“PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”.


PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU
DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI


SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Pada Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial (T-IPS) Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon






Oleh :

IMUN MUNTAHA HILMI
59440903

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH NURJATI CIREBON
2013 M/1434 H




IKTISAR

IMUN MUNTAHA HILMI, 59440903  :  Perspektif Max Weber Tentang Etos Kerja Guru Dalam Pembelajaran Pendidikan Ips-Ekonomi

Pendidikan merupakan salah satu dari investasi dunia, yang mampu memajukan kesejahtraan masyarakat, menghasilkan generasi anak bangsa yang baik, hal ini dipicu oleh tenaga pengajar yaitu guru yang memiliki etos kerja yang tinggi, pada masa Max Weber di kalangan protestan banyak masyarakat melakukan pekerjaan kurang baik, akan tetapi hadir adanya  pemikiran Max Weber upaya solusi pembentukan bagi guru yang kurang semangat dalam mengajar, atau kurang etos kerja pada saat ini zaman moderen.

Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data tentang biografi dan karya-karya Max Weber, teori-teori Max Weber tentang etos kerja guru dalam pembelajaran pendidikan untuk memperjuangkan tenaga pengajar yang mempunyai kesemangatan dalam mengajar, sehingga mampu menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif dan berakhlak mulia. Yang menjadikan pendidikan bertarap nasional bahkan internasional.

Sebagai kerangka pemikir, Etos kerja adalah semangat bekerja melakukan pengupayaan pencitraan pembentukan diri dalam dunia pendidikan sehingga menghasilkan keberhasilan dalam belajar. Yang membentuk siswa menjadi manusia sempurna, atau dalam proses memanusiakan manusia. Etos kerja yang di praktekan Weber ketika ingin mencari jati diri, Weber menerapkan kebiasaan kerja keras untuk menghasilkan tujuan hidup, sehingga mampu meraih gelar profesor. Dan menggambarkan kepada masyrakat kalangan protestan, ajaran calvinisme untuk bekerja keras dalam melakukan pekerjaan untuk mencapai kecerahan hidup dimasa depan.

Penelitian ini dilakukan metodologi penelitian kepustakaan, pengumpulan data, analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan literature (studi pustaka) untuk mendapatkan informasi mengenai masalah yang diteliti. Sedangkan analisis data dilakukan untuk memberikan uraian secara deskriptif dan menarik kesimpulan dari uraian tersebut.

Dari analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa hasil dari penelitian membuktikan pembentukan, peran Max Weber dalam dunia pendidikan untuk memperjuangkan pembentukan kesemangatan bekerja bagi guru yang bisa menghasilkan pembelajaran lebih baik sehingga mampu menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif, berguna bagi nusa dan bangsa, memiliki masa depan yang cerah dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.




PERSETUJUAN
PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA
GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI









Oleh :

IMUN MUNTAHA HILMI
NIM : 59440903




Menyetujui
            Pembimbing I,                                                    Pembimbing II,



            Drs. Asep Mulyana M.Si                              Drs.Masdudi, M.pd
            NIP:196708031994031003                            NIP:197102261997031006





NOTA DINAS
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
di-
Tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Setelah mendapat bimbingan, telaahan, arahan, dan koreksi terhadap penulis skripsi diri :
Nama               : Imun Muntaha Hilmi
NIM                : 59440903
Judul Skripsi  : PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA
GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-
EKONOMI
            Kami berpendapat bahwa skripsi di atas sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon untuk di munaqosahkan.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
                                                                                                Cirebon 01 Mei 2013
Pembimbing I                                          Pembimbing II


Drs. Asep Mulyana M.Si                  Drs. Masdudi, M.Pd
                        NIP: 196708031994031003               NIP:197102261997031006

PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI
Bismillahirrahmanirrahim
            Dengan ini saya nyatakan bahwa skripsi dengan judul “PERSEPEKTIF MAX WEBER  TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”  ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat keilmuan.
            Atas pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/ sanksi apapun yang dijatuhkan kepada saya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila dikemudian hari ditemukan adanya pelanggaran terhadap keaslian karya saya ini.

 Cirebon,01 Mei 2013
Yang membuat pernyataan



IMUN MUNTAHA HILMI
NIM : 59440903







RIWAYAT HIDUP PENULIS



IMUN MUNTAHA HILMI dilahirkan di Indramayu tepatnya di desa Cibeber Blok Fil-boxs Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu pada tanggal 25 Oktober 1991. Ia adalah anak terakhir dari keluarga pasangan Bapak Abdul Kalim dan Ibu Suenah Wati. Pendidikan yang yang telah ditempuh dari mulai MI As-Syifa Wal’ain Bondan (lulus 2003). Stelah lulus MI dilanjutkan kejenjang berikutnya di MTs As-Sifa Wal’ain Bondan (lulus 2006). Kemudian setelah lulus penulis melanjutkan kejenjang berikutnya di pendididkan MA Assyarifiyah Wideng Bondan (lulus 2009). Setelah lulus dari MA penulis melanjutkan studi di Fakultas Tarbiyah Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, sekarang menjadi Jurusan IPS Ekonomi IAIN Syekh Nurjati Cirebon.
        Setelah menjadi mahasiswa penulis aktif di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra. Organisasi kemahasiswaan yang diikuti penulis dan pernah menjabat di organisasi kemahasiswaan.
Bagian Organisasi Intra antara lain:
·         HIMASOS (Himpunan Mahasiswa Sosial), Ketua Umum 2011-2012.
·         SABURA (Sakti Budhi Rasa), Kabid 1 Pengurus.
·         DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa-sekarang SEMA), Angggota Komisi A.
·         DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa), Ketua Kabid Pendidikan.
Adapun bagian Organisasi ekstra antara lain:
·         PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), pengurus Kabid Kesekertariatan.
·         IKMI (Ikatan Kampus Mahasiswa Indramayu), Ketua Bidang 1 Litbang (Lintas Bidang).
·         PPU (Pondok Pesantren Ulumuddin), Pengurus 2009-2011.
·         PPA (Pondok Pesantren Azziyadah), Sekertaris 2011-2012.
·         DKM (Dewan Kemakmuran Masjid Baitu As-Salam, cideng), Pengurus 2012.
·         DKM (Dewan Kemakmuran Masjid Assyamsu, Kesambi), Pengurus 2013.
     Penulis menyelesaikan program sarjana strata satu (S1) Pada jurusan Ilmu pengetahuan sosial Ekonomi Fakultas Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon dalam tahun akademik 2012/2013 dengan judul skripsi “Pemikiran Max Weber Tentang Etos Kerja Guru Dalam Pembelajaran Ips-Ekonomi”

Cirebon, 01 Mei  2013


                                                                    Penulis




SKRIPSI ini Penulis Persembahkan Untuk:

Ibundan dan Ayahanda Bpk Abdul Halim (Alm), Ibu Suenah tercinta dengan kasih sayangnya telah memberikan segalanya, dari mendidik sejak kecil sampai sekarang mendapatkan pendidikan yang berharga dan terbaik demi terwujudnya anak yang soleh. Semoga amal salehnya diterima oleh Allah SWT aminn.

Kaka-kakaku tercinta­­, Muhammad Subhi (Alm), Surotin (Almh), Muhammad Masnun, Muhammad Rifa’i S.Pd.i, Muhammad Saluki, dan Muhammad Sailin S.Kom, yang telah membimbing kami dari awal sampai akhir pendidikan baik dari segi moril maupun materil sehingga mampu menyelesaikan program studi ini dengan baik.

Guru-guruku tercinta, DR. K.H Shalahuddin, K.H Suja’i Amin, Drs. K.H Jufri Azi.M.Pd.i, Ust, Johar Maknun,Ust Mujtahid Lafif S.Kom, yang telah memberikan bimbingan kepada  penulis sampai menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak.

Kang Wahyono Annajih, Kang Kaelani, Kang Dayat, Ang Mamang yang selalu memberikan masukan sehingga penulis menemukan banyak inspirasi dalam menulis skripsi ini dengan baik.

Sahabat-sahabatku PMII IAIN Syekh Nurjati Cirebon, terhebat Umar susilawan, Ahmad Asari, Uswatun Hasanah (Presiden), Cimot (Iskandar),Syarif A (Ketum),Yunus (Gaclek),Sepul M, Jayus M, Wildan Ibnu Walid, Asep Rizky Padhilah, Masrur, Diki Agustina, Iha Ihwanul Muhajir, Syukron, Muhammad Majdi

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Studi tentang etos kerja dilatarbelakangi munculnya berbagai catatan buruk mengenai fenomena kinerja birokrasi yang dianggap rendah dan lambat. Literature menyebutkan bahwa hal tersebut antara lain dipengaruhi adanya budaya “paternalistik” yang masih kuat, sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan, dan tidak adanya sistem insentif yang tepat yang mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk bertindak efesien, responsif, dan profesional, (Dwiyanto, 2002:10).

Dalam pendidikan banyak problema diantaranya yang paling urgen adalah proses pembelajaran dan etos kerja guru yang masih sangat rendah, dari sinilah penulis ingin mengimplementasikan pemikiran Weber yang mengatakan seseorang harus mampu mempunyai semangat kerja yang baik, dengan etos kerja yang baik ini mampu mengefektifkan dalam pembelajaran sehingga bisa menjadikan peserta didik yang berprestasi baik dalam pendidikan maupun kemasyarakatan, Pendidikan merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia yang pada akhirnya bertujuan meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang Pendidikan Nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.

Sekolah merupakan salah satu organisasi pendidikan yang dapat dikatakan sebagai wadah untuk mencapai tujuan pembangunan nasional. Untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan pendidikan di sekolah, banyak factor yang mempengaruhi, diantaranya adalah etos  kerja guru di sekolah itu sendiri.

Etos kerja tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh sekelompok orang dalam masyarakat. Etos kerja dibentuk berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta sistem nilai (agama dan kepercayaan) yang diyakininya. Dalam etos kerja terkandung gairah  semangat kerja yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin.

Sinamo (2000:5) menegaskan bahwa etos kerja akan mampu mendongkrak semangat kerja. Ada 8 (delapan) peta etos kerja profesional yang Sinamo sebutkan, yaitu: kerja adalah rakhmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi diri, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah pelayanan.

Dari sudut teoritas hal ini membawa pada persoalan kemungkinan hubungan yang saling mendukung antara kenyataan rohani dengan sistem prilaku, bahkan akan mempersoalkan “etos kerja” dari masyarakat. Etos, kata geertz adalah “sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup”. Etos adalah aspek evaluatif, yang bersifat menilai, (Taufik Abdullah, 1986:2).

Pendidikan adalah upaya untuk mengimplementasikan ilmu yang maampu membentuk anak didik dalam potensi kreatifitas, mampu membentuk sikap kepribadian seseorang sehingga berhasil memanusiakan manusia.

Hal ini sejalan dengan pendapat Eti Nurhayati (2009:91) bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan proses memanusiakan manusia (humanizing human being). Dengan itu, setiap treatmen yang ada dalam praktek pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan dengan fitrah demikian, sehingga makhluk individu ynang khas, dan makhluk sosial yang hidup dalam realita sosial yang majemuk.
Pendidikan adalah wadah pengetahuan, gurunya manusia yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar adalah membuat para sisiwa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang iklas, akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar, guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti mengajar, guru yang keinginannya kuat dan serius mengajarkan dengan kinerja sendiri itu guru yang semangat kerja.

Hal ini sependapat dengan Munif Chatib (2012:57) Gurunya manusia juga manusia membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda dengan guru materialis, gurunya manusia menempatkan penghasilan sebagai akibat yang didapat dengan menjalankan kewajibanya, yaitu keiklasan belajar mengajar, guru yang mengajar dengan ikhlas dan semangat mengajar itu gurunya manusia.

Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3
“Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang kurangnya satu tahun pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”

Bangsa apa pun, apalagi bangsa kita, tidak mungkin dapat mencapai kemajuan tanpa sumber daya manusia yang baik. Sumber daya manusia yang baik tidak akan dapat peroleh tanpa pendidikan yang baik. Kualitas pendidikan sangat jauh dibandingkan pendidikan bangsalain, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air sampai saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan untuk mendukung kegagalan pendidikan tersebut, rata-rata hasil ujian akhir nasional, masih banyak yanag tanpa kemampuan hasil sendiri, ini bias disebabka dari peserta didik maupun etos kerja guru, (Jusuf Kalla, 2007:178)

Pendidikan akan terasa menyenangkan dan penuh makna, ketika lembaga pendidikan tidak hanya membekali kemampuan kognitif (berfikir) dan ketrampilan saja, tetapi juga memberikan kemampuan bersosialisasi atau beradaptasi (pendidikan social) kepada siswa. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk social, yang butuh berinteraksi dengan manusia dan lingkunganya. Siswa dibekali dengan kemampuan kognitif, skill dan kemampuan bersosial, sangat dimungkinkan keberhasilan mampu ia raih di masa depan. Dengan motivasi guru yang begitu antusias mengajar anak didik, dengan hal tersebut mampu menjadikan anak didik yang kreatif, inovatif, dan aktif (M. Yahya, 2011:51).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991:232), pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu diberikan awalan kata “me” sehinggan menjadi “mendidik” yang bartinya memelihara dan memberi latihan.Dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan adanya ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.

Pendidikan sebagai proses upaya meningkatkan peradaban individu atau masyarakat dari suatu keadaan tertentu menjadi keadaan yang lebih baik, secara institutional peranan dan fungsinya semakin dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Karena itu keberadaan suatu lembaga pendidikan di suatu daerah, merupakan salah satu factor penentu dalam upaya peningkatan kualitas masyarakat di daerah tersebut (Taqiyuddin, 2008:42).

Pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang yang disertai dengan perkembangan social budaya yang berlangsung dengan cepat dewasa, peranan guru telah meningkat dari sebagai pengajar sebagai pembimbing.Tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih meningkat terus, yang kedalamnya termasuk fungsi-fungsi guru sebagai perancang pengajaran (designer of instruction), pengelola pengajaran (manager of instruction), evaluator of student learning, motivator belajar dan sebagai pembimbing (Abu Ahmad, 2004:114).

Pendidikan menurut al-Ghozali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan menanamkan akhlak yang baik, dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan yang progressive pada tingkah laku manusia, (Press UIN Malang, 2009:166).

Karya awal yang paling monumental dan berjasa mempopulerkan kajian ilmiah antara etos kerja dan kesuksesan pada kelompok masyarakat tertentu adalah karangan Max Weber (1958) berjudul The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism,Weber menjelaskan bahwa ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap dari masyarakat terhadap makna kerja.

Kerja keras bagi ummat protestan sekte Calvinist adalah suatu panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan kehidupan mereka. Akibat dari dorongan semangat kerja keras ini ternyata sangat berpengaruh dengan semakin kuat pada peningkatan kehidupan ekonomi mereka. Dengan bekerja keras serta hidup hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin tidak hanya hidup lebih baik, tetapi mereka mampu pula memfungsikan diri mereka sebagai wiraswasta yang tangguh dan menjadikan diri mereka sebagai tulang punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Max Weber,1958:2).

Weber mendefinisikan semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengajaran rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadai kodrat manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif seperti dikehendaki oleh Karl Marx, (Umbo Upe, 2010:214).

Paradigma ini mengajarkan bahwa masalah pembangunan dan keterbelakangan (development and underdevelopment) dari suatu etnik atau bangsa tertentu  adalah sangat berkait dengan masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai dengan pembangunan. Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu  sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial berawal dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986:164).

Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, Weber mencatat ajaran Calvinisme melalui empat kerangka pemikiran, yaitu: doktrin predestinasi (nasib, takdir), pencarian keselamatan, asketisisme dunia-sini, dan konsep rasionalisasi. Etos Kerja harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa depan bangsa dan negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan memiliki orientasi kehidupan teracu kemasa depan yang lebih baik, ( Max Weber, 1930:1).

Etos kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya. Setiap orang memiliki internal being yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external. Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos kerja seseorang (Siregar, 2000: 25).

Kandungan etos kerja birokrasi semacam ini, nampaknya relevan dengan apa yang pernah disampaikan Weber (1958), menyebutkan bahwa bekerja yang baik harus bersumber pada ajaran yang menekankan pada sifat kerja keras, rajin atau tekun, hemat, berperhitungan, sanggup menahan diri dan rasional.

Weber menjelaskan bahwa kondisi-kondisi ini dimungkinkan terwujud apabila manusia terlebih dahulu memiliki sejumlah karakteristik psikologis tertentu (vocational ethics). Dan karakteristik psikologi tertentu itu menurut Weber tercermin di dalam berbagai citra sosial yang merupakan bentuk-bentuk ideal yang mencerminkan berbagai ungkapan atau semboyan-semboyan sebagai kekuatan pendorong (driving force).

Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas (Sinamo, 2003:2).

Etos kerja sebagai semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan di tempat kerja, seperti: disiplin, jujur, tanggung jawab, tekun, sabar, berwawasan, kreatif, bersemangat, mampu bekerja sama, sadar lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun, seorang pekerja atau pemimpin betapa hebat kepandaian/kecakapannya, tetapi tidak jujur atau tidak bertanggung jawab, tidak disiplin atau tidak loyal, misalnya apalagi tak mampu bekerja sama, pasti merugikan perusahaan. Hal tersebut tidak dikehendaki terjadi. Tanpa etos kerja tinggi seperti disebutkan di atas perusahaan tak mungkin meningkatkan produktivitas sebagaimana yang diharapkan. Kinerja (performance) sangat ditentukan oleh etos kerja. Menumbuhkan etos kerja kepada bawahan memang gampang-gampang sulit. Karena etos kerja tak dapat dipaksakan. Harus tumbuh dari dua pihak: atasan dan bawahan.

Max Weber mengemukakan bahwa Etos kerja termasuk salah satu global narrative, pembicaraan global. Salah satu di antara ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan negera-negera maju dan berkembang adalah wagra yang memiliki etos kerja yang tinggi. Pertama, bagaimana pandangan seseorang tentang kerja. Kedua, ada atau tidaknya semangat untuk melakukan pekerjaan, semangat bekerja atau menyelesaikan pekerjaan. Ketiga, adanya upaya untuk menyempurnakan kerja agar menjadi lebih produktif. Keempat, adanya kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya, ( Mulyadi Acep, 2008:10).

Weber berpengaruh dalam karakter seseorang Pendidikan adalah pembentukan karakter yang mampu membentuk manusia menjadi berakhlak dan berintelektual, dengan pendidikan manusia mampu mengerjakan pekerjaan sesuai dengan kemampuanya, pada zaman sekarang banyak problema untuk menghasilkan anak didik yang berintelektual, inovatif, dan kreatif. Selama ini banyak yang menyalahkan dari sitem pemerintahan, sekolah, managemen pendidikan, bahkan etos kerja guru yang kurang disiplin, karena mengikuti pepatah kita yang salah “hujan emas di negri orang, lebih baik hujan batu dinegri diri sendiri”, ini salah satu kerugian dalam pembentukan anak bangsa, disebabkan etos kerja yang kurang baik (Rochdjatun Ika, 2009:57).

Berdasarkan pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”.


B.  Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian kali ini, penulis mencoba membagi rumusan masalah kedalam tiga bagian, diantaranya:

1.      Identifikasi Masalah
a.    Wilayah Penelitian
Wilayah Penelitian dalam penulisan ini adalah wilayah kajian pendidikan ekonomi.
b.    Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini adalah pendekatan studi kepustakaan (studi literatur).
c.    Jenis Masalah
Jenis Masalah dalam penelitian ini adalah berusaha menjelaskan dan mengimplementasikan etos kerja guru terhadap pembelajaran materi ekonomi, dari pemikiran Max Weber dan mampu menerapkan di masyarakat sebagai alternatif untuk menjawab atas problematika guru yang lemah atas etos kerjanya dalam pembelajaran di pendidikan formal-nasional, sehingga mampu menghasilkan produktifitas anak didik yang kreatif.

2.      Pembatasan Masalah
Untuk mengantisipasi atas kesimpangsiuran dalam permasalahan penulis ini, maka  diuraikan beberapa pembatasan masalah, sebagai berikut:
a.       Pengertian etos kerja guru terhadapa pembelajaran pendidikan ekonomi menurut perspektif Max Weber dalam meningkatkan kinerja guru yang propesional.
b.      Urgensi etos kerja guru terhadap pembelajaran pendidikan ekonomi adalah bagaimana seorang guru yang spirit etich atau semangan bekerja dalam mengantisifasi ketidakberhasilan produktifitas dalam pembelajaran, atau menghasilkan siswa-siswi lulusan yang tidak kreatif.



3.       Pertanyaan penelitian
Awal dari latar belakang di atas, maka penulis dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan diantaranya sebagai berikut:
a.    Bagaimana perspektif Max Weber tentang etos kerja?
b.    Bagaimana implikasi pemikiran Max Weber tentang etos kerja dalam pembelajaran IPS Ekonomi?
c.    Bagaimana kontribusi pemikiran Max Weber tentang etos kerja terhadap guru dan siswa?

C.  Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan kali ini adalah:
a.    Untuk mengetahui perspektif Max Weber tentang etos kerja.
b.    Untuk mengetahui implikasi pemikiran Max Weber tentang etos kerja  dalam pembelajaran IPS-Ekonomi.
c.    Agar memahami kontribusi pemikiran Max Weber tentang etos kerja terhadap guru dan siswa.

D.  Kerangka Pemikiran
Pendidikan adalah investasi dunia, dengan pendidikan manusia memahami kehidupan yang sebenarnya, mana yang dapat diperbaharu, dan mana yang tidak  dapat diperbaharui, manusia yang sudah paham betul dengan pendidikan diyakini mampu mengetahui dan melahirkan produktifitas yang baru dan bermutu, Etos kerja termasuk adalah satu di antara global narrative, pembicaraan global. Salah satu diantara ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan Negara maju dan berkembang adalah warga yang memiliki etos kerja yang tinggi.

Pendidikan, menurut Webster’s New World dictionary (1962), adalah “Suatu proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan, pikiran, watak dan lain-lain, khususnya melalui sekolah formal. Kegiatan pendidikan menyangkut produksi dan distribusi pengetahuan baik di lembaga reguler maupun non reguler”.Karena mayoritas kegiatan tersebut berlangsung di lembaga pengajaran seperti sekolah swasta dan negeri.
Dalam Undang-Undang RI No Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab II pasal 3 dikemukakan bahwa:
            “pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokrasi serta bertanggungjawab”.

Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh terhdap produktivitas, tetapi juga berpengaruh terhadap fertilitas (angka kelahiran) masyarakat. Dengan pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam meghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan. Jadi, pada umumnya pendidikan diakuai sebagai investasi sumber daya manusia. Pendidikan memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap serta produktivitas. Dalam hubungannya dengan biaya dan manfaat, pendidikan dapat dipandang sebagai salah satu investasi (human investment) dalam hal ini, proses pengetahuan dan keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata, akan tetapi merupakan suatu investasi (Mark Blaug, 1976:19).

Pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan saja untuk perorangan atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat yang mana dengan pendidikan sesungguhnya dapat memberikan suatu kontribusi yang substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang. Hal ini, secara langsung dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan sangat erat kaitannya dengan suatu konsep yang disebut dengan human capital, (Jones, 1985:4).

Pendidikan juga mampu memberikan mental dan inovasi baru dari anak didik, baik dalam bidang pendidikan maupun ekonomi, hal ini yang perlu kita perhatikan keberhasilan anak didik itu diakibatkan oleh  kesemangatan pengajaran guru, murid aktif jika guru tidak aktif maka sama dengan gelas tanpa air, tak ada isinya. Dengan itu makan pemerintah harus perhatikan ketika guru ditugaskan dalam pengajaran agar bangsa kita adalah bangsa yang baik, termasuk prioritas yang tinggi baik dalam penghasilan APBN maupun pendidikan.

Menurut Ahmad Rizal, yang dikutip Chatib Munif (2012:30) mengatakan bahwa ada guru yang secara mental tidak siap dilatih, bahkan jumlahnya cukup besar. Guru model demikian yang tidak mempunyai kemampuan apa pun. Persis seperti robot, baru bekerja setelah ada perintah dan selalu menuntut hak terlebih dahulu sebelum menunaikan kewajibanya dengan baik, sedikit guru yang berkosentrasi untuk belajar dan mengajar dengan baik, limit guru yang tinggi etos kerjanya hampir 30% dari 100%.

Dalam pandangan Clifford Geertz, etos adalah (sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan dalam hidup). Jadi dalam hal ini seseorang berhasil itu dikala semangat untuk berusaha, bekerja, dan bertawakal. Spirit inilah yang menjadi perilaku yang khas, seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional dan bertanggungjawab melalui keyakinan, komitmen dan penghayatan atas pradigma kerja tertentu seperti ”kerja adalah rahmat”,”kerja adalah amanah”, ”kerja adalah ibadah”.

Max Weber sendiri mencetuskan ide etos kerja sebagai aspek evaluatif yang bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber dari realitas spiritual keagamaan yang diyakininya. Selanjutnya dijelaskan bahwa cara hidup yang sesuaidengan kehendak Tuhan adalah memenuhi kewajiban yang ditimpakan kepada siindividu oleh kedudukannya di dunia. Inilah yang disebut sebagai calling atau panggilan, sebuah konsepsi agama mengenai tugas yang ditentukan oleh Tuhan, sebuah tugas hidup dan lapangan yang jelas tempat ia bekerja.


E.     Metodologi Penelitian
Langkah-langkah dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan ini bersumber dari berbagai rujukan buku yang tercaver dalam beberapa buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, yaitu tentang Biografi, karya-karya, teori pemikiran max weber terhadap etos kerja guru dalam pembelajaran pendidikan IPS Ekonomi.

2.      Pengumpulan Data
Data adalah informasi yang sudah di sitematikan terorganisir sedemikian rupa, berdasarkan fakta bahan-bahan literature yang didapatkan di perpustakaan.
3.       Analisis Data
Menganalisis data ini dengan cara memberikan deskripsi menggambarkan uraian secara induktif dengan memperhatikan litertur yang logis berdasarkan analisis ini (content analysis).
4.      Menarik kesimpulan dari uraian yang disajikan, hal ini digunakan untuk menjawab dari berbagai permasalahan dalam peneliti yang ada dalam skripsi.

Dalam langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini baik dari kajian pustaka maupun pengumpulan data tersebut diatas, maka dengan itu akan ditemukan beberapa informasi dan data-data yang nantinya akan dikembangkan secara dan lebih mendalam



F.     Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang satu sama lain saling berkaitan dengan tema pokok “perspektif Max Weber tentang etos kerja guru dalam pembelajaran pendidikan IPS- Ekonomi” Adapun sistematika penulisan yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut:

BAB I       PENDAHULUAN
Bab ini mencakup Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Peneliti, Kerangka Pemikiran, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II      LANDASAN TEORI
Bab ini mencertakan dan menjelaskan biografi, karya-karya Max Weber, dan teori Max Weber.
BAB III    METODOLOGI PENELITIAN
Bab ini mencakup penelitian kepustakaan, waktu penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, analisis data, dan menarik kesimpulan dari uraian yang disajikan.
BAB IV    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat tentang pemikiran Marx Weber tentang etos kerja guru terhadap pembelajaran ips-ekonomi, implikasi dan kontribusi terhadap guru dan siswa.
BAB V      PENUTUP
Bab ini meliputi dari kesimpulan dengan saran.


BAB II
LANDASAN TEORI
A.    BIOGRAFI MAX WEBER
Maximilian Weber atau yang terkenal dengan sebutan Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman tanggal 21 April 1894 dan meninggal di Munchen, Jerman tanggal 14 Juni 1920 tepatnya pada usia 56 tahun. Perbedaan penting antara Max Weber kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat, ia terganggu oleh ketidak sempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini berdampak besar terhadap Weber. Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62).

Ibu Max Weber, Helena falenstein Weber adalah seorang wanita protestan terpelajar dan liberal. Banyak anggota keluarganya di Thuringia yang bekerja sebagai guru dan pejabat rendahan. Tetapi ayahnya adalah seorang pejabat kaya yang menjelang revolusi 1848, menghabiskan pensiun di sebuah villa di Heidelberg, (Weber Max 2009:3).


14
Ketika berumur delapan belas tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu. Secara sosial ia mulai berkembang, sebagian karena terbiasa minum bir dengan teman-temannya. Lagipula ia dengan bangga memamerkan parutan akibat perkelahian yang menjadi cap kelompok persaudaraan mahasiswa seperti itu. Dalam hal ini Weber tak hanya menunjukkan jati dirinya sama dengan pandangan hidup ayahnya tetapi juga pada waktu itu memilih karir bidang hukum seperti ayahnya, (Marianne Weber, 1975:63).

Pada usia dua puluh tahun Weber kembali melanjutkan study di universitasnya di berlin dan Gottingen di mana, tetapi pada musim panas 1885 dan sekali lagi pada tahun 1888 ia ikut dalam oprasi militer di Posen. Di sana ia merasakan dari jarak dekat atmosfer perbatasan jerman-Slavonia, yang bagian tampak sebagai perbatasan “kultural” Diskusinya tentang Channing, dalam sebuah surat untuk ibunya, menjadi ciri pemikirannya waktu itu  (Weber Max, 2009:9).

Pada tahun 1882 Weber mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg sebagai mahasiswa hukum. Setelah setahun pelayanan militer ia pindah ke Universitas Berlin . Setelah beberapa tahun pertama sebagai mahasiswa, di mana ia menghabiskan banyak waktu "minum bir dan pagar , "Weber semakin akan mengambil sisi ibunya dalam argumen keluarga dan tumbuh terasing dari ayahnya. Bersamaan dengan studinya, ia bekerja sebagai junior pengacara, (Craig J. Calhoun, 2002:01-02).

Pada tahun 1886 Weber lulus pemeriksaan untuk Referendar, sebanding dengan asosiasi bar pemeriksaan dalam sistem hukum Inggris dan Amerika. Sepanjang akhir 1880-an, Weber melanjutkan studi hukum dan sejarah. Ia menerima gelar doktor hukum-Nya pada tahun 1889 dengan menulis disertasi tentang sejarah hukum yang berjudul The History of Medieval Bisnis Organisasi; penasihat adalah Levin Goldschmidt, otoritas dihormati di komersial hukum. Dua tahun kemudian, Weber selesai Habilitationsschrift, Sejarah Agraria Romawi dan Signifikansi untuk Hukum Publik dan Privat, bekerja dengan Agustus Meitzen . Memiliki demikian menjadi Privatdozent, Weber bergabung dengan Universitas fakultas Berlin, ceramah dan konsultasi untuk pemerintah (Weber, Max. 1994:ix).

Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir delapan tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya bergeser ke ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, sosiologi, dan teologi. yang menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama delapan tahun di Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi. Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan sebagai berikut: “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan empat buah telur goreng” (Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105).

 Weber menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern disebut Work aholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada 1896. Setelah masa kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun 1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika) yang kemudian berlangsung selama enam setengah tahun, Weber mulai mampu kembali aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.

Meski terus diganggu oleh masalah psikologis, setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting. Ia menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia dalam perspektif sejarah dunia (misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 Juni 1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski buku ini diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan German Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel, Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222).

Pada musim semi 1892, seorang putri keponakan Max Weber, datang ke Brlin untuk menempuh pendidikan demi suatu profesi. Marianne Schnitger, gadis dua puluh tahun putri seorang dokter, sudah menyelesaikan sekolahnya di kota Hanover. Kemudian gadis ini jatuh cinta sama Max Weber, kemudian saling jatuh cinta menikah Max Weber dengan Marianne Schnitger pada musim gugur tahun 1893, (Weber Max, 2009:11).

Pada tahun 1920 Weber mengalami menderita sakit, kemudian tepatnya pada tanggal 14 juni 1920 Weber meninggal dunia dikarnakan mengalami gangguan penyakit psikis yang dideritanya, dari sinilah kalangan calvinisme banyak yang membaca dan menerapkan pemikiran Weber dalam hidupnya yang penuh semangat mencari profesi, dan bekerja keras tanpa mengenal lelah.

B.     KARYA-KARYA MAX WEBER
Max Weber adalah salah satu tokoh sociologi yang terkemuka, kebanyakan karya Max Weber sendiri tentu diwarnai dengan aplikasi piawai metode historis Marx. Tetapi, Weber banyak mengemukakan karyanya dengan berbagi kebiasaan   protestan, Spirit Of Capitalisme, semangat untuk bekerja. Sosiologi agama, ekonomi dan masyarakat, Weber sebagi tokoh yang terfigur pada saat itu bahkan karyanya melesat ke jerman timur, amerika, sampe ke mahasiswa-mahasiswi di berbagai kampus ( Weber Max, 1989:13).

Berikut adalah karya-karya Max Weber sepanjang dalam hidupnya yang berhasil penulis dapatkan dari berbagai sumber referensi yaitu sebagai berikut:

1.      The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
Weber mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada Protestanisme terutama sebagai sebuah sistem gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951:195).

Weber mengamati bahwa agama Kristen memberikan nilai yang positif terhadap dunia material yang bersifat kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen memiliki tujuan tertinggi di dunia lain, namun di dunia ini, termasuk aspek-aspek material yang ada padanya dinilai secara positif sebagai tempat untuk melakukan usaha-usaha yang aktif. Ia  sendiri menemukan sikap terhadap dunia material tersebut teramat kuat di kalangan orang-orang Kristen Protestan ( Sudrajat, Ajat. 1994:41).

Menurut Weber, sikap seperti itu erat hubungannya dengan salah satu konsep yang berkembang di kalangan Protestan yakni konsep Beruf (Jerman), atau mungkin lebih jelas dalam bahasa Inggris sering disebut Calling (panggilan). Bagi dia, konsepsi tentang ”panggilan” merupakan konsep agama, yang baru muncul semasa reformasi. Istilah ini tidak ditemukan sebelumnya dalam lingkungan orang Katolik atau zaman purba, melainkan hanya ditemukan di lingkungan Protestan. Lutherlah yang mengembangkan konsep ini pada dekade pertama dari aktivitasnya sebagai seorang Reformator.

Lebih jauh, Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan sehari-hari berada dalam pengaruh agama. ‘Panggilan’ bagi seseorang adalah suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya. ‘Panggilan’ merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan, dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan kedudukannya di dunia. ‘Panggilan’ adalah konsepsi agama tentang suatu tugas yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di mana seseorang harus bekerja (Sudrajat, Ajat. 1994:42).

Ajaran Luther mengenai panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama persis. Bagi Calvin, dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya ada untuk tujuan itu semata. Orang-orang Kristen terpilih di dunia hanya dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Akan tetapi, Tuhan menghendaki adanya pencapaian sosial dari orang-orang Kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa kehidupan sosial dari orang-orang Kristen semacam itu harus dikelola menurut firman-Nya. Aktivitas sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei (semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri ini kemudian dilakukan dalam kerja dalam suatu panggilan hidup yang dapat melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya (Weber, Max. 2000: 158-159).

Weber menyatakan bahwa berbeda dengan orang-orang Katolik yang melihat kerja sebagai suatu keharusan demi kelangsungan hidup, maka Calvinisme—khususnya sekte-sekte Puritan—telah melihat kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia (Sudrajat, Ajat. 1994:43).

Weber mencoba memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki pengaruh yang cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran mengenai predestinasi. Lewat ajaran predestinasi dikatakan bahwa Allah menerima sebagian orang sehingga mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan hukuman kepada yang lain untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat bahwa hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai dasar predestinasi adalah ‘Allah tahu segala hal dari sebelumnya.’ Dengan kata lain, apabila kita menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum waktunya, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak kekal dan sampai kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia sebenarnya sudah ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula, demikian Calvin, semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh karena itu, kita harus mengatakan bahwa dasar predestinasi  bukanlah pada pekerjaan manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah keadaan tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah ditentukan bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah keputusan Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu yang berada di luar.

Weber berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya, mereka harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan sejak awal penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi dan tidak dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman Tuhan, terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap orang harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya, termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak bisa membantu (Sudrajat, Ajat. 1994:58).

Kalau demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula terpilihnya orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya terhadap Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti perintah-perintah-Nya sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan sendiri mengajarkan agar kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Aktivitas sosial yang dilakukannya semata-mata diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun demikian, hal yang paling penting dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan dasar ’kerja dalam panggilan’ untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.

Etika Protestan adalah kekuatan di balik aksi massa yang tidak direncanakan dan tidak terkoordinasi yang menyebabkan perkembangan kapitalisme. Ide ini juga dikenal sebagai "tesis Weber". Weber menunjukkan bahwa semangat itulah tidak terbatas pada budaya Barat bila kita menganggap itu sebagai sikap individu, tetapi orang tersebut pengusaha heroik, karena ia menyebut mereka-tidak bisa dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi baru (kapitalisme). Yang paling umum kecenderungan adalah keserakahan untuk mendapatkan keuntungan dengan usaha minimal dan gagasan bahwa kerja adalah kutukan dan beban yang harus dihindari terutama ketika itu melebihi apa yang cukup untuk hidup sederhana (Parsons, Taloctt and Weber Max, 1930:5).

Implikasinya adalah, pertama, setiap orang mempunyai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya sebagai orang terpilih. Ia harus menghilangkan semua sifat keragu-raguan karena perasaan dosa. Bagi Calvin, adanya rasa kurang percaya kepada diri sendiri merupakan akibat dari keyakinan yang kurang sepenuhnya. Adanya sifat keragu-raguan terhadap kepastian pemilihan adalah bukti adanya keyakinan yang tidak sempurna. Kedua, kegiatan duniawi yang sangat intens merupakan sarana yang paling baik dan sesuai untuk mengembangkan dan mempertahankan pemilihan. Weber berpendapat bahwa karena kecenderungannya tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis, positif, dan aktif (Sudrajat, Ajat. 1994:63-84).

Sekedar untuk mengulang, bukan doktrin etis suatu agama, melainkan bentuk tingkah laku etis dimana pahala di tempatkan yang menjadi persoalan, pahala semacam itu beroprasi melalui bentuk dan kondisi manfaat penyelamatan masing-masing. Dan tingkah laku demikian merupakan “etos” spesifik “seseorang” dalam arti kata sosiologis. Bagi puritanisme, tingkah laku itu adalah suatu cara hidup rasional, metodis yang pada kondisi tertentu melapangkan jalan pada “pembuktian” dari seseorang dihadapan tuhan dalam pengertian mencapai penyelamatan  yang bisa dijumpai dalam semua denominasi Puritan dimiliki dalam satu agama, dan “membuktikan” diri dihadapan manusia dalam pengertian memepertahankan diri seseorang secara sosial dalam sekte-sekte Puritan. Kedua aspek itu merupakan tambahan yang saling menopang dan bergerak dalam arah yang sama: mereka membantu melahirkan “semangat” kapitalisme modern, ethos spesifiknya: etos kelas menengah borjuis modern (Max Weber, 2009:382).

Pada intinya kemudian, "Spirit of Capitalism" Weber adalah efektif dan lebih luas dengan Roh Rasionalisasi. Esai ini juga dapat diartikan sebagai salah satu kritik Weber Karl Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx diadakan, secara umum, bahwa semua lembaga manusia termasuk agama – adalah berdasarkan fondasi ekonomi, Etika Protestan ternyata teori ini di atas kepala dengan menyiratkan bahwa gerakan keagamaan dipupuk kapitalisme, bukan sebaliknya. Spirit kapitalisme Fitur, pertama, dan mungkin yang paling penting dari semangat kapitalisme adalah bahwa itu diinvestasikan "Penghematan" dengan signifikansi moral yang tinggi. Individu terlibat dalam penghematan kapitalistik tidak hanya untuk kemanfaatan dari mencari nafkah, tetapi dengan harapan bahwa kegiatan tersebut akan menguji sumber daya batin dan dengan demikian menegaskan nilai moralnya ( Max Webe, 1905:15).


2.      The Sociology of Religion, Economy and Society
Ekonomi Max Weber dan Masyarakat adalah risalah sosiologis terbesar ditulis dalam abad ini. Diterbitkan secara anumerta di Jerman pada tahun 1920-an, telah menjadi bagian konstitutif dari imajinasi sosiologis modern. Ekonomi dan Masyarakat adalah perbandingan ketat empiris pertama struktur sosial dan perintah normatif di dunia-historis mendalam, mengandung bab-bab yang terkenal pada aksi sosial, agama, hukum, birokrasi, karisma, kota, dan masyarakat politik dengan dimensi kelas, status dan kekuasaan.  Ekonomi dan Status hanya risalah besar Weber untuk masyarakat umum berpendidikan. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang luas, namun dengan caranya sendiri itu adalah buku yang paling menuntut belum ditulis oleh seorang sosiolog. Ketepatan definisinya, kompleksitas tipologi dan kekayaan konten historisnya membuat pekerjaan tantangan berkesinambungan pada beberapa tingkatan pemahaman untuk sarjana canggih yang meraba-raba karena rasa masyarakat, untuk mahasiswa pascasarjana yang harus mengembangkannya kemampuan analisis sendiri, dan untuk sarjana yang harus cocok akal dengan Weber (Max Weber, 2005:xii).

Isi buku merupakan jawaban atas kegelisahan penulisnya mencari format rancang bangun ekonomi Islam dalam Islam, perekonomian dan masyarakat dan dari beberapa diskusi dengan ilmuwan dan profesor dalam bidang ekonomi Islam (Naqvi, 2003:xviii).

Buku ini ditulis beranjak dari keinginan untuk menguraikan tentang bangunan ilmu ekonomi dalam Islam. Seperti apa yang ditulis Naqvi bahwa tulisan ini menyajikan bagaimana ajaran Islam tentang ekonomi juga terkait dengan etika universal dan bagaimana ekonomi Islam menjelaskan sejumlah pernyataan yang bersifat feasible menyangkut perilaku orang-orang Islam refresentatif dalam sebuah masyarakat Muslim riil hidup berkenaan dengan nilai-nilai ideal yang tertanam dalam suatu personalitas yang jelas (Naqvi, 2003:xv).

Economy and Society Menurut Random House (1955:198) yang meminjam dari buku besar Max Weber sosiolog Jerman, Wirtschaft and Gesellschaft atau Economy and Society jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem (ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang masyarakat sendiri. Meskipun di Indonesia semua orang menyadari krisis yang kita hadapi sejak 1997 adalah krisis multidimensi (politik, ekonomi, budaya), namun orang cenderung dengan mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Konotasi ekonomi rupanya dianggap jauh lebih “menyeluruh” atau dianggap jauh lebih penting ketimbang aspek-aspek kehidupan politik, sosial, budaya, bahkan moral. Adapun alasan utama anggapan lebih pentingnya ekonomi ketimbang faktor-faktor lain adalah karena sejak pembangunan ber-Repelita (1969), pembangunan ekonomi berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun (210% secara akumulatif), telah mengubah Indonesia secara “luar biasa” dari sebuah negara miskin menjadi negara yang tidak miskin lagi.

Meskipun Max Weber mengetahui eksistensi ekonomi Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui mampu membangun peradaban begitu cepat”, (Adiwarman A Karim, 2004:19).

Mungkin fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statement menamfik apa yang disimpulkan oleh Weber tersebut. Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi (M. Abdul Karim, 2007:38).

Diawali dengan penjelasan menyangkut ekonomi Islam yang membahas tentang perilaku orang-orang Islam dalam suatu masyarakat Muslim yang khas, Naqvi mendefinisikan ekonomi Islam adalah merupakan kebiasaan baru yang radikal dalam praktek ekonomi hal ini didasarkan pada postulat bahwa praktek ekonomi Islam bersentuhan dengan realitas masyarakat Islam dan pentingnya mengkaji perilaku masyarakat Muslim serta menghubungkan perilaku para pelaku ekonomi dengan masyarakat Muslim, hal ini dibutuhkan karena desakan untuk memasukkan secara eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu frame work analisis yang terpadu (Syed Nawab Haider Naqvi, 2003:19).

Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme, Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Orang miskin dalam Islam tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan untuk mewujudkan keadilan sosial, disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara, yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme. Sementara ketegangan antara keyakinan dan tanggung jawab bisa, pada kenyataannya, bekerja dalam praktek (dan Goldman mungkin meremehkan argumen Weber pada tahun 1918 bahwa etika tanggung jawab dan etika keyakinan harus memainkan "saling melengkapi" ketimbang peran yang benar-benar bertentangan), Goldman tepat ketika ia mencatat bahwa Weber tidak memiliki gagasan tentang bagaimana untuk memediasi konflik-konflik nilai (Max Weber, 2004:62).

Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme, memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter Manusia sebagai wakil (kalifah).

3.      Esay in Sociology
Max Weber penulis Kelas, Status, Partai terus menjelaskan sifat intrinsik dari kelas dan bagaimana kelas, kelompok status dan partai politik membentuk struktur masyarakat kita. Menurut Weber tiga adalah, "fenomena distribusi kekuasaan dalam masyarakat." Memang, esai, Kelas, Status, Partai yang ditemukan dalam berpotongan Ketimpangan hanya dari 490 halaman buku yang berjudul, Dari Max Weber: Esai di Sosiologi. Bagian yang dipilih, Kelas, Status, Partai rincian keinginan manusia untuk kekuatan sosial dan bagaimana, melalui bentuk-bentuk tertentu kelas kekuasaan tercapai. Weber berpendapat bahwa mengejar kekuasaan sosial pada dasarnya merupakan upaya untuk memperoleh kehormatan sosial, Weber menyebutkan bahwa kekuasaan tidak selalu mengarah untuk menghormati sosial dan menggunakan gagasan dari Boss Amerika sebagai contoh. Namun, ia mengakui bahwa orang-orang yang dianggap terhormat oleh masyarakat sering mendapatkan kekuatan sosial atau memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukannya (Max Weber, 2007:8).

Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986:164).

Pindah kembali ke kehormatan sosial, yang Weber klaim adalah mengejar semua orang, kelompok status adalah cara untuk mencapai kehormatan sosial tergantung pada konvensi sosial dasar. Pada dasarnya kelompok sosial adalah komunitas orang-orang yang berbagi gaya hidup yang sama dan mengumpulkan komunal untuk merayakan gaya hidup yang mereka pilih. Sementara ia berpendapat bahwa orang-orang dari kelas yang berbeda dapat berbaur bersama dalam kelompok status kemungkinan seorang pekerja dermaga pergi ke acara gala di sebuah country club jarang. Dalam kebanyakan kasus gaya hidup seseorang ditentukan oleh status ekonomi mereka, namun alasan moneter tidak satu-satunya metode untuk menciptakan gaya hidup.

Max Weber mengatakan sifat obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, yaitu yang menurut Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri—yang tampak dalam Economy and Society—menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam penitikberatan di dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya tentang pemisahan logis dan mutlak antara pertimnbangan-pertimbangan faktual dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan, struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya memiliki arti penting (Giddens, 1986:168-178).

Aspek etnis atau budaya memiliki pengaruh besar pada gaya hidup seseorang, yang pada gilirannya menentukan apa kelompok status yang mereka afiliasi, dengan Ini adalah kelompok status etnis berbasis yang sering bekerja lebih pada tradisi atau ritual dan di kalangan tertentu mengesampingkan kelompok lain atau orang adalah tradisi umum dilakukan. Sementara kelompok status adalah masyarakat tidak seperti kelas, pihak adalah bentuk yang lebih luas dari masyarakat sebagai keterbatasan mereka tidak hanya berdasarkan berdiri ekonomi atau etnis. Sebaliknya cara untuk mendapatkan akses ke pesta adalah untuk berbagi cita-cita yang sama. Namun, partai seseorang pilihan sering ditentukan oleh gaya hidup mereka atau status dan situasi kelas mereka.

Di sisi lain, Weber dan Marx tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim menyatakan bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil tindakan yang tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan. Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam pengaruh-pengaruh yang tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi (Johnson, 1986:163).

Hal ini tidak mengherankan bahwa Weber memutuskan untuk tepat judul esainya, Kelas, Status, Partai karena urutan di mana mereka saling terhubung satu sama lain adalah tepat bahwa: Kelas, Status, Partai. Situasi kelas A seseorang niscaya akan menentukan status sosial mereka dan karena status sosial terkait dengan gaya hidup, yang membentuk cita-cita kebanyakan orang dan convicitions transisi dari status afiliasi ke partai politik tertentu adalah perkembangan alam. Dan itu adalah bahwa perkembangan alami, yang datang untuk membentuk dan struktur masyarakat secara keseluruhan, sering penyemenan kelas, status, rumus partai.

4.      The Theory Sosioal and Economic and Organization
Pembahasan tentang organisasi dicantumkan Weber dalam buku Economy and Society setelah menguraikan apa itu tindakan sosial, relasi sosial, tindakan yang berorientasi, legitimasi, dan relasi dalam asosiasi. Bagi Weber, ciri yang mencolok dari relasi-relasi sosial adalah kenyataan bahwa relasi-relasi tersebut bermakna bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya. Kompleksitas hubungan-hubungan sosial yang menyusun sebuah masyarakat baru dapat dimengerti apabila mampu dicapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari tindakan-tindakan sosial antara pribadi dari anggota masyarakat. Selanjutnya, khusus untuk legitimasi, Weber menyebut bahwa ada tiga tipe legitimasi yaitu yang berbentuk tradisional, kharismatik, dan legal/rasional. Penjelasan Weber tentang tindakan sosial pada hakekatnya menunjuk kepada tindakan individual, dimana penjelasan segala sesuatu tentang tindakan tersebut juga dicari dari diri si individual tersebut.

Organisasi birokrasi biasanya menaiki tumpuk kekuasaan berdasarkan suatu pemeringkatan perbedaan ekonomi dan sosial. Sekurang-kurangnya perjenjangan ini bersifat relatif, dan berkepentingan dengan signifikasi perbedaan sosial dan ekonomi karna asumsi fungsi-fungsi administratif (Max Weber, 2009:268).

Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Weber menyatakan bahwa sosiologi sebagai studi tindakan sosial antara hubungan sosial. Sebuah tindakan dianggap sebagai tindakan sosial atau tidak tergantung dari ada atau tidaknya tujuan dibalik tindakan tersebut. Sepanjang tindakan tersebut mempunyai arti subyektifitas bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Tindakan manusia yang menjadi perhatian mengandung makna subyektif, diarahkan kepada satu atau beberapa orang, dan memperhatikan tindakan orang lain. Jadi, ia dapat sebagai respon dari situasi atau tindakan orang, atau dapat juga karena mengharapkan respon dari orang lain.

Weber memilih bebagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang tercakup dalam sifat kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang paling “bisa dipahami”, dan perbuatan “manusia ekonomis”. Jika pemikiran Weber disempitkan dalam satu konsep saja, maka orang akan menyebut pada ”tindakan sosial”. Inilah yang menjadi intisari dari sosiologi Weber. Dalam buku Economy and Society Weber membahas bahwa tindakan sosial juga terjadi dalam organisasi, dimana organisasi menjadi latar utama bagaimana tindakan orang-orang. Artinya, meskipun tindakan sosial sering dipahami dilatari semata oleh motivasi individu, di bagian buku ini Weber mengakui kuatnya peran pihak luar yang berperan menentukan dan membatasi tindakan seorang atau sekelompok individu. Pemikiran ini sedikit banyak memiliki kesejajaran dengan cara berfikir Durkheim, dimana masyarakat – atau struktur - lah yang menentukan bagaimana perilaku manusia. Weber, perilaku orang dalam organisasi dipengaruhi oleh karakter spesifik atau prosedur dalam organisasi dimana mereka berada. Apa yang disebut dengan ”tindakan organisasi” adalah: (1) tindakan staf yang dilegitimasi oleh pihak eksekutif atau oleh mereka yang memiliki kekuatan representatif dan ditujukan untuk mencapai tujuan organisasi; dan (2) tindakan anggota organisasi sebagaimana diarahkan oleh staf. Disini terlihat bahwa tindakan yang dilakukan ditentukan oleh aturan organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa individu luruh dalam apa keinginan dan batasan yang dibuat organisasi. Individu tidak lagi sebagai aktor yang bebas belaka (Max Weber, 2009:67).

Bagaimana kondisi yang melingkupi dan tujuan dari tindakan individu dipaparkan Weber dalam berbagai bentuk sesuai dengan tipe dan jenis organisasi yang melingkupi orang bersangkutan. Tindakan organisasi misalnya terjadi baik di komunal ataupun asosiasi, dimana komunal dan asosiasi yang tertutup merupakan organisasi. Seseorang yang melakukan tindakan organisasi disebut Weber dengan ”person in authority”. Segala tindakannya mewakili organisasinya, karena ia adalah representatif dari organisasi di belakangnya. Sebuah organisasi dapat berupa autonomus bila aturan-aturan dalam organisasi dibuat oleh anggotanya sendiri, dan disebut heteronomus bila aturan ditetapkan oleh pihak luar. Dalam hal bagaimana pemilihan kepemimpinan atau pengurus, disebut sebagai autocephalous bila dipilih dari anggota sendiri secara internal dan heterocephalous bila pimpinan ditetapkan oleh pihak luar. Organisasi-organisasi yang hidup di masyarakat merupakan kombinasi dari kedua dimensi tersebut.

Tindakan-tindakan yang kurang “rasional” oleh Weber  digolongkan, kaitannya dengan pencarian “tujuan-tujuan absolut”, sebagai berasas sentimen berpengaruh (affectual sentiments), atau sebagai “tradisional”, Tindakan sosial yang lebih menjadi objek perhatian dalam sosiologi adalah tindakan yang terjadi secara berpola sehingga dapat diprediksi. Pola tersebut salah satunya dibentuk karena adanya aturan. Keteraturan dalam asosiasi ditegakkan dalam dua cara yaitu dengan kesepakatan sukarela atau ditentukan. Pada bagian relasi komunal dan relasi asosiatif, Weber menjelaskan bahwa relasi sosial disebut sebagai “komunal” jika orientasi tindakan sosialnya didasarkan pada perasaan subjektif kelompok (parties). Sementara relasi sosial disebut asosiasi apabila tindakan sosial yang dijalankan didasarkan pada motivasi yang rasional yang sejajar dengan kesepekatan yang sudah dibuat. Orientasi itu sendiri dapat bersifat rasional nilai atau rasional pengharapan. Kedua tipe tindakan ini dapat dijalankan dalam relasi sosial yang terbuka atau tertutup. Relasi sosial yang tertutup atau mambatasi pihak luar disebut dengan organisasi jika regulasi tersebut didasarkan atas wewenang pihak tertentu yaitu pimpinan organisasi bersangkutan, yang mana wewenang tersebut diperoleh karena posisinya sebagai perwakilan dari anggota (Max Weber, 2009:67-68).

Organisasi merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, manusia tidak bisa menolak kehadiran organisasi dalam kehidupannya. Organisasi membatasi sekaligus membentuk (govern) tindakan sosial. Dengan kesadaran ini, maka mempelajari tindakan sosial individu dengan mempertimbangkan apa dan dimana organisasi yang melingkupinya, akan sangat mempermudah pemahaman.

Weber juga menyebutkan bahwa sebuah organisasi dipengaruhi lingkungan masyarakat tempat dimana ia berada, sehingga menjadi organisasi teritorial. Konsep tekanan (imposed) yang dirasakan organisasi tumbuh dari aturan-aturan yang bersifat mayoritas. Seseorang – dan juga organissi - yang lahir dan besar di satu wilayah, otomatis berada dalam tekanan dari ”organisasi” masyarakat di sekitarnya, untuk bertindak sebagaimana diinginkan. Disini terlihat ada kesamaan dengan pemikiran Durkheim, dimana ada tekanan organisasi politik yang mewarnai suatu masyarakat. Sebuah organisasi yang formal sekalipun menghadapi banyak kekuatan luar yang menekannya.

Organisasi birokrasi biasanya menaiki tampuk kekuasan berdasarkan suatu pemeringkatan perbedaan ekonomi dan sosial. Sekurang-kurangnya penjenjangan ini bersifat relatif, dan berkepentingan dengan signifikansi perbedaan sosial dan ekonomi karena asumsi fungsi-fungsi administratif. Pada bagian lain pemikirannya, objek tentang organisasi ini diperluas Weber ketika membicarakan birokrasi. Weber menyebutkan bahwa birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang lebih matang dimana seluruh aktivitasnya dijalankan menurut prinsip-prinsip rasionalitas. Hal ini berperan terhadap kapitalisme, dimana tumbuhnya organisasi birokrasi di Eropa bersamaan dengan revolusi industri. Organisasi birokrasi dijalankan dengan prinsip rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan ekonomis. Otoritas dan kekuasaan yang syah digunakan untuk mengontrol pihak lain yang berada di bawahnya (Max Weber, 2009:268).

Dalam menjelaskan berbagai bentuk organisasi, Weber memandang lingkungan organisasi sebagai sesuatu yang penting. Lingkungan organisasi adalah sesuatu yang eksternal, berada di luar organisasi, namun mempunyai hubungan dan berpengaruh secara timbal balik terhadap organisasi. Itulah kenapa dalam tipe-tipe yang diajukan Weber ada heteronomus dan heterocephalous, juga adanya organisasi politik yang memberi pengaruh terhadap organsisasi di wilayah tertentu. Dari penjelasan ini terlihat bahwa organisasi adalah juga seorang aktor yang tindakan-tindakannya tergantung kepada kondisi sosial dimana ia hidup. Lebih jauh kemudian, organisasi dengan beragam tipenya, merupakan lingkungan yang membatasi dan menekan tindakan sosial yang dijalankan individu yang menjadi anggota dari organisasi tersebut.

Dengan kata lain, tindakan organisasi adalah juga suatu tindakan sosial individu namun terjadi pada level yang berbeda. Beberapa atribut dan penjelasan untuk tindakan sosial individu dapat pula diaplikasikan secara terbatas dalam menjelaskan tindakan organisasi, tentunya dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu.

5.      General Economi History
Pekerjaan akhir dari ilmuwan sosiolog besar, ekonom, dan politik dimulai dengan deskripsi dan analisis dari sistem agraria, dan kemudian mengeksplorasi sistem bangsawan, serikat pekerja, dan kapitalisme awal, organisasi industri dan pertambangan, pengembangan perdagangan, syarat teknis untuk mengangkut barang, sistem perbankan, evolusi kapitalisme dan semangat kapitalistik.

Bahkan jika makna aslinya sudah lama terlupakan. Situasi inisial dapat digantikan hanya sangat lambat. Sejarah ekonomi memiliki karena itu untuk menangani dengan non-ekonomi elemen. Di antaranya adalah: magis dan religious elemen-yang berjuang untuk barang salvational, politik unsur-the berjuang untuk kekuasaan, dan unsur-unsur dari status sosial-yang berjuang untuk kehormatan. Hari ini ekonomi adalah, sejauh bahwa itu adalah komersial ekonomi, sebagian besar ekonomi otonom: berorientasi hanya untuk ekonomi perspektif dan dengan tingkat tinggi rasionalitas diperhitungkan. Tetapi irasionalitas bahan yang kuat terus-menerus mengganggu ke kondisi ini rasionalitas formal, yang timbul terutama dari distribus pendapatan, yang sampai batas tertentu (dilihat dari sudut pandang yang 'Penyediaan optimal komoditas') mengarah pada material irasional distribusi barang, dan juga dari dalam negeri dan spekulatif antarests yang, dari perspektif perusahaan komersial, irra- internasional di alam. Namun perekonomian tidak hanya domain budaya atas mana perjuangan rasionalitas formal dan material dimainkan keluar. Hal yang sama juga berlaku domain hukum, di mana secara formal applica-tion dari bentrokan hukum dengan rasa keadilan materi.

Weber berpendapat bahwa oikos klasik adalah ciptaan kuno akhir, dan tidak harus diidentifikasi dengan masyarakat kuno pada umumnya. Kemudian  kuno diikuti oleh periode regresi untuk 'ekonomi alami', berhasil dari sekitar abad kesepuluh oleh pertumbuhan konsumsi, munculnya industri kerajinan, dan pembentukan kota-kota baru. Itu  Argumen sehingga tidak hanya pindah ke aktivitas 'industri' mengikuti pengobatan 'kegiatan pertanian' dalam bab pertama, melainkan memperlakukan kegiatan seperti bagian fungsional dari householding,  kontinyu dengan argumen sebelumnya terkena. Namun, hanya ketika batas kebutuhan rumah tangga melampaui bahwa sesungguhnya potensi manufaktur menjadi jelas, karena barang bisa pro-diproduksi untuk pertukaran. Di sini sekali lagi, Weber tidak pernah menyimpang jauh dari sosial organisasi kegiatan ekonomi-serikat regulasi craftproduction diperkenalkan, meskipun sistem ini pada gilirannya cepat membedakan menjadi struktur yang lebih kompleks mengintegrasikan berbagai tahapan produksi dan pertukaran. Out of this lokakarya dan pabrik awal muncul (Max Weber, 2006:7).

Bab ketiga kemudian menguraikan bentuk-bentuk yang menghubungkan berbagai bagian dari, semakin dibedakan tapi masih sistem pra-kapitalis, produksi-uang dan pengembangan trade. Exchange requiresthe lembaga khusus untuk mentransfer dan mengamankan hak, serta fisik mengangkut mereka dari satu tempat ke tempat lain. Pasar dan pameran, serikat pedagang, uang bentuk, kredit dan bunga, dan akhirnya muncul bank. Jaringan ini pada gilirannya membuat mungkin munculnya perusahaan abadi, yang timbul dari commenda sebagai pertama berupa 'hubungan asosiatif', dari Vergesellschaftung, yang  Struktur membuat bentuk dasar atau akuntansi modal yang diperlukan. Di sini untuk Misalnya Weber mengacu pada studi doktoralnya pada 1880-an nanti. Dalam bab keempat dan terakhir sekarang mungkin untuk memperhitungkan Munculnya kapitalisme modern-didefinisikan sebagai suatu sistem pertukaran dalam yang penyediaan untuk kebutuhan kelompok manusia terpenuhi melalui berfungsi dari perusahaan, bukan oleh rumah tangga. Ini masuk-prises yang rasional, lembaga kapitalis untuk tingkat yang mereka memanfaatkan akuntansi modal untuk menentukan profitabilitas alternatif eko-ekonomi employments. Sementara berbagai bentuk kapitalisme dapat ditemukan dalam semua periode-nya tory, penyediaan kebutuhan sehari-hari dengan cara kapitalis adalah unik untuk Barat, dan bahkan di sini hanya menjadi khas sejak paruh kedua dari abad kesembilan belas (Max Weber, 2006:8).

6.      Religionasseziologie (Sociologi of Religion)
Max Weber dalam buku ini menjelaskan bagaimana agama memainkan faktor fundamental dalam developement ekonomi dalam masyarakat yang berbeda. Buku ini terdiri tiga esai menjadi yang terakhir yang paling menarik karena Weber menceritakan perjalanan apa yang harus Amerika Serikat di mana Protestanisme dalam denominasi yang berbeda membantu dalam pembangunan. Juga dalam perjalanan buku kita dapat menemukan beberapa konsep tentang kekuasaan, negara, rasionalitas ekonomi Setidaknya bagi saya adalah pekerjaan yang baik dan apakah Anda ingin tahu tentang sosiologi, sosiologi baik saya sarankan Anda buku ini.

Tema pokok sosiologi agama Weber adalah gagasan tentang rasionalisasi. Rasionalisasi adalah suatu proses yang menjadikan aturan-aturan dan prosedur-prosedur dapat dikalkulasikan secara eksplisit dan intelektual, disistematisasi dan dispesifikasikan, dan langsung menggantikan sentimen dan tradisi. Rasionalisasi juga menunjukkan suatu bentuk kontrol normatif, suatu bentuk kekuatan legitimate yang oleh Weber disebut dengan “otoritas legal rasional”. Weber mendefinisikan model legitimasi ini sebagai “model yang didasarkan pada keyakinan atas legalitas pola-pola aturan normatif dan hak orang-orang yang menduduki otoritas dimana di bawah aturan tersebut ia mengeluarkan perintah. Weber mempertentangkan bentuk dominasi legitimate ini dengan “otoritas tradisional” dan “karismatik”. Pusat untuk ide Weber tentang perubahan agama dan sosial adalah "integrasi dan perbedaan antara sistem ekspektasi yang dilembagakan dalam perintah normatif dan pengalaman yang sebenarnya orang menjalani" atau, dengan kata lain, studi sosiologis apa yang orang menafsirkan menjadi konsekuensi bagi diri mereka sendiri dan aspek dari kondisi manusia yang mereka terpisah dalam kaitannya dengan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan perintah normatif didirikan. Ketegangan dasar adalah bagaimana Weber mendefinisikan dan menganalisis perkembangan perubahan sosial dan agama dalam suatu masyarakat tertentu dan munculnya berikutnya dari 'terobosan' (Max Weber, 1991:vi).

Rasionalisasi sebagai tipe ideal dan sebagai kekuatan sejarah muncul dalam banyak tulisan-tulisan Weber. Dia menganggap pengembangan bentuk-bentuk rasional untuk menjadi salah satu karakteristik yang paling penting dari perkembangan masyarakat Barat dan kapitalisme. Weber dilihat bentuk-bentuk tradisional dan karismatik sebagai tidak rasional, atau setidaknya non-rasional. Yang terakhir ini mungkin mengandalkan agama, magic, atau supranatural sebagai cara untuk menjelaskan dunia sosial dan otoritas juga dapat berasal dari ini. Ini mungkin tidak memiliki bentuk yang sistematis pembangunan, tapi mungkin bergantung pada personal, wahyu wawasan, emosi dan perasaan, fitur yang non-rasional dalam bentuk. Sebaliknya, rasionalitas terdiri dari seperangkat tindakan sosial yang diatur oleh alasan atau penalaran, perhitungan, ditambah mengejar rasional kepentingan seseorang. Rasionalitas membentuk sebagian besar dari rasional-hukum otoritas dan ada beberapa karakteristik yang Weber menganggap sebagai aspek rasionalitas (Ritzer, 1999:124-125).

Pada awal karyanya, Weber berhati-hati untuk negara, "adalah The esensi agama bahkan perhatian kami, karena kami membuat tugas kita untuk mempelajari kondisi dan pengaruh dari jenis tertentu dari perilaku sosial" Dia hanya. ingin mendekati studi agama dari sudut pandang 'subyektif' atau dari sudut pandang perilaku agama itu "berarti." la mencanangkan bahwa agama rasional termotivasi oleh 'aturan pengalaman' dan karenanya tidak boleh terlepas dari berbagai perilaku sehari-hari, "terutama karena bahkan ujung tindakan religius dan magis sebagian besar adalah ekonomi". Di sini, melalui kekuatan yang luar biasa yang dirasakan yang ia gambarkan sebagai karisma, memulai proses abstraksi berdasarkan pengalaman di mana mereka yang dirasionalisasi, dilambangkan, dan stereotip dalam hukum agama dan, setelah refleksi lebih lanjut, menjadi spesialisasi tujuan dewa dan numina yang menyebabkan imam . Roh-roh mencerminkan prinsip-prinsip tertentu agar, yang berkembang menjadi lampiran etika individu untuk kosmos kewajiban. Magic dan pujian berkembang menjadi ketaatan kepada hukum agama. Tabu berubah menjadi sistematisasi etika dan immergence irasional harapan untuk keselamatan. Nubuat dan imamat bekerja untuk menghasilkan pemusatan etika bawah naungan keselamatan agama (Max Weber, 1991:1).

Dinamika ini dimainkan berbeda dalam kelas-kelas politik, sosial, dan ekonomi berbeda. Agama tertentu yang dikembangkan di lingkungan perkotaan, sementara yang lain kebanyakan agraria. Kepentingan proletar cenderung lebih rasional dan kebencian display sementara konsep dosa dan keselamatan cenderung tidak ditemukan di kalangan elit politik tetapi digunakan untuk kontrol politik dan legitimasi. Kelas menengah cenderung ke arah agama rasional jemaat etis. Masyarakat politik dan etika berbaur dengan dewa lepas dari koneksi politik menjadi kekuatan universal dan etika dan ekonomi bentrokan rasionalisasi mengakibatkan penolakan 'dunia' dan terutama kegiatan ekonomi. Seks dan seni juga ditentukan melalui rasionalisasi etika mengakibatkan permusuhan indikasi dari setiap agama otentik keselamatan.

Pendekatan Weber pada dasarnya evolusi yang mencerminkan kali di mana dia tinggal dan menulis. Saya merasa penting bahwa ia, seperti Durkheim, keduanya kehilangan pengaruh bahwa ilmu pengetahuan akan bermain di kedua masyarakat dan agama meskipun mereka berdua digunakan untuk beberapa derajat model evolusi disediakan oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanapun, saya menemukan tiga basis otoritas atau legitimasi (karisma, tradisionalisme, dan rutinisasi) menjadi wawasan. Meskipun bisa dilihat sebagai suatu penyederhanaan, proses ini tampaknya menjadi lazim dalam bentuk sebagian besar aspek agama dan politik. Saya tidak begitu yakin bahwa "aturan birokrasi tidak dan tidak hanya beragam dari otoritas hukum", tapi di dunia sejarahnya ini tampaknya menjadi model bagi masyarakat Barat (Max Weber, 1991:299).
Menurut pea (2008:59) kaum puritan ajaran calvinisme, ajaran ibu dari Teori-teori Max Weber mengatakan bahwa etos kerja terdapat lima konsep yaitu:

1.      Pengintegrasian antara kehidupan bekerja dan kehidupan beragama menjadi satu kesatuan hidup yang kudus bagi tuhan.
Setiap pekerjaan yang dilakukan dibuatnya menjadi sebuah arena guna memuliakan dan mentaati tuhan serta untuk mengungkapkan kasih melalui pekerjaannya kepada sesama manusia.
2.      Pekerjaan sebagai sebuah “panggilan (calling)”
Kaum puritan bahwa setiap umat kristen memiliki panggilan kerja tertentu yang khusus baginya. Setiap upaya yang dilakukan seseorang untuk memenuhi panggilan tersebut melakukan bukti ketaatan kepada tuhan.

3.      Motivasi dan upah kerja
     Upah dari pelaksanaan sebuah panggilan kerja harus bersifat rohani dan memiliki nilai moral, yakni untuk memancarkan kemuliaan tuhan dan bermanfaat bagi kepentingan publik.
4.      Sukses dalam pekerjaan merupakan anugrah Tuhan, bukan hasil upaya kita.
Calvinisme tidak mengajarkan pada kekuatan diri, seperti konsep-konsep etos kerja akan tetapi calvinisme mengajarkan konsep tentang anugrah di dalam teori etos kerjanya yaitu apapun hasil imbalan yang kita terima dari pekerjaan kita, maka hal itu merupakan bentuk karunia anugrah dari tuhan.
5.      Moderasi terhadap pekerjaan
Kaum puritan menilai pentingnya untuk mempertahankan posisi antara hidup bermalas-malasan di satu sisi dan hidup diperbudak oleh pekerjaan dilain sisi. Kaum puritan membuat pekerjaan sebagai tanggung jawab pribadi sekaligus kewajiban didalam kehidupan sosial mereka sebagai umat tuhan.

 BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan ilmu yang mempelajari  tentang cara penelitian ilmu  alat-alat  dalam suatu penelitian. Oleh karena itu  metode penelitian membahas tentang konsep teoritis berbagai metode, kelebihan dan kelemahan yang dalam suatu karya ilmiah. Kemudian dilanjutkan dengan pemilihan metode yang akan digunakan dalam penelitian nantinya.
Metode penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

A.    Obyek dan Waktu Penelitian
Obyek penelitian penulisan ini adalah:
1.      Work Ethic Protestan dalam buku The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (1958).
2.      Spirit of Capitalism dalam buku The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (2000).
3.      Perubahan ekonomi Masyarakat dalam buku Economy and Society, (1914).
4.      Tindakan sosial dalam buku Esay in Sociology, (1946).
5.      Teori ekonomi dengan Tindakan sosial dalam organisasi dalam buku The Theory and Economy and Organization, (1947).
6.       Sosiologi agama dalam buku Religionasseziologie (Sociologi of Religion), (1991).
Waktu penelitian untuk penulisan skripsi ini berlangsung pada tanggal 01 Januari  sampai dengan 01 Mei 2013, melalui berbagai referensi buku beserta literatur-literatur yang bersangkutan dengan skripsi ini.

B.     Jenis Penelitian dan Pendekatan

39
Jenis penelitian ini adalah kualitatif. Menggunakan dengan library research (kepustakaan) yaitu sumber data yang berupa buku-buku  atau literatur yang  berkaitan dengan pembahasan. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Jelas bahwa pengertian ini mempertentangkan penelitian kualitatif dengan penelitian yang  bernuansa kuantitatif yaitu dengan menonjolkan bahwa usaha kuantifikasi apapun tidak perlu digunakan pada penelitian kualitatif.

C.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data  yakni membicarakan tentang bagaimana cara penulis mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis menggunakan Metode Dokumentasi. Menurut (Riyanto, Yatim. 1996:83), Dokumentasi berasal dari kata dokumen, yang berarti barang tertulis, metode dokumentasi berarti cara pengumpulan data  dengan mencatat data-data yang sudah ada dari pemikiran Max Weber The Spirit of Capitalis semangat kerja dengan etos kerja guru dalam pembelajaran IPS.

Adapun metode dokumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, majalah-majalah, internet, pemikiran-pemikiran tokoh yang berhubungan langsung dengan penelitian skripsi, pemikiran tokoh sosiologi yaitu Max Weber, yang menuangkan pemikiran Spirit of Capitalisme, semangat bekerja yang mampu mengimplemntasikan dalam kalangan calvinisme. Adapun tehnik yang penulis terapkan diantaranya:

      Teknik Library Research (kepustakaan) yakni mengumpulkan data-data dari beberapa referensi diantaranya buku, jurnal, dan lain-lain yang mampu mendukung penulisan dalam skripsi.
      Teknik Deduktif, yakni proses analisis yang menngunakan penjelasan-penjelasan yang bersifat umum, menuju kearah penjelasan-penjelasan yang bersifat khusus.
      Teknik Induktif, yakni proses analisis yang menggunakan penjelasan-penjelasan yang bersifat khusus, kearah penjelasan yang bersifat umum.
      Teknik Komperehensif, teknik yang menggabungkan unsur deduktif dan unsur induktif.

D.    Teknik Analisis Data
Analisis data adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat disampaikan kepada orang lain.
Adapun langkah-langkah dalam tehnik analisis data dalam penelitian ini
adalah:

1.      Reduksi Data
Reduksi Data dalam analisis data penelitian kualitatif, menurut Miles & Huberman (1992: 16) sebagaimana ditulis Malik diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting terhadap  isi dari suatu data yang berasal dari referensi buku-buku, sehingga data yang telah direduksi dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil pengamatan. dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan pilihan-pilihan terhadap data yang hendak dikutip, mana yang dibuang, mana yang merupakan teori.
Dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat ditarik dan diverifikasi.

2.      Display Data
Display data dalam perspektif Max Weber tentang etos kerja guru merupakan proses menampilkan data secara sederhana dalam bentuk kata-kata, kalimat naratif, dengan maksud agar data yang telah dikumpulkan dikuasai oleh penulis sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan yang tepat.

3.      Verifikasi dan Simpulan
Sejak awal pengumpulan data dalam perspektif Max Weber tentang etos kerja guru, peneliti harus membuat simpulan-simpulan sementara. Dalam tahap akhir, simpulan-simpulan tersebut harus dicek kembali (diverifikasi) pada catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya kearah simpulan yang mantap. Menarik suatu kesimpulan ini dilakukan oleh peneliti melalui data-data yang terkumpul dan kemudian kesimpulan tersebut akan diverifikasi atau diuji kebenarannya dan validitasnya (Silalahi, 2006:313).



BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.    Perspektif Max Weber tentang Etos Kerja
Etos kerja yang didalamnya terkandung gairah kerja yang kuat untuk  mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerjanya sesempurna mungkin Studi  ini mengartikan etos kerja sebagai nilai-nilai yang diyakini sebagai cita-cita ideal tentang kerja, yang diwujudkan dalam kebiasaan kerja sehari-hari. Sedangkan semangat kerja merupakan refleksi dari.

Menurut Soebagio bahwasanya Etos kerja adalah sikap kehendak seseorang yang diekspresikan lewat semangat yang didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai tertentu. Myrdal lebih jauh mengemukakan pula bahwa etos kerja merupakan sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya: (1) kerja keras, (2) efisiensi, (3) kerajinan, (4) tepat waktu, (5) prestasi, (6) energetik, (7) kerja sama, (8) jujur, (9) loyal. Etos kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan ( Soebagio Atmowirio, 2000:214).

Toto Tasmara (2002:10) mengatakan Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti:

a. Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.

42

b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.

c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.

d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.

e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan  tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

Menurut Al Hayath kerja dalam pengertian luas adalah semua usaha yang dilakukan manusia dalam hal materi maupun non materi, intelektual, fisik. Serta hal yang berkaitan dengan keduniaan dan keakheratan. Dalm hal ini kerja dikaitkan dengan kemaslahatan, sedangkan kerja dalam pengertian khusus adalah tiap potensi yang dilakukan manusia untuk memenuhi tuntutan hidup berupa makan, fisik tempat tinggal dan peningkatan tahap hidup pada umumnya (Abdul Aziz Al Khayyath 1974 13-22).

Etos itu didasarkan kepada tradisi, adat, kebiasaan, rumusan akal atau kebebasan (Hamzah Ya’kub, 1992: 1).

Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus meninggikan martabat dirinya (Toto Tasmara, 1995: 2).

Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia, maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam kedudukan yang lebih hina dari binatang (Toto Tasmara, 1995: 172).

Dengan demikian tampaklah bahwa “bekerja” dan kesadaran jiwa mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang muslim, yaitu bahwa makna dan hakekat “bekerja” adalah fitrah manusia yang secara niscaya, sudah seharusnya demikian (conditio sine quanon). Manusia hanya bisa memanusiakan dirinya lewat bekerja. Sedangkan kesadaran bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk meraih nilai yang lebih bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktivitas yang dilakukannya, manusia disinalah mempunyai peran apalagi itu kedudukanya sebagai guru haruslah mempunyai etos kerja yang baik, etos kerja guru mampu dibentuk dengan sendiri akan tetapi ada yang lebih membentuknya dari segi intern, ekstern, seperti kepala sekolah, guru-guru lainya.

Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.

Menurut Nurcholis Madjid (2005:15) etos ialah karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat khusus tentang seorang individu atau seklompok manusia. Dan dari kata etos muncul pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna akhlak bersifat akhlaqi yaitu berkualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.

Sedangkan Max Weber mengartikan bahwa Etos kerja adalah  sebuah  nilai bebas (values free). Secara normatif (institusional)  etos kerja dapat  dirumuskan dalam visi, misi, tujuan, kebijakan, dan program organisasi sebagai  pattern for behavior.  Refleksi konkrit etos kerja dapat dilihat dari semangat kerja atau  spirit kerja,  dan  bukan ritual kerja atau pokoknya  bekerja. Semangat kerja melahirkan budaya kerja sebagai pattern of behavior.

Konsep etos kerja sangat berkait dengan masalah sikap mental. Sebagaimana Magnis  (1978:31) pernah menjelaskan bahwa etos kerja merupakan sikap kehendak yang ada hubungan erat dengan tanggung jawab moralnya. Etos kerja adalah sikap mental (moral), walaupun keduanya tidak identik. Perbedaannya bahwa sikap mental (moral) menegaskan orientasi pada norma sebagai  standar yang harus di ikuti dalam bertindak, sedangkan etos kerja lebih menegaskan sikap itu sudah mantap dan inheren dalam.

mempengaruhi tindakan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, etos kerja birokrasi mengungkapkan semangat dan sikap batin yang tetap dari seseorang atau sekelompok orang dalam birokrasi, sejauh di dalamnya termuat tekanan dan nilai-nilai moral tertentu. Etos kerja birokrasi dapat dipandang sebagai faktor yang meresap dalam kompleksitas kebudayaan tertentu dalam birokrasi sehingga menciptakan koherensi antar berbagai unsur yang menjiwainya dan menimbulkan struktur perilaku dengan identitas tertentu. Adapun sikap mental selalu berkait dengan nilai-nilai yang menjadi landasan etos kerja birokrasi. Nilai-nilai yang dianut dapat berasal dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan kebudayaan. Nilai-nilai mana yang dominan menimbulkan etos kerja birokrasi yang tinggi sangat ditentukan oleh proses adopsi, adaptasi dan penghayatan orang, kelompok orang atau masyarakat dalam birokrasi terhadap nilai-nilai yang diyakininya baik dan benar.

Dalam karyanya Weber menjelaskan  bahwa ada kaitan antara perkembangan suatu masyarakat dengan  sikap  dari masyarakat itu terhadap  makna kerja.  Menurut pengamatan Weber dikalangan sekte Protestant Calvinist terdapat suatu kebudayaan yang menganggap bahwa kerja keras adalah suatu keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan spiritual. Kerja keras bagi ummat protestan  sekte Calvinist adalah suatu panggilan rochani untuk mencapai kesempurnaan kehidupan mereka. Akibat dari dorongan  semangat kerja keras ini ternyata  sangat berpengaruh dengan semakin  melimpahruahnya  pada peningkatan  kehidupan ekonomi mereka. Dengan bekerja  keras serta  hidup hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin itu tidak hanya hidup lebih baik, tetapi mereka mampu pula memfungsikan diri mereka sebagai  wiraswasta  yang tangguh dan menjadikan diri mereka sebagai tulang punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Suryono Agus, 2002:8).

Weber menerangkan dalam tesisnya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, etos kerja semuanya sama untuk mencari sebuah keuntungan dalam kehidupan manusia, kerja keras merupakan kunci kesuksesan seseorang, dengan kerja keras orang mampu menguasai kehidupan dunia, weber mengatakan bahwa kerja keras mampu memanusiakan profesornya manusia. Semngat diartikan etos dan capitalis diartikan kerja.

Spirit kapitalisme adalah“sikap untuk berusaha memperoleh keuntugan secara rasional dan sistematis untuk memanfaatkan tenaga kerja seolah-olah ia adalah tujuan akhir itu sendiri. Spirit ini merupakan Suatu etika sosial yang terfokus pada upaya “memperoleh uang dan lebih Banyak uang, disertai dengan upaya menghindari kesenangan hidup yang spontan” ( Morris, 2003 :74).

Pengamatan Weber tersebut kemudian oleh para ahli ilmu sosial dijadikan paradigma pembangunan, khususnya bagi negara-negara yang sedang berkembang. Paradigma ini mengajarkan bahwa apabila negara yang sedang berkembang menginginkan usaha pembangunannya berhasil, maka mereka harus memiliki etos kerja yang tinggi yang dimanifestasikan dalam semangat kerja keras dan hidup sederhana serta hemat seperti yang telah dilakukan oleh kelompok sekte  Protestant Calvinist di Eropa. Dengan kata lain, paradigma ini mengajarkan bahwa masalah pembangunan dan keterbelakangan (development and underdevelopment)  dari  suatu etnik atau bangsa tertentu adalah sangat berkait dengan masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai dengan pembangunan. Artinya, semakin  tinggi etos kerja yang dimanifestasikan dalam kemauan mereka untuk bekerja keras dan hidup hemat dan sederhana, maka semakin besar kemungkinan mereka berhasil dalam usaha-usaha pembangunan. Sebaliknya, akan terjadi kegagalan apabila etnik atau bangsa tersebut memiliki etos kerja  yang rendah  (Suryono Agus, 2002:8-9).

Dengan demikian, esensi dari etos kerja merupakan perilaku kerja positif yang timbul sebagai refleksi dari keyakinan tentang nilai baik dan benar dalam kinerja pendidikan. Atau sebagai konsep dan paradigma tentang makna kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang dalam birokrasi sebagai baik dan benar yang diwujudkan secara khas dalam perilaku kerja mereka sehari-hari.

Hasil pengamatan Weber mengartikan etos kerja merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam bekerja, namun dalam hal ini menyangkut karir sebagi guru, guru yang mampu mengimplementasikan pengetahunya di iringi dengan semangat tinggi akan mampu menghasilkan siswa yang penuh kreatif, inovatif dan aktif, karna ini yang memberi dorongan etos kerja yang tinggi, etos inilah mampu membentuk behavior anak didik sehingga mampu menjadi insan yang berguna nusa dan bangsa.

B.     Implikasi Pemikiran Max Weber tentang Etos Kerja dalam Pembelajaran IPS Ekonomi
Berbicara masalah etos kerja dalam pembelajaran adalah hal yang sangat menarik, sebab perkembangan ekonomi dalam suatu komunitas-komunitas sosial tidak dapat dipisahkan dengan etos kerja. Perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh etos kerjanya. ekonomi inilah mempengaruhi terjadinya penurunan etos, guru yang memberikan warna pendidikan dari sisi kerjanya, guru yang mempunyai etos tinggi akan mampu mewarnai dunia pendidikan, didalamnya terdapat pembelajaran yang sungguh-sungguh untuk membentuk jiwa peserta didik untuk menjadi anak yang berguna nusa, bangsa dan negara khususnya agama.

Dalam pendidikan ada proses untuk membentuk generasi muda yaitu pembelajaran IPS, dimana hal ini penting dalam pencapaian hasil, pembelajaran yang efektif ini mampu memanusiakan manusia diiringi dengan etos kerja guru yang baik, namun untuk mencapai pembelajaran yang efekti itu hal yang sulit, dengan itu dari pemikiran Max Weber mampu menerapkan konsep pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran IPS, dengan guru yang berkualitas dan etos kerja yang baik.

Nu’man Sumantri (2001:44) mengartikan pendidikan IPS yang diajarkan sekolah sebagai “(1) pendidikan IPS yang menekankan pada tumbuhnya nilai-nilai kewarganegaraan, moral ideologi negara dan agama, (2) pendidikan IPS yang menekankan pada isi dan metode berfikir keilmuan sosial, (3) pendidikan IPS yang menekankan pada reflektif inquiry, (4) pendidikan IPS yang mengambil kebaikan-kebaikan dari butir 1,2,3 diatas”.

Menurut weber dikalangan sakte protestan calvinis terdapat suatu kebudayaan yang menganggap, bahwa kerja keras merupakan suatu panggilan rohani untuk mencapai kesejahtraan hidup berbeda dengan ajaran katolik, seperti di anjurkan oleh Santa Thomas Aquino, yang melihat kerja sebagai suatu keharusan demi menjalankan hidup, dengan kerja keras, hidup hemat dan sederhana para penganut ajaran calvinis membuahkan hidup semakin membaik. Disamping itu juga mampu memfungsikan diri sebangai tulang punggung diri sistem ekonomi kapitalis (Santa Thomas Aquino dalam Taufik Abdullah Ed, 1979:9).

Dari pengamatan Max Weber diketahui, bahwa dalam teorinya jika ingin melihat usaha pembangunan berhasil, termasuk menghasilkan peserta didik yang profesional pengajar harus memiliki etos kerja tinggi yang termanifestasikan dalam (1) kerja keras, sebagai panggilan rohani (2) sikap hemat, dan (3) hidup sederhana.

Weber menunjukkan beberapa fakta , data statistik, mengenai status kaum protestan dalam bidang wiraswasta kependidikan. Menurutnya afiliasi sosial keagamaan menunjukkan status ekonomi tertentu. Weber menyebut bahwa bekerja bukan semata-mata demi memperoleh uang untuk menunjang kehidupan merupakan suatu panggilan. Hanya dengan memenuhi panggilan itu tiap hari, seakan-akan menjadi biarawan dalam kehidupan sehari-hari, barulah bisa diperoleh penyelamatan ( surga ). Dengan kata lain, bekerja menjadi tugas suci yang merupakan bagian dari doktrin keagamaan; bekerja merupakan bukti bahwa si pemeluk protestan adalah salah seorang yang terpilih Kegiatan duniawi dianggap memiliki makna keagamaan. Pensucian kerja atau perlakuan terhadap kerja sebagai suatu usaha keagamaan yang akan menjamin kepastian dalam diri akan keselamatan berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Sikap hidup keagamaan yang diinginkan Weber adalah askese duniawi (Innerweltliche Askese, Innerwordly Ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja – kegairahan kerja sebagai gambaran dalam pernyataan manusia yang terpilih. Asketisme adalah suatu persyaratan yang penting dan memadai bagi tumbuhnya kapitalisme rasional namun asketisme perlu diletakkan dengan sejumlah variabel pokok lainnya. Asketisme merupakan suatu pola kegiatan yang diletakkan atas dasar-dasar etis dan keagamaan yang menganjurkan pengekangan diri dan kegiatan ekonomi yang rajin dan teliti ( Weber, 1965:91 ).

Hal yang ingin dicapai dalam doktrin Weber adalah askes duniawi (Innerweltliche Askese, Innerwordly Ascesticism), yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegiatan kerja – semangat kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia terpilih. Weber memberi tekanan pada  verstehen yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Etos kerja terdapat dalam diri seseorang dan hidup dalam lingkungan sehingga dikatakan etos kerja lingkungan.

Dalam pembelajaran yang berperan aktif adalah etos kerja, namun etos inilah banyak faktor untuk menumbuhkannya, baik dari intern maupun ekstern. Pendidikan selalu menerapkan beragam model pembelajaran untuk mengembangkan dan menjadikan pendidikan yang bermutu, pendidikan bertaraf nasional bahkan internasional.

Sejalan dengan pemikiran Max Weber bahwa etos kerja dilain dengan interpretasi dalam pendidikan, harus mampu dalam interpretasi dalam lingkungan sehingga menghasilkan Etika Kerja, perhatikan tabel dibawah ini:





Etos Kerja Lingkungan

Batin
Pikir
Lahir

Keyakinan           Kepercayaan            Cara Pikir                   Perbuatan

Etos Kerja
Profesionalisme
Cara Kerja

Etika Kerja
                      Sistem Organisasi
Batin-pikir-lahir secara lebih jelas dapat dikembangkan menjadi keyakinan-kepercayaan-cara pikir-perbuatan. Keyakinan adalah sesuatu yang sulit dirubah, termasuk di sini adalah nilai-nilai tentang baik buruk, hati nurani, dan ajaran agama. Etos kerja dimasukkan ke dalam kategori kepercayaan, yang bisa berubah sesuai dengan inputan yang masuk dari pikiran. Etos kerja menjadi dasar dari cara pikir profesionalisme. Dan selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk perbuatan cara kerja.

Ada dua faktor utama dari luar yang mempengaruhi suatu etos kerja, yaitu etos kerja lingkungan dan etika kerja. Etos kerja lingkungan adalah contoh nyata yang diberikan oleh lingkungan Adapun etika kerja adalah bagian dari kesisteman organisasi, yang biasanya dituangkan dalam bentuk formal prosedural. Sebagai contoh adalah kondisi etos kerja di negara ini. Etos kerja di negara ini telah diketahui bersama berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terbukti dari banyaknya kasus korupsi. Maka salah satu jalan melawan etos kerja lingkungan yang buruk ini adalah dengan menegakkan etika kerja internal organisasi.

Hamid Hasan, 1998:73 mengatakan bahwa Guru yang memiliki motivasi tinggi dalam mengajar ilmu-ilmu sosial akan memperlihatkan unjuk kerja yang jauh berbeda dari guru yang memiliki motivasi rendah. Tinggi rendahnya etos kerja seseorang banyak dipengaruhi oleh  lingkungan kerja dan faktor diri seseorang. Seorang guru yang mempunyai etos  kerja yang tinggi akan mengerjakan pekerjaannya lebih semangat dan menekuni pekerjaannya dengan tanggung jawab besar, sehingga akan berpengaruh terhadap keberhasilan kerjanya. Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja.

Ada para ahli menerangkan hasil dari etos kerja yang tinggi diantaranya: Maman Racma (1999), Jansen H, Sinamo and Max Weber (2005),  Wotruba, T.R. dan Wright P.L. Dalam: Yusuf Hadi Miarso (2004): bahwa menjelaskan dalam satu bagan yaitu yang dibawah ini:

Manajemen Kelas
Etos Kerja



Efektifitas Proses Belajar Mengajar

Manajemen Kelas, dalam: Maman Racman (1999):
·         Mengecek kehadiran siswa
·         Mengumpulkan pekerjaan hasil siswa, memeriksa dan menilai hasil pekerjaan.
·         Pendistribusian alan dan bahan
·         Mengumpulkan informasi dari siswa
·         Mencatat data
·         Pemeliharaan arsip
·         Menyampaikan materi pelajaran
·         Memberikan tugas
Etos Kerja, dalam: Jansen H, Sinamo and Max Weber (2005):
·         Kerja adalah Rahmat
Bekerja tulus penuh syukur
·         Kerja adalah amanah
Bekerja benar penuh bertanggung jawab
·         Kerja adalah panggilan
Bekerja tuntas penuh integritas
·         Kerja adalah aktualisasi
Bekerja keras penuh semangat
·         Kerja adalah ibadah
Bekerja serius penuh kecintaah
·         Kerja adalah seni
Bekerja keras penuh kreatifitas
·         Kerja adalah kehormatan
Bekerja tekun penuh keunggulan
·         Kerja adalah pelayanan
Bekerja paripurna penuh kerendahan hati
Efektivitas Proses Belajar Mengajar, wotruba, T.R. dan Wright P.L.      Dalam : Yusuf Hadi Miarso (2004):
·         Pengorganisasian materi yang baik
·         Komunikasi yang efektif
·         Penguasaan dan antusiasme terhadap materi pelajaran
·         Sikap positip terhadap siswa
·         Pemberian nilai yang adil
·         Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran
·         Hasil belajar siswa yang baik

Dalam pendidikan IPS di Indonesia, banyak sekali problema dari intern yang paling dominan yaitu masalah etos kerja guru, inilah faktor keberhasilan belajar siswa atau mahasiswa dalam pembentukan karakter seseorang, akan tetapi etos kerja guru yang mampu pula memberikan keberhasilan belajar siswa dalam mencari jatidirinya, etos kerja guru akan membawa pendidikan yang lebih baik, yaitu akan memberikan keberhasilna pembelajaran dengan sempurna karena kesemangatan guru untuk mendidik peserta didiknya, dari sinilah pendidikan akan lebih baik dan bermakna dalam pembentukan cita-cita siswa atau mahasiswa yang bertujuan mencari ilmu untuk masa depan yang lebih baik, dari segi kurikulum dengan adanya etos kerja tinggi akan mampu memebrikan pembelajaran yang beribu-ribu inovasi dalam pembelajaranya baik dari materi maupun dalam pembelajaran pengalaman, artinya adanya etos kerja guru yang tinggi mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, inovatif, kreatif, yang mampu menopang kehidupan masa depan yang cerah.

Weber melalui tesisnya yang berjudul “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” banyak mengimplementasikan tentang semangat kapitalis dipicu dari etos kerja yang memebrikan kontribusi nyata dalam masyarakat zaman sekarang, masyarakat dapat belajar dari apa yang telak dipraktekkan oleh Weber untuk mencari keberhasilan dalam dunia, adanya etos kerja yang baik mampu merevolusi dari kemalasan menjadi kesemangatan dalam bekerja, yang sehingga mampu akan membewa perubahan dari kehidupan masyarakat yang primitif menjadi progresif, yang kurang baik menjadi lebih baik, sehingga mampu merubah tatanan kehidupan dari segi pendidikan nasional menjadi bertarap internasional.

C.    Kontribusi Pemikiran Max Weber tentang Etos Kerja terhadap Guru dan Siswa.
Pemikiran Max Weber adalah salah satu inspirasi yang pokok dalam kehidupan kerja, dari pemikiran inilah masyarakat kalangan calvinisme sangat menilai dari pemikiran Max Weber untuk menerapkan dalam kehidupanya, dari sinilah penulis ingin mengimplementasikan pemikiran Max Weber terhadapa dunia pendidikan, yang kaitanya guru dan siswa, sehingga mampu menjadikan guru yang profesional, meningkatnya prestasi belajar siawa,  mempunyai bakat yang lebih baik dimasa yang akan datang. Dan menjadikan pendidikan yang berkualitas bertaraf nasional bahkan internasional.

a)      Guru yang Profesional.
Profesionalisme berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif (Webstar, 1989:45).

Tinggi rendahnya etos kerja seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan faktor diri seseorang. Seorang guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi akan mengerjakan pekerjaannya lebih semangat dan menekuni pekerjaannya dengan tanggung jawab besar, sehingga akan berpengaruh terhadap keberhasilan kerjanya. Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi akan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja.

 Hamid Hasan (1998 :73) mengatakan bahwa Guru yang memiliki motivasi tinggi dalam mengajar ilmu-ilmu sosial akan memperlihatkan untuk kerja yang jauh berbeda dari guru yang memiliki motivasi rendah. 

Dari pemikiran Max Weber menafsirkan bahwa guru tidak ada semangat bekerja tidak mungkin untuk mendapatkan julukan guru yang profesional, akan tetapi guru yang mempunyai semangat bekerja akan mampu menjadikan dirinya sebagai guru yang profesional, bukanlah hanya semata dari individu untuk menjadikan diri yang semangat, namun ada yang mempengaruhinya diantaranya internal dan eksternal, Max Weber mengatakan Etos kerja hanyalah insting dari dalam diri individu sendiri, yang mampu menggerakan dirinya untuk mengerjakan sesuatu dengan terus menurus diiringi dengan kesenangan. Etos kerja guru sangatlah penting untuk membentuk karakter siswa, guru mampu mengerjakan tugas itu desebabkan beberapa faktor diantaranya yang dominan adalah kepala sekolah, dengan kepala sekolah guru mampu menumbuhkan kesadaran dalam dirinya, karna kepala sekolah itu pemimpin diatas kerja guru.

Dalam upaya meningkatkan etos kerja, menurut Wahjosumidjo (1999:92), bahwa “kepala sekolah adalah seorang yang dapat menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah”. Jika kepala sekolah cakap maka tentunya akan besar perhatiannya pada etos kerja baik yang menyangkut guru maupun peserta didik sejak masuk sekolah sampai dengan kembali kerumah masing-masing. Kepala sekolah juga berpikir dan berusaha bagaimana guru merasa nyaman di sekolah, senang dalam bekerja dan memperoleh kesejahteraan yang memadai.

Sejalan dengan itu Sergiovanni (1987:269), menyebutkan:  “School Improvement requires a strong commitment from the principle”. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perbaikan sekolah itu sesungguhnya berada pada komitmen kuat kepala sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah juga di tuntut untuk memiliki kemampuan, terampil, cerdas untuk mewujudkan iklim kerja  yang sehat, sehingga akan tercipta etos kerja pada guru di sekolah. Jika iklim suatu organisasi dapat merangsang iklim kerja, tersedia sarana dan prasarana yang memadai bagi para guru dan peserta didik, maka iklim kerja yang demikian akan memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan etos kerja guru.

Kegiatan yang membuat seseorang belajar memerlukan suatu disiplin ilmu, agar dapat melaksanakan tugas secara sistematis dan logis yang disebut profesi, dari profesi diperlukan etos kerja yang baik untuk membentuk guru yang profesional.

Profesionalisme dapat dikatakan sebagai mutu, kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakanciri suatu profesi atau orang yang profesional (memiliki keahlian). Hal ini ditandai dengan adany standar atau jaminan mutu seseorang dalam melakukan suatu upaya profesional. Jaminan mutu ini dapat saja dalam kalangan terbatas – dilingkungan profesi – atau dapat juga dilingkungan yang luas – oleh masyarakat umum membuat penilaian terhadap kinerjanya.

Etos kerja merupakan semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang (dalam hal ini kelompopk guru IPS). Etos kerja seorang profesional guru IPS adalah selalu membangun suasana ilmiah, memberikan kesempatan kepada siswa belajar dengan berbagai sumber belajar, dan membangun makna baik melalui interaksi sosial maupun interaksi personal serta menginternalisasi cara IPS diperoleh, substansi ilmu pengetahuan sosial, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagai petugas profesional dalam pendidikan IPS, yaitu mengarahkan siswa kepada tujuan pendidikan IPS,  membentuk masyarakat yang sadar/Literasi Sains dan Teknologi (LST). Dengan demikian, siswa diberi kesempatan untuk membentuk persepsi tentang fenomena masyarakat dan proses interaksi sosial dalam masyarakat.

Salah satu teori berkaitan dengan peningkatan etos kerja sebagaimana yang dikemukan oleh Mitchel,T.R dan Larson (1987:343) bahwa indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi: (1) kemampuan, (2) prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5) komunikasi. Dari teori diatas banyak hal untuk mengembangkan etos kerja guru yang lebih baik.

Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan suatu upaya  yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara umum  menurut. (Triguno, 2002:141-142) upaya yang harus ditempuh dalam pengembangan  etos kerja tersebut adalah sebagai berikut:

1.      Peningkatan produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.

2.      Sistim pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.

3.      Dalam melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.

4.      Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap mental manusia yang produktif.

5.      Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan.

6.      Menumbuhkan motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam meningkatkan etos kerjanya.

Upaya-upaya pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia, khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.

Barometer sikap mental seorang guru dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya, hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren maupun interen organisasi (Triguno 2002:3).

Dari pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot.

Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis (Jansen, 2010:24).
Dari sinilah dengan adanya etos kerja yang tinggi, pemikiran Max Weber mengajarkan kekalangan pendidikan untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu, maka terapkan guru-guru yang profesional penuh dengan sikap etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi.

Profesi apapun ketika tidak diiringi dengan kesemangatan kerja tidak akan sempurna hasilnya. Demikian pula halnya dengan guru, sebuah profesi yang tak kalah mulianya dibanding profesi yang lain, bahkan dari profesi inilah lahir generasi-generasi yang diharapkan menjadi penentu masa depan. Guru adalah aset nasional intelektual bangsa dalam pelaksanaan pendidikan yang mempersiapkan pengembangan potensi peserta didik dalam rangka melahirkan sumber daya manusia yang mampu, cerdas, terampil dan menguasai IPTEK serta berakhlak mulia guna menunjang peran serta dalam pembangunan.

Berkaitan dengan itu Sahabuddin (1993:6) mengemukakan bahwa seorang guru profesional harus mempunyai empat gugus kemampuan yaitu: (a) merencanakan program belajar mengajar, (b) melaksanakan dan memimpin Proses Belajar Mengajar, (c) menilai kemajuan Proses Belajar Mengajar dan (d) memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan informasi lainnya dalam penyempurnaan Proses Belajar Mengajar

Untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah hal yang mudah, tapi harus melalui suatu pendidikan dan latihan yang relevan dengan profesi yang ditekuni, dan melakukan profesinya dengan ulet, etos kerja yang baik. Profesionalitas sangat diperlukan di era global, jika tidak maka kita akan tergilas oleh arus dan pada akhirnya tersisih.

Sikap seorang guru yang profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain: memiliki kualitas pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan pengembangan diri secara terus menerus (countinuous improvement) melalui organisasi profesi, internet, buku, seminar dan semacamnya (Sidi, 2003:50). 

Guru mampu menjadikan dirinya sebagai guru yang profesional, hal ini sangat berpengeruh terhadap prestasi siswa, sangat menentukan pendidikan yang berkualitas, guru inilah yang bisa merubah tatanan kehidupan dunia pendidikan, banyak guru yang tidak mampu melaksanakan profesinya itu hal yang sangat urgen didalam pendidikan karena bisa mengakibatkan fatal dalam pembentukan karakter bangsa.  namun, ketika hal seperti ini terjadi ada beberapa hal yang menjadikan guru yang tidak profesional diantaranya yang paling penting diperhatikan adalah kesemangatan dalam bekerja, etos kerja yang tinggi akan mampu menjadikan anak bangsa yang lebih progresif dan aktif diberbagai bidang, kebanyakan tidak ada yang semangat untuk melaksanakan profesinya, ini hambatan dalam proses belajar mengajar, dan akan mengakibatkan terjadinya penurunan prestasi siswa.

Sejalan dengan uraian di atas Menurut Rice dan Bishoprick (1971: 5) guru profesional adalah guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari. Profesionalisasi disini dipandang sebagai satu proses yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang lain (other directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri, dan menjadikan dirinya dengan etos kerja yang baik, selalu semangat, energic, dalam melakukan profesinya dengan kesenangan.

Ibrahim Bafadal (2000: 5) mendefinisikan bahwa profesionlisme guru adalah kemampuan guru dalam mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari.
Ada beberapa ciri-ciri profesionlisme guru sebagai berikut:

1.      Mengidenfikasi kekurangan, kelemahan, kesulitan, atau masalah dialami dirinya.
2.   Menetapkan program peningkatan kemampuan guru dalam  mengatasi kekurangan, kelemahan, kesulitanya.
3.      Merumuskan tujuan program pembelajaran.
4.      Menetapkan serta merancang materi dan media pembelajaran.
5.      Menetapkan bentuk dan mengebangkan instrumen penilaian. 
6.      Menyusun dan mengalokasikan program pembelajaran.
7.      Melakukan penilaian.
8.      Malaksanakan tindak lanjut terhadap siswa.

Hal ini mengandung  arti bahwa seorang guru mempunyai semangat kerja   yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya.

Adapun karakteristik seorang pendidik/guru selain berkepribadian juga diharapkan dapat mewujudkan perilaku mengajar yang tepat. Karakteristik yang diharapkan adalah :

1.      Memiliki minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang diajarkannya.
2.      Memiliki kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan suasana hati secara tepat serta membuat kontak dengan kelompoknya secara tepat. Memiliki kesabaran, dan sensitivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar.
3.      Memiliki pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan kepada peserta didik.
4.      Memiliki kualifikasi yang memadai dalam bidangnya, baik isi maupun metode.
5.      Memiliki sikap terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode
dan teknik. 

Kepribadian guru adalah pengaruh yang sangat besar bagi peserta didik. Seperti yang telah disebutkan oleh Muhibin Syah bahwa kepribadian guru adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, hal ini mengandung arti bahwa seorang guru mempunyai semangat kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya, karena disamping sebagai pembimbing, dan pembantu guru juga berperan sebagai panutan.

Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tidaklah semudah membalik telapak tangan, banyak masalah yang dihadapi dalam Proses Belajar Mengajar, diantaranya keterbatasan sumber belajar, keterbatasan  penguasaan pengetahuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kemajuan pendidikan, cara menyampaikan materi pelajaran, cara membantu anak agar belajar lebih baik, cara membuat dan memakai alat peraga, peningkatan hasil belajar anak dan pelaksanaan berbagai perubahan kebijakan yang berhubungan dengan tugasnya.

Ibrahim Bafadal (2003: 4), guru merupakan unsur manusiawi yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Guru merupakan unsur manusiawi yang sangat dekat hubungannya dengan anak didik dalam upaya pendidikan sehari-hari di sekolah. Dalam latar pembelajaran di sekolah pernyataan tersebut sangat tergantung kepada tingkat profesionalisme guru. Jadi, diantara keseluruhan komponen pada sistem pembelajaran di sekolah ada sebuah komponen yang paling esensial dan paling menentukan kualitas pembelajaran yaitu guru. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya bilamana dihipotesiskan bahwa peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tidak mungkin ada tanpa peningkatan profesionalisme guru yang mempunyai etos kerja yang baik.

Dasar utama dari sekolah atau pendidikan yang bermutu adalah pembelajaran yang efektif (Idris, 2006:103). Sekolah yang efektif memerlukan guru yang profesional, karena profesionalisme dalam segala pekerjaan utamanya dalam pendidikan adalah syarat mutlak agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Guru Profesional adalah guru yang memenuhi aspek-aspek pokok yaitu:

1.      Memiliki ilmu pengetahuan tertentu.
2.      Dapat mengaplikasikan kemampuan/kecakapannya.
3.      Memiliki kaitan dengan kepentigan umum.

Dengan adanya tenaga pendidik yang profesional maka akan memberikan pengaruh yang besar terhadap peserta didik. Pengaruh tersebut tentunya diharapkan dapat membawa peserta didik kearah kemajuan.

Kepribadian guru adalah pengaruh yang sangat besar bagi peserta didik. Seperti yang telah disebutkan oleh Muhibin Syah (1995:225), bahwa kepribadian guru adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, karena disamping sebagai pembimbing, dan pembantu guru juga berperan sebagai panutan.

  Dari pembahasan diatas penulis sedikit menyimpulkan bahwa setiap peserta didik dibawa panutan guru, profesionalitas akan mampu membawa peserta didik untuk lebih baik dengan berbagai cara yang dilakukan guru, akan tetapi pada dasarnya guru yang profesional lah yang mampu merubah prestasi siswa, dan guru tidak mungkin menjadi profesional jika tidak ada etos kerja yang baik, dalam teori Max Weber mengatakan bahwasanya kerja adalah panggilan, kerja adalah rahmat, kerja adalah ibadah, kerja adalah pensucian, kerja adalah amanah tanggung jawab, dari sinilah guru yang profesional dibentuk oleh etos kerja yang tinggi, menurut Max Weber etos kerja datang dalam kesadaran sendiri yang mampu mengatur dalam kerjanya, sehingga mampu menjadaikan profesinya dengan sempurna, dengan itu guru yang profesional akan mampu menjadikan peserta didik dengan prestasi yang baik, dan peserta didik pula menginginkan guru yang profesional, karena hasil guru yang profesional sangat berdampak terhadap prestasi siswa.

b)     Prestasis Belajar Siswa
Apabila berbicara tentang prestasi belajar siswa, maka tidak lepas dari pembicaraan tentang kegiatan atau pelaksanaan belajar itu sendiri, mengingat guru yang kurang semangat dalam mengajarnya, etos kerja yang kurang akan berdampak terhadap pembelajaran dan prestasis siswa, guru salah satu pemegang peranan yang sangat penting, akan tetapi sering sekali seorang pendidik dan anak didik dihadapkan pada permasalahan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.

Semua permasalahan tersebut dalam kaitannya dengan guru yang kurang semangat mengajar, atau etos kerja yang lemah haruslah dapat teratasi, sehingga dapat mencapai prestasi belajar yang diharapkan, karena prestasi belajar dapat menunjukkan sampai di mana tercapainya tingkat keberhasilan suatu tujuan dalam proses belajar mengajar. Untuk lebih jelasnya mengenai apa yang dimaksud dengan prestasi belajar, Ilmu Pengetahuan Sosial, kiranya perlu melengkapi beberapa pendapat tentang prestasi belajar. Kata prestasi belajar terdiri dari dua suku kata, yaitu prestasi dan belajar. Untuk memudahkan dalam memahaminya, maka akan diuraikan secara satu persatu apa itu prestasi dan apa itu belajar.

Menurut  Suharsimi Arikunto (2002:4), “prestasi  adalah  hasil  kerja yang keadaannya sangat kompleks”. Dengan demikian prestasi adalah hasil usaha yang telah dilakukan seseorang setelah melakukan suatu pekerjaan atau perbuatan.

Adapun belajar menurut pengertian secara psikologis, adalah merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.

Menurut Slameto (2003:2), pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.

Poerwaodarminto (1995:354), dalam kamus besar bahasa Indonesia mengartikan bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan, dikerjakan, dan sebagainya).

Hal ini terkait dengan Max Weber seseorang mencapi titik temu dalam bekerja, disebabkan adanya kerja keras, sifat kapitalis dalam kerja diterapkan, namun kapitalis yang bertanggung jawab, tidak merugikan orang lain, saling menguntungkan. Hasil akhir dalam bekerja dari proses sampai out put sangat jelas hasil kerjanya, siswa yang bersungguh-sungguh akan mampu mencapai prstasi siswa yang baik. Dalam pendidikan prestasi dapat dilihat dari statistik atau data yang mempu melihat kemampuan peserta didik.

Supriyono (1991:17), mendefinisikan pengertian Prestasi adalah hasil belajar yang telah dicapai dan dapat dinyatakan dalam angka-angka maupun dengan kata-kata.

Menurut Nana Sudjana (2000:22), mengatakan bahwa  prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.

Kemampuan siswa sangatlah berbeda, dengan hal ini guru yang semangat untuk merubah kemampuan siswa adalah guru yang semangat untuk bekerja dalam profesinya, guru inilah guru yang profesional, dalam pembelajaran guru yang kerja keras beda dengan guru yang malas-malasan, karna guru adalah panutan keberhasilan belajar siswa.

Didalam penelitian ini prestasi siswa diartikan sebagai keberhasilan dalam proses belajar mengajar baik dalam pada aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Sudirman N (1987:55), memberi penjelasan aspek yang ada pada bidang afektif, kognitif, dan psikomotorik antara lain:
a.       Pengetahuan
Mengingat materi-materi yang telah dipelajari dari fakta-fakta merupakan teori abstrak dan prestasi belajar terendah. 
b.      Pengertian
Kemampuan menangkap arti materi dari menterjemahkan, menginterprestasikan bahan dan peramalan suatu topik lebih tinggi dari pengetahuan.
c.       Aplikasi
Kemampuan menggunakan bahan yang telah dipelajari ke dalam situasi baru dan konkrit, misalnya aturan, metode, konsep hukum dan teori.
d.      Analisis
Kemampuan memecahkan bahan di dalam komponen-komponen, bagian-bagian sehingga struktur organisasi jelas bagi yang menganalisa hubungan dan prinsip organisasinya
e.       Sintesa
Kemampuan meletakkan bagian-bagian dalam suatu keseluruhan meliputi penghasilan merencanakan tindakan, menyusun suatu hubungan akrab, menggunakan tingkatan kreatif dengan tekanan pada fenomena struktur baru.
f.       Evaluasi
Kemampuan mempertimbangkan nilai dari materi untuk suatu tujuan tertentu. Pertimbangan ini didasarkan pada kriteria yang jelas. Ini merupakan hasil belajar tertinggi.

Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi  adalah kemampuan-kemapuan yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajar seperti  kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik  yang diperoleh melalui usaha dalam menyelesaikan tugas-tugas belajar, kamampuan inilah tidak sempurna ketika tidak ada guru yang semangat untuk bekerja dalam profesinya. Etos kerja lah yang merubah semua pekerjaan diberbagai profesinya, dengan hal ini pendidikan etos kerja sangat berperan untuk menjadikan siswa yang berintelektual dan akhlakul kariman, dan menunjang pendidikan yang baik, mencapai pendidikan nasional bahkan internasional.

c)       Pendidikan Berkualitas
 Berbicara tentang pendidikan sangatlah urgen untuk membahasnya, dengan itu penulis ingin menerangkan pendidikan yang berkualitas diakibatkan dengan dorongan pembelajaran yang baik, guru yang profesional diiringi dengan etos kerja yang tinggi, mampu meningkatkan prestasi siwa yang baik, pendidikan sangatlah penting untuk pembentukan generasi muda indonesia dalam menghadapi zaman genderang moderen ini, agar mampu menghadapi dengan menjadikan karakter bangsa yang lebih baik lagi.

Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sejak dari ayunan ibu sampai liang lahat. Keberhasilan suatu pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh semangat yang menggelora dalam dada atau biaya yang memadai namun yang tidak kalah pentingnya juga dipengaruhi oleh etos keja guru.

Etos berasal dari bahsa yunani (ethos) yang memberi arti sikap, ke pribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Dari kata etos ini, kita kenal pula kata etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral, sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu untuk menghindarkan segala kerusakan (fasad) sehingga setiap pekerjaannya di arahkan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya (Toto, Tasmara, 2002:15).

Pendidikan adalah hal sangat penting dalam kemajuan kehidupan, hal ini pendidikan beragam pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa, dari segi pendidikan formal, informal, dari institusi, bahkan sampai univesitas, hal ini bukan semata dalam nama pendidikan, akan tetapi pembentukan karakter bangsa, dari sinilah ada peran yang paling penting yaitu guru, haruslah guru yang profesional, guru yang semangat kerja, mempunyai sifat etos kerja yang tinggi dan bertanggung jawab, pasti akan membawa pendidikan yang berkualitas dalam ilmu pengetahuan dan teknologinya.

Weber pun tidak melihat pendidkan dari aspek struktural, institusi, atau sistem melainkan dari sudut pemahaman dan pemaknaan individu tentang pendidikan. Pendidik harus memahami bahwa peserta didik merupakan peserta aktif yang memiliki kesadaran, selalu merancang kegiatannya dan selalu melakukan refleksi. Makna pendidikan tidak hanya di maknai sebgai transfer of knowledge tetapi pendidikan harus mampu menciptakan  sisitem pengetahuan siswa untuk membangun kehidupan dimasa depan. Pendidikan adalah sebagai bagian dari pengalamna mereka untuk menyongsong masa depan maka berangkat dari pengalamanlah pendidikan itu berfungsi baik bagi pendidik, siswa mapun institusi pendidikan. Institusi pendidikan harus memberikan pengalaman yang lebih bagi para sisiwa sebagai bekal dalam kehidupannya.

Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam pendidikan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di kalangan guru kepada anak didiknya. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan “jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu masuk neraka.

Makna bekerja bagi orang muslim adalah suatu upayah yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikiran, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan menampakkan arti dirinya sebagai hamba Allah yang dapat menundukkan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan kata lain dapat juga kita katakan bahwa dengan hanya bekerja manusia itu memanusiakan dirinya. (Toto, Tasmara. 2002: 25).

Oleh karena itu merupakan kewajiban bagi seorang guru untuk melakukan peningkatan etos kerja juga melakukan Kontruksi dan inovasi dalam proses pembelajaran, agar peserta didik bisa lebih aktif , kreatif, inovatif, dan mampu menghadapi dunia masa depan yang lebih cerah lagi, dengan itu etos kerja guru yang profesional mampu menciptakan siswa-siswi atau mahasiswa yang berprestasi baik dan mampu pula meningkatkan mutu pendidikan, deskriptif singkat,  input siswa bayak ketika dalam prosesnya baik maka autput pastilah lebih baik dan membawa institut yang lebih baik lagi, karena lembaga inilah berhasil menciptakan generasi-generasi muda yang berakhlak mulia bermoral.

Menurut Sinamo tertulis dalam jurnal Chairul Yoel, (2009:6-7), mengatakan bahwasanya etos kerja menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan. Keempat elemen itu lalu dia konstruksikan dalam sebuah konsep besar yang disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:

1.  Mencetak prestasi dengan motivasi superior.
2.  Membangun masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3.  Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4.  Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja sebagai berikut:
1. Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa, maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur.
2. Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung jawab.
3. Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerjsa dengan penuh integritas.
4. Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh semangat.
5. Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan agung Sang Pencipta dalam pengabdian. 
6. Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan kerja sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif.
7. Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri sehingga harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8. Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan penuh kerendahan hati.

Dari empat pilar tersebut mengambarkan etos kerja yang mampu menjadikan semua sistem berhasil seperti Pendidikan mempunyai peranan penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan berpengaruh  terhdap produktivitas, tetapi juga berpengaruh terhadap fertilitas (angka kelahiran) masyarakat. Dengan pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam meghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan. Jadi, pada umumnya pendidikan diakuai sebagai investasi sumber daya manusia.

Pendidikan memberikan sumbangan  yang besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap serta produktivitas. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan saja untuk perorangan atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat yang mana dengan pendidikan sesungguhnya dapat memberikan suatu kontribusi yang substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.

Pendidikan IPS adalah pendidikan yang dinamis dalam menjalankan pembelajaranya, pendidikan IPS ini sangatlah sulit untuk memahami kehidupan masarakat sekarang, problema dalam kehidupan sekarang sangatlah komplek dan sangat sulit, namun pendidikan IPS sudahlah mudah untuk memahaminya  banyak hal cara memecahkan suatu problema, diantaranya hal yang paling urgen adalah pendidikan, pendidikan inilah yang mampu merubah karakter seseorang, merubah kemajuan negara dari pendidikan, karna pendidikan adalah investasi dunia, dengan itu dalam pendidikan untuk mencapai tujuan tertentu tidak lain mencerdaskan anak bangsa haruslah melihat proses dalam pembelajaran kepada anak didik. Guru, kepala sekolah, inilah sangat mempengaruhi keberhasilan siswa, prestasi siswa baik atau tidaknya tergantung kerja guru, dengan itu penulis mengambil kesimpulan bahwasanya untuk menjadikan anak bangsa yang cerdas.

Pemikran Max Weber yang mengatakan bahwa dalam kerja haruslah bekerja keras, karna kerja adalah ibadah kerja adalah panggilan kerja adalah aktualisasi diri, kerja adalah amanah kerja adalah seni, dari sini Max Weber menegaskan bahwasanya kerjakanlah profesimu dengan semangat supaya mampu mencapi tujuan tertentu, etos kerja guru haruslah baik karna kerja tanpa diiringi dengan keuletan kesemangatan tidaklah sempurna, guru yang semangat kerja akan mampu menjadikan dirinya sebagai guru profesional, guru profesional mampu pulan menjadikan anak didiknya berprestasi, dan mampu menjadikan pendidikan yang berkualitas bertarap nasional bahkan bisa sampai internasional. Etos kerja sangatlah mempengaruhi dalam proses pembentukan karakter bangsa, dengan etos kerja yang baik. sisiwa, mahasiswa mampu meenjadikan dirinya yang giat belajar semangat bekerja dalam profesinya tidak bermalas-malasan, sudahlah waktunya merubah kehidupan diri dari dini, untuk menghadapai globalisasi ini yamng begitu memarak dalam dunia pendidika maupun politik.  Dengan etos kerja yang tinggi akan mampu mebawa perubahan yang besar terhadap kehidupan masyarakan sekarang yang lebih baik, adil, sejahtra, dan berprikemanusiaan.




BAB V 
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Berdasarkan analisis kajian yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, ditemukan kesimpulan sebagai berikut:

1.      Max Weber, bapak Sosiologi yang mencetuskan karyanya yang begitu populer dikalangan protestan yang menggagas tentang semangat kapitalis, etos kerja yang tinggi, lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman tanggal 21 April 1894 dan meninggal di Munchen, Jerman tanggal 14 Juni 1920 tepatnya pada usia 56 tahun, Ketika berumur delapan belas tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul. Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu, ayahnya seorang birokrat yang mempunyai kepentingan sakral, mempunyai politik yang mapan. Ibu Max Weber adalah seorang penganut calvinisme yang setia. Max Weber belajar Ilmu Hukum dan kemudian ditunjuk sebagai dosen di Universitas Berlin. Pada tahun 1893 ia menjadi guru besar Ilmu ekonomi di Heidelberg. Ia menggantikan seorang ekonomi terkemuka Karl Knies.kemudian dia melnjutkan menjadi profesor dan dari situ Weber Mencetuskan beberapa karyanya diantaranya sebagi berikut: The Protestan Etnic and The Spirit of Capitalism, Economy and Society, From Max Weber Esay in Sociology, The Theory Sosioal and Economic and Organization, General Economi History, Religionasseziologie sociologi of relegion.

2.      Teori-teori pemikiran Max Weber tentang Etos Kerja yang tercatat dalam teori Calvinisme, dan Sosiologi yang berisi tentang:
·         Pengintegrasian antara kehidupan bekerja dan kehidupan beragama menjadi satu kesatuan hidup yang kudus bagi tuhan.
·        

71

Pekerjaan sebagai sebuah “panggilan (calling)”.
·         Motivasi dan upah kerja.
·         Sukses dalam pekerjaan merupakan anugrah Tuhan, bukan hasil upaya kita.
·         Moderasi terhadap pekerjaan, Weber dalam teorinya menginginkan dengan adanya etos kerja tinggi maka akan mendapatkan kebahagiaan  dunia akherat, mampu mengintegrasian dalam kehidupan dengan agama dan menyatukan kesatuaan kehidupan, manusia pasti suatu saat akan dipanggil untuk melakukan kegiatanya, dalam weber kerja adalah panggilan dari tuhan yang begitu suci, dengan itu untuk mengabdi kepada tuhanya maka sebagai hambanya harus mempunyai etos kerja yang tinggi untuk memenuhi panggilan tuhanya, kerja tidak mengharapkan buruh akan tetapi kemaslakatan sesama manusia, kesuksesan dalam bekerja adalah anugrah dari tuhanya yang telah memberikan kesempatan untuk bekerja, sehingga mempu memenuhi kehidupan didunia dan diakhirat.

Hal yang urgensi untuk melakukan pembacaan pemikiran Max Weber etos kerja adalah mengenai karakter kepribadian manusia dalam kesadarannya sendiri. Weber mampu untuk menjelaskan semangat kapitalis dalam menghasilkan semua kekayaan dalam hal finansial maupun spiritual, hal yang mendasar dalam etos kerja hanya dalam kesadaran belaka yang mampu merubah nasib masyarakat, Guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi adalah guru yang mampu membentuk anak bangsa yang burguna nusa dan agama, ada beberapa yang mempengaruhi etos kerja guru yang baik daiantaranya dari intern exsteren, interen yaitu dari dirinya sendiri awal kesadaran dalam melakukan pekerjaannya, exstern yaitu dari lingkungan dalam kerjanya kali ini yang berurgensi merubah etos kerja guru yaitu kepala sekolah, inilah yang mampu merubah etos kerja dalam lingkungan sehingga awal belum etos kerja yang baik menjadi Guru-guru yang mempunyai kerja keras atau etos kerja yang baik untuk melakukan pekerjaanya, Weber menguraikan dalam karyanya protestan semangat kapitalis mengatakan bahwa etos kerja itu diawali dengan kesadaran sendiri dan awal kerja keras itu datang karna sudah ada panggilan dari tuhan yang suci sehingga melakukan pekerjaan dengan penuh semangan ihlas tanpa mengharapkan buruh akan tetapi mengharapkan kemaslakatan masyarakat, akan tetapi mengumpulkan kekayaan dengan sebanyak-banyaknya dengan cara bekerja keras tanpa mengetahui kemalasan. Dengan guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan semangata kerja akan mampu menghasilkan peserta didik yang berkualitas inovatif, kreatif, berakhlak mulia, adil, jujur dan berguna bagi nusa dan bangsa.

3.      Kontribusi terhadap pendidikan IPS adalah menjadikan guru yang profesional, menjadikan meningkatnya prestasi siswa, dan mutu dalam pendidikan bertarapkan nasional bahkan internasional, hal ini penulis tuangkan pemikiran Max Weber dalam teorinya kapitalisme semangat dalam bekerja atau etos kerja, dari sini teori Weber mampu mengimplementasikan pemikiranya terhadap proses pembelajaran pendidikan IPS, sehingga mampu merubah tatanan pendidikan, dari sifat dasar guru semangat, menjadikan meningkatnya etos kerja guru yang baik, berpengaruh terhadap guru yang profesional, berimplikasi terhadap meningkatnya prestasi siswa, dari semuanya menjadikan pendidikan yang berkualitas bermutu menjadi pendidikan nasional sampai taraf internasional.

B.     Saran
Etos kerja guru merupakan salah satu sifat yang mampu membentuk karakter siswa, mengkaji dari pemikiran Max Weber hendaknya dijadikan sebuah panutan bagi masyarakat yang berharga, betapa pentingya etos kerja guru yang baik dan bersifat iklas dalam bekerja di kehidupan masyarakat, hal ini demi terwujudnya pendidikan yang lebih progresif dan mampu membentuk siswa beretos kerja baik dan berakhlak mulia unutk mengabdikan dirinya sebagai generasi muda demi memajukan indonesia yang berasaskan kemanusiaan, dan dalam segi pendidikan mampu mencapai pendidikan yang bertaarap internasional.


DAFTAR PUSTAKA



Abdullah,Taufik. 1979, Agama, Etos Kerja Dan Perkembangan Ekonomi, Jakarta: LP3ES.
Ahmadi, Abu. H. Drs. 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
A Karim. 2004. Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi Islam). Yogyakarta: Magistra Insania Press.
Al-Khoziny, STAI. 2012. Progres Jurnal Manajemen Pendidikan, Surabaya: PP Pergunu.
Andreski, Stanislav. 1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama, diterjemahkan oleh Hartono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Atmodiwirjo,S. 2001. Manajemen Pendidikan Indonesia.Ardadizyaa. Jakarata.
Bachtiar, Wardi. Dr. 2006. Sosiologi klasik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Chatib, Munif. 2012. Gurunya Manusia, Bandung: PT Mizan Pustaka.
David Frisby. 2002. Georg Simmel (Key Sociologists) ,Routledge, London.
Donald L, Levine. 1985. 'Rasionalitas dan Kebebasan: Multivocals Lazim', dalam bukunya, The Flight dari Ketidakjelasan: Esai dalam Teori Sosial dan Budaya, Chicago: University of Chicago Press.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan, Universitas Gadjah Mada.
Geertz, Clifford. 1973, Ethos, World View and The Analysis of Sacred Symbols, dalam Interpretation of Culture, New York: Basic Books, Inc.
Gerth, HH, C. Wright Mills. 1948. From Max Weber: Essays in Sociology . London: Routledge (Inggris).
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx Durkheim dan Max Weber/ Anthony Giddens; penerjemah, Soeheba Kramadibrata.-  Jakarta: UI-Press.
Ibrahim, Bafadal. 2000. Peningkatan Profesionalisme Guru, (Jakarta: PT. Bumi Aksara).
Idris, Jamaluddin. 2006. Sekolah Efektif Dan Guru Efektif. Yogyakarta: Suluh Press.
ons Init P.T. Gramedia.
Lebang, Tomi. 2007.Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan Logika, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
M. Abdul Karim. 2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka Book Publisher.
Muhibin, Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja Rosdakarya).
Mulyadi, Asep. 2008.Islam Dan Etos Kerja Relasi Antara Kualitas Keagamaan Dengan Etos Produktifitas Kerja, Peneliti menyelesaikan program S2 Unisma Bekasi 2001.
Nurhayati, Eti. 2009. Pendidikan Emansipatoris, Mengajak Masyarakat Untuk Berbuat Bersama Berperan Bersama Berperan Sastra dalam Studi Islam: Memanusiakan Manusia Perspektif Social Kritis Transformatif. Cirebon: P3M STAIN Cirebon.
Poerwaodarminto, 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Pemda Kebudayaan).
Said Hamid Hasan, (1998). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta ; Proyek Pendidikan Tenaga Akademik Ditjen Dikti, Depdikbud.
Sasono, Adi. 1998. Solusi Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), Jakarta: Gema Insani.
Satrahidayat, Rochdjatun, Ika, Dr. 2009. Membangun Etos Kerja Dan Logika Berfikir Islam.UIN-Malang Press.
Silalahi, U. (2006). Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
Sinamo, Jansen. 2000, Strategi Adaptif Abad Ke 21, Jakarta, Gramedia, Nana. 2000. Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Algensindo).
Sudrajat, Ajat. 1994. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat, Relevansinya dengan Islam Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sven Eliaeson. 2000. "Caesarism Konstitusi: Politik Weber dalam Konteks Jerman Mereka," di Turner, Stephen Cambridge University Press
Syed Nawab Haider Naqvi. 2003. Menggagas ilmu Ekonomi Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tasmara, Toto. Etos Kerja Pribadi Muslim, Cet. II Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Taqiyuddin. 2008. Sejarah Pendidikan Melacak Geneologi Pendidikan Islam Indonesia, Bandung:Mulia press.
Tim Dosen Fakultas Tarbiyah. 2009. Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press.
Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik Ke Pos Positivistik, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Weber, Max. 1914. Economy and Society: An Outline of Interpretive Sociology. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. University of California Press: Berkeley, Los Angeles, London.
________1927. General Sejarah Ekonomi. New York: Greenberg.
­______­­__1946. Essays in Sociology, New York: Oxford University Press.
________1949. "'Objektivitas' dalam Ilmu Sosial dan Kebijakan Sosial," dalam The Metodologi Ilmu Sosial, ed. Edward A. Shils dan Henry A. Finch. Glencoe: Free Press.
________1949. The Methodolgy of The Social Science. Translated and edited by E.A. Shils and H.A. Finch. The Free Press, New York.

________1949. "'Objektivitas' dalam Ilmu Sosial dan Kebijakan Sosial," dalam The Metodologi Ilmu Sosial, ed. Edward A. Shils dan Henry A. Finch. Glencoe: Free Press.
________1958.The Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, New York:  Charles Scribners Sons.
________1991. The Sosiologi Agama, E. Fischoff (transitif). Boston: Beacon Press.
________2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, diterjemahkan oleh Yusup Priyasudiarja. Surabaya: Pustaka Promethea.
Wolfgang Justin Mommsen. (1984). Max Weber dan Politik Jerman, 1.890-1920.University of Chicago Press.University of Chicago Press.
Yatim, Riyanto. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan Tinjauan Dasar, (Surabaya: SIC).
Ya’qub, Hamzah. 1992. Etos Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "“PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”."

Post a Comment