara yang mewakili berbagai bidang studi berjalan dengan sengit.

Semua negara, yang mempunyai sistem sekolah dasar wajib, mengatur usia anak nasuk sekolah ini bergantung kepada negara yang bersangkutan. Di negara dengan sistem wajib sekolah yang agak maju, usia itu berkisar antara lima dan tujuh tahun. Umpamanya, di Inggris, anak masuk sekolah pada usia lima tahun, sedangkan di Skandinavia baru pada umur tujuh tahun. Di kebanyakan negara maju lainnya umur masuk sekolah biasanya enam tahun.

Ciri khas sistem persekolahan di negara berkembang, usia masuk sekolah itu sangat longgar. Keadaan ini, di samping banyaknya anak yang tidak naik tingkat, menyebabkan perbedaan umur yang besar di antara satu dan lain anak.

D.  Apakah Perolehan Keuntungan Pendidikan ?
Namun, masalah bagaimana pendidikan memberi perolehan keuntungan kepada individu dapat juga dianggap sebagai masalah “bagi rata”. Jika seperti di Swedia, kita menganggap pendidikan di segala tingkat sebagai pelayanan umum cuma-cuma, dan yang diperkuat dengan adanya sistern pemberian subsidi sebagai kompensasi kerugian yang diderita akibat anak tidak naik kelas, maka apakah tidak selayaknya kalau mereka yang berpendidikan lebih tinggi rnendapatkan gaji yang lebih tinggi? Padahal pada umumnya mereka hanya sedikit membiayai studi mereka sendiri, dan kadang bahkan tidak usah mengeluarkan biaya sama sekali. Hal ini dikemukakan beberapa tahun yang lalu di dalam perdebatan tentang meritokrasi yang muncul di dalam majalah Swedia, Studiekamraten. Salah-satu penulisnya, Dr. Per Holmberg dan Konfederasi Serikat Buruh Swedia, mengemukakan angka-angka dari sensus 1960. Karyawan yang produktif di dalam kelompok umur 40-50 tahun, rata-rata menerima 16.400 kroner per tahun, tanpa peduli latar-belakang pendidikannya, sedangkan yang memiliki ijazah kesarjanaan akademik mencapai 53,600 kroner. Kesenjangan pendapatan yang besar ini memunculkan pertanyaan retorik: dapatkah dianggap adil dan masuk akal menggaji sang doktor berlipat-lipat lebih tinggi daripada sang karyawan.



BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Memperoleh pengetahuan serta keterampilan seperti yang digariskan kurikulum dan buku pelajaran hanya dapat berhasil jika dilakukan di gedung sekolah yang megah (terutama dewasa ini) yarg terbagi atas ruang-ruang kelas yang lebih kurang sama besarnya. Anak-anak sebanyak 20 sampai 40 orang dianggap dapat belajar dengan baik selama mereka dengan tekun menuruti khotbah orang yang disebut guru.
Sudah wajarlah kalau perhatian dicurahkan lebih banyak kepada perluasan kesempatan belajar generasi muda akibat berbagai perubahan yang ditetapkan. Perubahan 1950’an dan 1960-an tidak dimaksudkan untuk mengubah pendidikan di bidang kelembagaan, melainkan Untuk mewujudkan persamaan di bidang pendidikan yang telah dirangkum dalam kebijaksanaan sosial-ekonomi.
Pelajaran tradisional yang sejak zaman dulu diberikan di sekolah, didasarkan pada tiga anggapan, yang biasanya dipandang sebagai aksioma :
(1) Murid hanya belajar untuk menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan;
(2)  Beberapa murid dapat menyelesaikan tugasnya, lainnya tidak, karena yang pertama mempunyai kemampuan skolastik, sedangkan yang kedua selalu gagal dalam mata pelajaran tertentu, seperti aljabar, bahasa asing, dan fisika nuklir.
(3)  Kemampuan murid terutama dievaluasi menurut keberhasilan menyelesaikan tugas-tugas yang dibuat semakin berat dan diberikan melalui pelajaran di kelas maupun dari buku teks. Makin berat tugas yang dapat diselesaikan, makin besarlah kemampuannya.


DAFTAR PUSTAKA


*      Ahmad ,Muhamad,dkk 2005.Ulumul Hadis.bandung:pustaka setia.
*      Drs.M.solahudi,M.Ag.2009.Ulumul Hadis.bandung:pustika setia
*      A,Qodir hasan.2007.Ilmu Mustalahul Hadis.diponogoro:anggota IKAP



Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SEKOLAH DAN MASYARAKAT"

Post a Comment