POKOK-POKOK PEMIKIRAN MAX WEBER
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MAX WEBER (1864-1920)
(Perspektif Teori Sosiologi tentang Perubahan Sosial)
POKOK-POKOK PEMIKIRAN MAX WEBER
(1864-1920)
(Perspektif Teori Sosiologi tentang
Perubahan Sosial)
Hendra Kurniawan*
I
Pemikiran Weber Tentang Hubungan
Antara
Agama dengan Rasionalitas
Tulisan-tulisan metodologis dari
Weber, dalam The Protestant Ethic (1958), menjelaskan masalah kebenaran
dan interpretasi sejarah baik yang materialistis maupun yang idealistis sebagai
pola-pola teoritis yang menyeluruh. Akan tetapi, metodologi Weber harus
ditempatkan di dalam kerangka pertentangan yang sedang berlangsung mengenai
hubungan antara ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan tentang manusia atau
sosial. Ruang lingkup tindakan manusia dikatakan sebagai suatu ruang lingkup
dimana metode-metode ilmu alam tidak berlaku, sehingga di dalam ruang lingkup
itu harus dipakai prosedur-prosedur intuisi, yang tidak eksak dan persis.
Karya Weber pada dasarnya adalah
mengemukakan teori tentang rasionalisasi (Brubaker, 1984). Secara spesifik,
berkembangnya brokrasi dalam kapitalisme modern, merupakan sebab-akibat dari
rasionalisasi hukum, politik, dan industri. Menurutnya, birokratisasi itu
sesungguhnya merupakan wujud dari administrasi yang konkrit dari tindakan yang
rasional, yang menembus bidang peradaban Barat, termasuk kedalamnya seni musik
dan arsitektur. Kecenderungan totalitas ke arah rasionalisasi di dunia Barat
merupakan hasil dari pengaruh perubahan sosial.
Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial
harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas
dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan
tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus
melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan
yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang
dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan
bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh
rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang
diinginkan (Giddens, 1986: 164).
Penggunaan ilmu pengetahuan empiris
dan analisis logis dapat memperlihatkan kepada seseorang tentang apa yang dapat
dicapainya, atau akibat apa saja yang terjadi selanjutnya, serta membantunya
menjelaskan sifat dari ideal-idealnya. Akan tetapi, ilmu pengetahuan itu
sendiri sulit untuk menerangkan kepadanya tentang keputusan apa yang harus
diambil. Analisis Weber mengenai politik dan tentang logika motivasi politik,
didasarkan atas pertimbangan-perimbangan ini. Perilaku politik dapat diarahkan
dalam suatu etika dari maksud-maksud pokok atau dalam suatu etika
pertanggungjawaban. Perilaku ini pada akhirnya bersifat keagamaan, atau paling
tidak memiliki bersama dengan perilaku keagamaan dengan atribut-atributnya yang
luar biasa.
Di sisi lain, Weber dan Marx
tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia
ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit).
Durkheim menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang
mengikat sehingga menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling
ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam
fungsionalisme Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil
tindakan yang tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang
diharapkan. Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam
pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang
dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja
mempercepat krisis ekonomi (Johnson, 1986: 163).
Konvensionalisme dalam Perubahan
Sosial Menurut Weber:
Assumption &
Beliefs Concerning
|
Conventionalism
Max Weber
(1864-1920)
Idealism
Stereotype “Volintarism”
|
1. The Image
Individual
|
Positive
|
2. The Image of
Society
|
Social Structure:
A Network of Meaning
(The relationships between social
actions, the social structures, and institutions of capitalism)
|
3. The Image
Theory
|
Verstehen:
Empathy Interpretation
|
4. Methodological
implications
|
Qualitative Approach
|
5. Other Label:
- Purdeu (1986)
- Ritzer (1985)
|
-Pluralist Paradigm
-Social Definition Paradigm
|
Hubungan Tentang Agama dan
Kapitalisme:
|
|
|
|
|
II
Hubungan Antara Agama dan
Rasionalitas dengan Perubahan Sosial.
Konsep Perubahan sosial dapat muncul
dari dua kubu yang saling mencari pengaruh, yaitu kubu materialisme yang
dipelopori oleh Marx dan Durkheim. Dalam proses perubahan sosial, Marx
menempatkan kesadaran individu sejajar dengan kesadaran kelas, ideologi dan
budaya yang kemudian merupakan medium perantara antara struktur dan individu.
Sebab, pada dasarnya, individu itu baik, tetapi masyarakatlah yang membuatnya
menjadi jahat. Meskipun Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme
modern adalah produksi masyarakat, akan tetapi Marx mengkhususkan diri dalam
kiprahnya, sebab, dinamika sosial adalah faktor penyebab terjadinya konflik
total.
Mengenai hubungan Weber dan Marx
adalah bahwa ia dipandang lebih banyak bekerja menurut tradisi Marxian
ketimbang menentangnya. Karyanya tentang agama (Weber, 1951; 1958a; 1958b),
apabila diinterpretasikan menurut sudut pandang ini adalah semata-mata
merupakan upaya untuk menunjukkan bahwa agama bukanlah satu-satunya faktor yang
dapat mempengaruhi gagasan, akan tetapi gagasan itu sendiri yang mempengaruhi
struktur sosial. Interpretasi karya Weber pada sisi ini jelas menempatkannya
sangat dekat dengan teori Marxian. Contoh yang lebih baik dari pandangan bahwa
Weber terlihat dalam proses membalikan teori Marxian adalah dalam bidang teori
stratifikasi (Ritzer & Goodman, 2003: 36).
Struktur sosial dalam perspektif
Weber, didefinisikan dalam istilah-istilah yang bersifat probabilistik dan
bukan sebagai suatu kenyataan empirik yang ada terlepas dari individu-individu.
Jadi, misalnya suatu hubungan sosial seluruhnya dan secara eksklusif terjadi
karena adanya probabilitas, dimana akan ada suatu arah tindakan sosial dalam
suatu pengertian yang dapat dimengerti secara berarti. Suatu keteraturan sosial
yang absah didasarkan pada kemungkinan bahwa seperangkat hubungan sosial akan
diarahkan ke suatu kepercayaan akan validitas keteraturan itu. Dalam semua hal
ini, realitas akhir yang menjadi dasar satuan-satuan sosial yang lebih besar ini
adalah tindakan sosial individu dengan arti-arti subyektifnya. Karena orientasi
subyektif individu mencakup kesadaran akan tindakan yang mungkin dan
reaksi-reaksi yang mungkin dari orang lain.
Weber juga mengakui pentingnya
stratifikasi ekonomi sebagai dasar yang fundamental untuk kelas perubahan.
Baginya, kelas sosial terdiri dari semua mereka yang memiliki kesempatan hidup
yang sama dalam bidang ekonomi. Menurutnya, kita dapat bicara tentang suatu
kelas apabila: (1) sejumlah orang sama-sama memiliki sumber hidup mereka
sejauh; (2) komponen ini secara eksklusif tercermin dalam kepentingan ekonomi
berupa kepemilikan benda-benda dan kesempatan memperoleh pendapatan yang
terlihat dalam; (3) kondisi-kondisi komoditi atau pasar tenaga kerja (Johnson,
1986: 222).
Weber memandang Marx dan para
penganut Marxis pada zamannya sebagai determinis ekonomi yang mengemukakan
teori-teori berpenyebab tunggal tentang perubahan sosial. Artinya, teori
Marxian dilihat oleh Weber sebagai upaya pencarian semua perkembangan historis
pada basis ekonomi dan memandang semua struktur kontemporer dibangun di atas
landasan ekonomi semata. Salah satu contoh determinisme ekonomi yang menggangu
pikiran Weber adalah pandangan yang mengatakan bahwa ide-ide hanyalah refleksi
kepentingan materil (terutama kepentingan ekonomi), dan bahwa kepentingan
materi menentukan ideologi (Ritzer & Goodman, 2003: 35).
Weber mencurahkan perhatiannya pada
gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the
Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan
terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme terutama sebagai
sbuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang
lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi
kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain,
dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan
kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951; 1958). Berdasarkan
karya-karya Weber ini, kesimpulannya adalah bahwa Weber mengembangkan gagasan
yang bertentangan dengan gagasan Marx.
Konsep legitimasi keteraturan sosial
mendasari analisa Weber mengenai institusi ekonomi, politik, dan agama, serta
interpretasinya mengenai perubahan sosial. Stabilitas keteraturan sosial yang
absah, menurut Weber, tidak tergantung semata-mata pada kebiasaan saja atau
pada kepentingan dari individu yang terlibat. Artinya, uniformitas perilaku
tidak diperkuat oleh sanksi eksternal. Justru sebaliknya, hal ini didasarkan
pada penerimaan individu akan norma-norma atau peraturan-peraturan yang
mendasari keteraturan itu sebagai sesuatu yang dapat diterima atau yang
diinginkan (Giddens, 1986).
Otoritas legal rasional tersebut di
atas, diwujudkan dalam organisasi birokratis. Analisa Weber yang sangat
terkenal mengenai organisasi birokratis berbeda dengan sikap yang umumnya
terdapat pada masa kini, yang memusatkan perhatiannya pada birokrasi yang tidak
efisien, boros, dan nampaknya tidak rasional lagi. Sebaliknya, dalam
membandingkan birokrasi dengan bentuk-bentuk administrasi tradisional kuno yang
didasarkan pada keluarga besar dan hubungan pribadi, Weber melihat birokrasi
modern sebagai satu bentuk organisasi sosial yang paling efisien, sistematis,
dan dapat diramalkan. Walaupun organisasi birokratis yang sebenarnya tidak
pernah sepenuhnya mengabaikan timbulnya hubungan-hubungan pribadi, namun
stidaknya sebagian besar analisa Weber mengenai birokrasi ini mencakup
karakteristik-karakteristik yang istimewa, dan dipandang sebagai tipe yang
ideal (Johnson, 1986: 226).
Teori Rasionalitas Perubahan Sosial Max Weber (1864-1920) adalah sebagai
berikut:
- Traditional Rationality: Tujuannya adalah perjuangan nilai yang berasal dari
tradisi kehidupan masyarakat (sehingga ada yang menyebut sebagai tindakan
yang non-rational).
- Value Oriented Rationality: Suatu kondisi dimana masyarakat
melihat nilai sebagai potensi hidup, sekalipun tidak aktual dalam
kehidupan keseharian.
- Affective Rationality: Jenis Rational yang bermuara dalam hubungan emosi yang
sangat mendalam, dimana ada relasi hubungan khusus yang tidak dapat
diterangkan di luar lingkaran tersebut.
- Purpossive Rationality: Tujuannya adalah “tindakan” dan “alat” dari bentuk
rational yang paling tinggi yang dipilihnya “Etika Protestan” dan
“Semangat “Kapitalisme”.
Inti Teori Weber tentang perubahan sosial adalah terletak pada:
- Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme
Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national
spirit (folk spirit). Durkheim juga menyatakan bahwa memang ada
semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit
analisis (analisis parameter)
- Berbeda dengan Weber yang menyatakan bahwa sebelum
terjadinya teknologi terlebih dahulu telah terjadi perubahan gagasan baru
dalam pola pemikiran masyarakat, dalam pemikiran Marx justru sebaliknya.
- Marx dan Weber sama-sama setuju bahwa basis kapitalisme
modern adalah produksi masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik, 1982. Tesis Weber dan Islam di Indonesia (ed) dalam “Agama,
Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta: LP3ES.
Brubaker, Rogers, 1984. The Limits of Rationality: An Essay on the Social and
Moral Thought of Max Weber. London: George Allen and Unwin.
Calhoun, C, 2002. Classical Sociological Theory (ed). Massacusetts:
Blackwell Published Ltd.
Durkheim, Emile, 1947. The Elementary Forms of Religious Life. New York:
Free Press.
_________, 1964. The Division of Labour in Society. New York: Free
Press.
_________, 1966. Suicide. New York: Free Press.
Gerth, H. & C.W. Mills, 1958. From Max Weber: Essays in Sociology.
New York: Oxford University Press.
Gurney, Patrick J, 1981. “Historical Origins of Ideological Denial: The Case of
Marx in American Sociology”. American Sociologist 16: 196-201.
Halevy Eva Etzioni (1964). Social Change: Source, Pattern, and Consequences
(ed). New York: Basic Books Inc. Publishers.
Johnson, Doyle. P, 1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, terjemahan
Robert M.Z. Lawang dari judul asli “Sociological Theory Classical Founders
and Contemporary Perspectives” (John Wiley & Sons Inc.). Jakarta:
Penerbit P.T. Gramedia.
Marx, Karl, 1891. Capital, Vol. 2. New York: Vintage Books.
Morris, Brian (2003). Antropologi Agama: Kritik Teori-Agama Kontemporer.
Yogyakarta: AK Group.
Ritzer, G. & Goodman, D.J, 2003. Teori Sosiologi Modern, terjemahan
Alimandan dari judul asli “Modern Sociological Theory” (McGraw-Hill).
Jakarta: Kencana-Prenada Media.
Salim, Agus (2002). Perubahan Sosial: Sketsa Teori dan Refleksi Metodologi.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Smith, Huston (2001). Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Turner, Bryan S, 1982. Islam, Kapitalisme, dan Tesis Weber, dalam Taufik
Abdullah (ed) Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi. Jakarta:
LP3ES.
Weber, Max, 1951. The Religion of India: The Sociology of Hinduism and
Budhism. Glencoe III: Free Press.
__________, 1958a. The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism.
New York: Charles Scribner’s Sons.
__________, 1958b. The Religion of China: Confusianism and Taoism.
Glencoe III: Free Press.
Worsley, Peter, 2002. Marx and Marxian. London & New York: Routledge.
* Tugas Kelompok Program Doktoral (S-3) Departemen Antropologi dalam Mata
Kuliah-Wajib Teori Sosiologi Klasik Program Pascasarjana Sosiologi FISIP UI, 16
Desember
0 Response to "POKOK-POKOK PEMIKIRAN MAX WEBER "
Post a Comment