“PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”.
PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU
DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pendidikan Islam (S. Pd. I)
Pada Jurusan Tadris Ilmu
Pengetahuan Sosial (T-IPS) Fakultas Tarbiyah
Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Syekh Nurjati Cirebon
Oleh :
IMUN MUNTAHA HILMI
59440903
KEMENTERIAN AGAMA
REPUBLIK INDONESIA
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SYEKH
NURJATI CIREBON
2013 M/1434 H
IKTISAR
IMUN MUNTAHA HILMI, 59440903 : “Perspektif Max Weber Tentang Etos Kerja Guru Dalam Pembelajaran Pendidikan Ips-Ekonomi”
Pendidikan merupakan
salah satu dari investasi dunia, yang mampu memajukan kesejahtraan masyarakat,
menghasilkan generasi anak bangsa yang baik, hal ini dipicu oleh tenaga
pengajar yaitu guru yang memiliki etos kerja yang tinggi, pada masa Max Weber
di kalangan protestan banyak masyarakat melakukan pekerjaan kurang baik, akan
tetapi hadir adanya pemikiran Max Weber upaya
solusi pembentukan bagi guru yang kurang semangat dalam mengajar, atau kurang
etos kerja pada saat ini zaman moderen.
Penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh data tentang biografi dan karya-karya Max Weber,
teori-teori Max Weber tentang etos kerja guru dalam pembelajaran pendidikan untuk
memperjuangkan tenaga pengajar yang mempunyai kesemangatan dalam mengajar, sehingga
mampu menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif dan berakhlak mulia. Yang
menjadikan pendidikan bertarap nasional bahkan internasional.
Sebagai kerangka
pemikir, Etos kerja adalah semangat bekerja melakukan pengupayaan pencitraan pembentukan
diri dalam dunia pendidikan sehingga menghasilkan keberhasilan dalam belajar. Yang
membentuk siswa menjadi manusia sempurna, atau dalam proses memanusiakan
manusia. Etos kerja yang di praktekan Weber ketika ingin mencari jati diri, Weber
menerapkan kebiasaan kerja keras untuk menghasilkan tujuan hidup, sehingga
mampu meraih gelar profesor. Dan menggambarkan kepada masyrakat kalangan
protestan, ajaran calvinisme untuk bekerja keras dalam melakukan pekerjaan
untuk mencapai kecerahan hidup dimasa depan.
Penelitian ini
dilakukan metodologi penelitian kepustakaan, pengumpulan data, analisis data.
Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan literature (studi pustaka) untuk
mendapatkan informasi mengenai masalah yang diteliti. Sedangkan analisis data
dilakukan untuk memberikan uraian secara deskriptif dan menarik kesimpulan dari
uraian tersebut.
Dari analisis di
atas, dapat disimpulkan bahwa hasil dari penelitian membuktikan pembentukan,
peran Max Weber dalam dunia pendidikan untuk memperjuangkan pembentukan kesemangatan
bekerja bagi guru yang bisa menghasilkan pembelajaran lebih baik sehingga mampu
menghasilkan siswa yang kreatif, inovatif, berguna bagi nusa dan bangsa, memiliki
masa depan yang cerah dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
PERSETUJUAN
PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA
GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI
Oleh :
IMUN MUNTAHA HILMI
NIM : 59440903
Menyetujui
Pembimbing
I, Pembimbing II,
Drs.
Asep Mulyana M.Si Drs.Masdudi, M.pd
NIP:196708031994031003 NIP:197102261997031006
NOTA DINAS
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
di-
Tempat
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Setelah mendapat bimbingan, telaahan, arahan,
dan koreksi terhadap penulis skripsi diri :
Nama :
Imun Muntaha Hilmi
NIM :
59440903
Judul Skripsi : PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA
GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-
EKONOMI
Kami berpendapat bahwa skripsi di atas sudah dapat diajukan
kepada Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negri (IAIN) Syekh Nurjati
Cirebon untuk di munaqosahkan.
Wassalamu’alaikum
Wr. Wb
Cirebon
01 Mei 2013
Pembimbing I Pembimbing II
Drs. Asep Mulyana M.Si Drs.
Masdudi, M.Pd
NIP:
196708031994031003 NIP:197102261997031006
PERNYATAAN OTENTISITAS SKRIPSI
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan ini saya nyatakan bahwa skripsi dengan
judul “PERSEPEKTIF MAX WEBER
TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI” ini beserta seluruh isinya adalah benar-benar
karya sendiri, dan saya tidak melakukan penjiplakan atau pengutipan dengan
cara-cara yang tidak sesuai dengan etika yang berlaku dalam masyarakat
keilmuan.
Atas
pernyataan ini, saya siap menanggung resiko/ sanksi apapun yang dijatuhkan
kepada saya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apabila dikemudian hari
ditemukan adanya pelanggaran terhadap keaslian karya saya ini.
Cirebon,01
Mei 2013
Yang membuat pernyataan
IMUN MUNTAHA HILMI
NIM : 59440903
RIWAYAT HIDUP PENULIS
IMUN MUNTAHA HILMI dilahirkan di Indramayu tepatnya di desa Cibeber Blok
Fil-boxs Kecamatan Sukagumiwang, Kabupaten Indramayu pada tanggal 25 Oktober
1991. Ia adalah anak terakhir dari keluarga pasangan Bapak Abdul Kalim dan Ibu
Suenah Wati. Pendidikan yang yang telah ditempuh dari mulai MI As-Syifa Wal’ain
Bondan (lulus 2003). Stelah lulus MI dilanjutkan kejenjang berikutnya di MTs As-Sifa
Wal’ain Bondan (lulus 2006). Kemudian setelah lulus penulis melanjutkan
kejenjang berikutnya di pendididkan MA Assyarifiyah Wideng Bondan (lulus 2009).
Setelah lulus dari MA penulis melanjutkan studi di Fakultas Tarbiyah Jurusan
Ilmu Pengetahuan Sosial, sekarang menjadi Jurusan IPS Ekonomi IAIN Syekh
Nurjati Cirebon.
Setelah menjadi mahasiswa penulis aktif
di berbagai organisasi baik intra maupun ekstra. Organisasi kemahasiswaan yang
diikuti penulis dan pernah menjabat di organisasi kemahasiswaan.
Bagian Organisasi Intra antara lain:
·
HIMASOS (Himpunan Mahasiswa Sosial), Ketua Umum 2011-2012.
·
SABURA (Sakti Budhi Rasa), Kabid 1 Pengurus.
·
DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa-sekarang SEMA), Angggota Komisi
A.
·
DEMA (Dewan Eksekutif Mahasiswa), Ketua Kabid Pendidikan.
Adapun bagian Organisasi ekstra antara lain:
·
PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), pengurus Kabid
Kesekertariatan.
·
IKMI (Ikatan Kampus Mahasiswa Indramayu), Ketua Bidang 1
Litbang (Lintas Bidang).
·
PPU (Pondok Pesantren Ulumuddin), Pengurus 2009-2011.
·
PPA (Pondok Pesantren Azziyadah), Sekertaris 2011-2012.
·
DKM (Dewan Kemakmuran Masjid Baitu As-Salam, cideng), Pengurus
2012.
·
DKM (Dewan Kemakmuran Masjid Assyamsu, Kesambi), Pengurus
2013.
Penulis menyelesaikan program
sarjana strata satu (S1) Pada jurusan Ilmu pengetahuan sosial Ekonomi Fakultas
Tarbiyah IAIN Syekh Nurjati Cirebon dalam tahun akademik 2012/2013 dengan judul
skripsi “Pemikiran Max Weber Tentang Etos Kerja Guru Dalam Pembelajaran
Ips-Ekonomi”
Cirebon, 01 Mei 2013
Penulis
SKRIPSI ini Penulis Persembahkan Untuk:
Ibundan dan Ayahanda Bpk Abdul Halim (Alm), Ibu Suenah tercinta
dengan kasih sayangnya telah memberikan segalanya, dari mendidik sejak kecil
sampai sekarang mendapatkan pendidikan yang berharga dan terbaik demi
terwujudnya anak yang soleh. Semoga amal salehnya diterima oleh Allah SWT
aminn.
Kaka-kakaku tercinta, Muhammad Subhi (Alm), Surotin (Almh), Muhammad
Masnun, Muhammad Rifa’i S.Pd.i, Muhammad Saluki, dan Muhammad Sailin S.Kom,
yang telah membimbing kami dari awal sampai akhir pendidikan baik dari segi
moril maupun materil sehingga mampu menyelesaikan program studi ini dengan
baik.
Guru-guruku tercinta, DR. K.H Shalahuddin, K.H Suja’i Amin, Drs.
K.H Jufri Azi.M.Pd.i, Ust, Johar Maknun,Ust Mujtahid Lafif S.Kom, yang telah
memberikan bimbingan kepada penulis
sampai menjadi manusia yang bermoral dan berakhlak.
Kang Wahyono Annajih, Kang Kaelani, Kang
Dayat, Ang Mamang yang selalu memberikan masukan sehingga penulis
menemukan banyak inspirasi dalam menulis skripsi ini dengan baik.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Studi tentang etos kerja dilatarbelakangi munculnya berbagai
catatan buruk mengenai fenomena kinerja birokrasi yang dianggap rendah dan
lambat. Literature menyebutkan bahwa hal tersebut antara lain dipengaruhi
adanya budaya “paternalistik” yang masih kuat, sistem pembagian kekuasaan yang
cenderung memusat pada pimpinan, dan tidak adanya sistem insentif yang tepat
yang mampu mendorong para pejabat birokrasi untuk bertindak efesien, responsif,
dan profesional, (Dwiyanto, 2002:10).
Dalam
pendidikan banyak problema diantaranya yang paling urgen adalah proses
pembelajaran dan etos kerja guru yang masih sangat rendah, dari sinilah penulis
ingin mengimplementasikan pemikiran Weber yang mengatakan seseorang harus mampu
mempunyai semangat kerja yang baik, dengan etos kerja yang baik ini mampu
mengefektifkan dalam pembelajaran sehingga bisa menjadikan peserta didik yang
berprestasi baik dalam pendidikan maupun kemasyarakatan, Pendidikan merupakan
salah satu upaya dalam meningkatkan kualitas hidup manusia yang pada akhirnya
bertujuan meningkatkan kualitas manusia menjadi lebih baik. Peningkatan mutu pendidikan merupakan sasaran pembangunan di bidang
Pendidikan Nasional dan merupakan bagian integral dari upaya peningkatan
kualitas manusia Indonesia secara menyeluruh.
Sekolah merupakan salah
satu organisasi pendidikan yang dapat dikatakan sebagai wadah untuk mencapai
tujuan pembangunan nasional. Untuk mewujudkan tercapainya keberhasilan pendidikan di sekolah, banyak factor yang mempengaruhi, diantaranya adalah
etos kerja guru di sekolah itu sendiri.
Etos kerja tidak
saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh sekelompok orang dalam
masyarakat. Etos kerja dibentuk berbagai kebiasaan, pengaruh budaya, serta
sistem nilai (agama dan kepercayaan) yang diyakininya. Dalam etos kerja
terkandung gairah semangat kerja yang
amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik, dan bahkan
berupaya untuk mencapai kualitas kerja sesempurna mungkin.
Sinamo (2000:5)
menegaskan bahwa etos kerja akan mampu mendongkrak semangat kerja. Ada 8
(delapan) peta etos kerja profesional yang Sinamo sebutkan, yaitu: kerja adalah
rakhmat, kerja adalah amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi
diri, kerja adalah ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan
kerja adalah pelayanan.
Dari sudut teoritas hal
ini membawa pada persoalan kemungkinan hubungan yang saling mendukung antara
kenyataan rohani dengan sistem prilaku, bahkan akan mempersoalkan “etos kerja”
dari masyarakat. Etos, kata geertz adalah “sikap yang mendasar terhadap diri
dan dunia yang dipancarkan hidup”. Etos adalah aspek evaluatif, yang
bersifat menilai, (Taufik Abdullah, 1986:2).
Pendidikan adalah upaya untuk mengimplementasikan
ilmu yang maampu membentuk anak didik dalam potensi kreatifitas, mampu
membentuk sikap kepribadian seseorang sehingga berhasil memanusiakan manusia.
Hal ini sejalan dengan
pendapat Eti Nurhayati (2009:91) bahwa pendidikan pada hakikatnya merupakan
proses memanusiakan manusia (humanizing
human being). Dengan itu, setiap treatmen yang ada dalam praktek
pendidikan mestinya selalu memperhatikan hakikat manusia sebagai makhluk Tuhan
dengan fitrah demikian, sehingga makhluk individu ynang khas, dan makhluk sosial yang hidup dalam realita sosial yang majemuk.
Pendidikan adalah wadah pengetahuan, gurunya manusia yaitu guru
yang punya keikhlasan dalam mengajar adalah membuat para sisiwa berhasil
memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang iklas, akan berintrospeksi
apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar, guru yang berusaha
meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh
berhenti mengajar, guru yang keinginannya kuat dan serius mengajarkan dengan
kinerja sendiri itu guru yang semangat kerja.
Hal ini sependapat dengan Munif Chatib (2012:57) Gurunya manusia
juga manusia membutuhkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Berbeda
dengan guru materialis, gurunya manusia menempatkan penghasilan sebagai akibat
yang didapat dengan menjalankan kewajibanya, yaitu keiklasan belajar mengajar, guru
yang mengajar dengan ikhlas dan semangat mengajar itu gurunya manusia.
Menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 50 ayat 3
“Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang
kurangnya satu tahun pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk
dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.”
Bangsa apa pun, apalagi
bangsa kita, tidak mungkin dapat mencapai kemajuan tanpa sumber daya manusia
yang baik. Sumber daya manusia yang baik tidak akan dapat peroleh tanpa
pendidikan yang baik. Kualitas pendidikan sangat jauh dibandingkan pendidikan
bangsalain, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa mutu pendidikan di Tanah Air
sampai saat ini masih rendah. Cukup banyak bukti yang dapat digunakan untuk
mendukung kegagalan pendidikan tersebut, rata-rata hasil ujian akhir nasional,
masih banyak yanag tanpa kemampuan hasil sendiri, ini bias disebabka dari peserta
didik maupun etos kerja guru, (Jusuf Kalla, 2007:178)
Pendidikan akan terasa
menyenangkan dan penuh makna, ketika lembaga pendidikan tidak hanya membekali
kemampuan kognitif (berfikir) dan
ketrampilan saja, tetapi juga memberikan kemampuan bersosialisasi atau
beradaptasi (pendidikan social) kepada siswa. Karena pada dasarnya manusia
adalah makhluk social, yang butuh berinteraksi dengan manusia dan lingkunganya.
Siswa dibekali dengan kemampuan kognitif, skill dan kemampuan bersosial, sangat
dimungkinkan keberhasilan mampu ia raih di masa depan. Dengan motivasi guru
yang begitu antusias mengajar anak didik, dengan hal tersebut mampu menjadikan
anak didik yang kreatif, inovatif, dan aktif (M. Yahya, 2011:51).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(1991:232), pendidikan berasal dari kata “didik”, lalu diberikan awalan kata
“me”
sehinggan menjadi “mendidik” yang bartinya memelihara
dan memberi latihan.Dalam memeliahara dan memberi latihan diperlukan adanya
ajaran, tuntutan dan pimpinan mengenai akhlak dan kecerdasan pemikiran.
Pendidikan sebagai proses upaya
meningkatkan peradaban individu atau masyarakat dari suatu keadaan tertentu
menjadi keadaan yang lebih baik, secara institutional peranan dan fungsinya semakin
dirasakan oleh sebagian besar masyarakat. Karena itu keberadaan suatu lembaga
pendidikan di suatu daerah, merupakan salah satu factor penentu dalam upaya
peningkatan kualitas masyarakat di daerah tersebut (Taqiyuddin, 2008:42).
Pendidikan ilmu pengetahuan dan
teknologi berkembang yang disertai dengan perkembangan social budaya yang
berlangsung dengan cepat dewasa, peranan guru telah meningkat dari sebagai
pengajar sebagai pembimbing.Tugas dan tanggung jawab guru menjadi lebih meningkat
terus, yang kedalamnya termasuk fungsi-fungsi guru sebagai perancang pengajaran
(designer of instruction), pengelola
pengajaran (manager of instruction), evaluator of student learning, motivator
belajar dan sebagai pembimbing (Abu Ahmad, 2004:114).
Pendidikan menurut al-Ghozali adalah menghilangkan akhlak yang buruk dan
menanamkan akhlak yang baik, dengan demikian pendidikan merupakan suatu proses
kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk melahirkan perubahan-perubahan
yang progressive pada tingkah laku
manusia, (Press UIN Malang, 2009:166).
Karya awal yang paling monumental dan berjasa
mempopulerkan kajian ilmiah antara etos kerja dan kesuksesan pada kelompok
masyarakat tertentu adalah karangan Max Weber (1958) berjudul The Protestant
Ethic and the Spirit of Capitalism,Weber menjelaskan bahwa ada kaitan
antara perkembangan suatu masyarakat dengan sikap dari masyarakat terhadap
makna kerja.
Kerja keras bagi ummat protestan sekte Calvinist
adalah suatu panggilan rohani untuk mencapai kesempurnaan kehidupan mereka.
Akibat dari dorongan semangat kerja keras ini ternyata sangat berpengaruh
dengan semakin kuat
pada peningkatan kehidupan ekonomi mereka. Dengan bekerja keras serta hidup
hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin tidak hanya hidup lebih baik,
tetapi mereka mampu pula memfungsikan diri mereka sebagai wiraswasta yang
tangguh dan menjadikan diri mereka sebagai tulang punggung dari sistem ekonomi
kapitalis (Max Weber,1958:2).
Weber mendefinisikan
semangat kapitalisme sebagai bentuk kebiasaan yang sangat mendukung pengajaran
rasionalitas terhadap keuntungan ekonomi. Semangat seperti itu telah menjadai
kodrat manusia rasional, artinya pengejaran bagi kepentingan-kepentingan
pribadi diutamakan daripada memikirkan kepentingan dan kebutuhan kolektif
seperti dikehendaki oleh Karl Marx, (Umbo Upe, 2010:214).
Paradigma ini mengajarkan bahwa masalah
pembangunan dan keterbelakangan (development and underdevelopment) dari
suatu etnik atau bangsa tertentu adalah
sangat berkait dengan masalah dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai
dengan pembangunan. Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu sosial harus berkaitan dengan fenomena
spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri khas dari manusia yang tidak berada
dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Pembedaan yang diperlakukan tentang
subyek dan obyek tidak harus melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam
ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan yang menyertakan intuisi sebagai pengganti
untuk analisis sebab-musabab yang dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial
berawal dari suatu perasaan bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan
kemudian dirangsang oleh rasa keharusan manusia memberi perhatian demi
terjadinya perubahan sosial yang diinginkan (Giddens, 1986:164).
Dalam The Protestant Ethic and the Spirit of
Capitalism, Weber mencatat ajaran Calvinisme melalui empat kerangka
pemikiran, yaitu: doktrin predestinasi (nasib, takdir), pencarian keselamatan,
asketisisme dunia-sini, dan konsep rasionalisasi. Etos Kerja
harus dimulai dengan kesadaran akan pentingnya arti tanggung jawab kepada masa
depan bangsa dan negara. Dorongan untuk mengatasi kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan hanya mungkin timbul, jika masyarakat secara keseluruhan
memiliki orientasi kehidupan teracu kemasa depan yang lebih baik, ( Max Weber,
1930:1).
Etos
kerja seseorang erat kaitannya dengan kepribadian, perilaku, dan karakternya.
Setiap orang memiliki internal being yang merumuskan siapa dia. Selanjutnya
internal being menetapkan respon, atau reaksi terhadap tuntutan external.
Respon internal being terhadap tuntutan external dunia kerja menetapkan etos
kerja seseorang (Siregar, 2000: 25).
Kandungan etos kerja birokrasi semacam ini,
nampaknya relevan dengan apa yang pernah disampaikan Weber (1958), menyebutkan
bahwa bekerja yang baik harus bersumber pada ajaran yang menekankan pada sifat
kerja keras, rajin atau tekun, hemat, berperhitungan, sanggup menahan diri dan
rasional.
Weber menjelaskan bahwa kondisi-kondisi ini dimungkinkan terwujud apabila manusia terlebih
dahulu memiliki sejumlah karakteristik psikologis tertentu (vocational
ethics). Dan karakteristik psikologi tertentu itu menurut Weber tercermin
di dalam berbagai citra sosial yang merupakan bentuk-bentuk ideal yang
mencerminkan berbagai ungkapan atau semboyan-semboyan sebagai kekuatan
pendorong (driving force).
Etos kerja dapat diartikan sebagai konsep tentang kerja atau paradigma kerja
yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok orang sebagai baik dan benar yang
diwujudnyatakan melalui perilaku kerja mereka secara khas (Sinamo, 2003:2).
Etos
kerja sebagai semua kebiasaan baik yang berlandaskan etika yang harus dilakukan
di tempat kerja, seperti: disiplin, jujur,
tanggung jawab, tekun, sabar, berwawasan, kreatif, bersemangat, mampu bekerja
sama, sadar lingkungan, loyal, berdedikasi, bersikap santun, seorang pekerja
atau pemimpin betapa hebat kepandaian/kecakapannya, tetapi tidak jujur atau
tidak bertanggung jawab, tidak disiplin atau tidak loyal, misalnya apalagi tak
mampu bekerja sama, pasti merugikan perusahaan. Hal tersebut tidak dikehendaki
terjadi. Tanpa etos kerja tinggi seperti disebutkan di atas perusahaan tak
mungkin meningkatkan produktivitas sebagaimana yang diharapkan. Kinerja (performance)
sangat ditentukan oleh etos kerja. Menumbuhkan etos kerja kepada bawahan memang
gampang-gampang sulit. Karena etos kerja tak dapat dipaksakan. Harus tumbuh
dari dua pihak: atasan dan bawahan.
Max Weber mengemukakan bahwa Etos kerja
termasuk salah satu global narrative, pembicaraan global. Salah satu di antara
ciri sumber daya manusia (SDM) yang diharapkan negera-negera maju dan
berkembang adalah wagra yang memiliki etos kerja yang tinggi. Pertama, bagaimana
pandangan seseorang tentang kerja. Kedua, ada atau tidaknya semangat
untuk melakukan pekerjaan, semangat bekerja atau menyelesaikan pekerjaan. Ketiga,
adanya upaya untuk menyempurnakan kerja agar menjadi lebih produktif. Keempat,
adanya kebanggaan dapat melakukan pekerjaan yang menjadi tugasnya, ( Mulyadi
Acep, 2008:10).
Weber berpengaruh dalam karakter seseorang Pendidikan
adalah pembentukan karakter yang mampu membentuk manusia menjadi berakhlak dan
berintelektual, dengan pendidikan manusia mampu mengerjakan pekerjaan sesuai
dengan kemampuanya, pada zaman sekarang banyak problema untuk menghasilkan anak
didik yang berintelektual, inovatif, dan kreatif. Selama ini banyak yang
menyalahkan dari sitem pemerintahan, sekolah, managemen pendidikan, bahkan etos
kerja guru yang kurang disiplin, karena mengikuti pepatah kita yang salah “hujan
emas di negri orang, lebih baik hujan batu dinegri diri sendiri”, ini salah
satu kerugian dalam pembentukan anak bangsa, disebabkan etos kerja yang kurang
baik (Rochdjatun Ika, 2009:57).
Berdasarkan
pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk meneliti bagaimana “PERSPEKTIF
MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA
GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”.
B.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam penelitian kali ini, penulis mencoba
membagi rumusan masalah kedalam tiga bagian, diantaranya:
1.
Identifikasi
Masalah
a.
Wilayah
Penelitian
Wilayah
Penelitian dalam penulisan ini adalah wilayah kajian pendidikan ekonomi.
b.
Pendekatan
Penelitian
Pendekatan
penelitian ini adalah pendekatan studi kepustakaan (studi literatur).
c.
Jenis Masalah
Jenis Masalah
dalam penelitian ini adalah berusaha menjelaskan dan mengimplementasikan etos
kerja guru terhadap pembelajaran materi ekonomi, dari pemikiran Max Weber dan
mampu menerapkan di masyarakat sebagai alternatif untuk menjawab atas
problematika guru yang lemah atas etos kerjanya dalam pembelajaran di
pendidikan formal-nasional, sehingga mampu menghasilkan produktifitas anak
didik yang kreatif.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mengantisipasi atas kesimpangsiuran dalam permasalahan penulis ini,
maka diuraikan beberapa pembatasan
masalah, sebagai berikut:
a. Pengertian etos kerja guru terhadapa pembelajaran pendidikan ekonomi
menurut perspektif Max Weber dalam meningkatkan kinerja guru yang propesional.
b. Urgensi etos kerja guru terhadap pembelajaran pendidikan ekonomi adalah
bagaimana seorang guru yang spirit etich atau semangan bekerja dalam
mengantisifasi ketidakberhasilan produktifitas dalam pembelajaran, atau
menghasilkan siswa-siswi lulusan yang tidak kreatif.
3. Pertanyaan penelitian
Awal dari latar belakang di atas, maka penulis dapat dirumuskan dalam beberapa pertanyaan diantaranya sebagai
berikut:
a. Bagaimana perspektif
Max Weber tentang etos kerja?
b. Bagaimana implikasi
pemikiran Max Weber tentang etos kerja dalam pembelajaran IPS Ekonomi?
c. Bagaimana kontribusi
pemikiran Max Weber tentang etos kerja terhadap guru dan siswa?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan kali ini adalah:
a.
Untuk
mengetahui perspektif Max Weber tentang etos kerja.
b.
Untuk
mengetahui implikasi pemikiran Max Weber tentang etos
kerja dalam pembelajaran IPS-Ekonomi.
c.
Agar memahami kontribusi
pemikiran Max Weber tentang etos kerja terhadap guru dan siswa.
D. Kerangka
Pemikiran
Pendidikan
adalah investasi dunia, dengan pendidikan manusia memahami kehidupan yang
sebenarnya, mana yang dapat diperbaharu, dan mana yang tidak dapat diperbaharui, manusia yang sudah paham
betul dengan pendidikan diyakini mampu mengetahui dan melahirkan produktifitas
yang baru dan bermutu, Etos kerja termasuk adalah satu di antara global
narrative, pembicaraan global. Salah satu diantara ciri sumber daya manusia (SDM)
yang diharapkan Negara maju dan berkembang adalah warga yang memiliki etos kerja yang
tinggi.
Pendidikan,
menurut Webster’s New World dictionary
(1962), adalah “Suatu proses pelatihan dan pengembangan pengetahuan, keterampilan,
pikiran, watak dan lain-lain, khususnya melalui sekolah formal. Kegiatan
pendidikan menyangkut produksi dan distribusi pengetahuan baik di lembaga
reguler maupun non reguler”.Karena mayoritas kegiatan tersebut berlangsung di
lembaga pengajaran seperti sekolah swasta dan negeri.
Dalam
Undang-Undang RI No Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bab II pasal 3 dikemukakan
bahwa:
“pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadai manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga yang demokrasi serta bertanggungjawab”.
Pendidikan
mempunyai peranan penting dalam peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara
penuh pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan
berpengaruh terhdap produktivitas, tetapi juga berpengaruh terhadap fertilitas (angka
kelahiran) masyarakat. Dengan pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih
cepat mengerti dan siap dalam meghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan. Jadi,
pada umumnya pendidikan diakuai sebagai investasi sumber daya manusia. Pendidikan
memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi
melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap serta
produktivitas. Dalam
hubungannya dengan biaya dan manfaat, pendidikan dapat dipandang sebagai salah
satu investasi (human investment) dalam hal ini, proses pengetahuan dan
keterampilan melalui pendidikan bukan merupakan suatu bentuk konsumsi semata,
akan tetapi merupakan suatu investasi (Mark Blaug,
1976:19).
Pendidikan merupakan suatu investasi yang
berguna bukan saja untuk perorangan atau individu saja, tetapi juga merupakan
investasi untuk masyarakat yang mana dengan pendidikan sesungguhnya dapat
memberikan suatu kontribusi yang substansial untuk hidup yang lebih baik di
masa yang akan datang. Hal ini, secara
langsung dapat disimpulkan bahwa proses pendidikan sangat erat kaitannya dengan
suatu konsep yang disebut dengan human capital, (Jones,
1985:4).
Pendidikan juga mampu memberikan mental dan inovasi
baru dari anak didik, baik dalam bidang pendidikan maupun ekonomi, hal ini yang
perlu kita perhatikan keberhasilan anak didik itu diakibatkan oleh kesemangatan pengajaran guru, murid aktif
jika guru tidak aktif maka sama dengan gelas tanpa air, tak ada isinya. Dengan
itu makan pemerintah harus perhatikan ketika guru ditugaskan dalam pengajaran
agar bangsa kita adalah bangsa yang baik, termasuk prioritas yang tinggi baik
dalam penghasilan APBN maupun pendidikan.
Menurut Ahmad Rizal, yang dikutip Chatib Munif
(2012:30) mengatakan bahwa ada guru yang secara mental tidak siap dilatih,
bahkan jumlahnya cukup besar. Guru model demikian yang tidak mempunyai
kemampuan apa pun. Persis seperti robot, baru bekerja setelah ada perintah dan
selalu menuntut hak terlebih dahulu sebelum menunaikan kewajibanya dengan baik,
sedikit guru yang berkosentrasi untuk belajar dan mengajar dengan baik, limit
guru yang tinggi etos kerjanya hampir 30% dari 100%.
Dalam
pandangan Clifford Geertz, etos adalah (sikap yang mendasar terhadap diri dan dunia yang
dipancarkan dalam hidup). Jadi dalam hal ini seseorang berhasil itu dikala semangat
untuk berusaha, bekerja, dan bertawakal. Spirit inilah yang menjadi perilaku
yang khas, seperti kerja keras, disiplin, teliti, tekun, integritas, rasional
dan bertanggungjawab melalui keyakinan, komitmen dan penghayatan atas pradigma
kerja tertentu seperti ”kerja adalah rahmat”,”kerja adalah amanah”, ”kerja adalah
ibadah”.
Max
Weber sendiri mencetuskan ide etos kerja sebagai aspek evaluatif yang
bersifat penilaian diri terhadap kerja yang bersumber dari realitas spiritual keagamaan yang diyakininya.
Selanjutnya dijelaskan bahwa cara hidup yang sesuaidengan kehendak Tuhan adalah memenuhi
kewajiban yang ditimpakan kepada siindividu oleh kedudukannya di
dunia. Inilah yang disebut sebagai calling atau panggilan,
sebuah konsepsi agama mengenai tugas yang ditentukan oleh Tuhan, sebuah tugas hidup dan lapangan
yang jelas tempat ia bekerja.
E.
Metodologi Penelitian
Langkah-langkah dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Penelitian kepustakaan (library research)
Penelitian kepustakaan ini bersumber dari berbagai rujukan buku yang
tercaver dalam beberapa buku yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam
skripsi ini, yaitu tentang Biografi, karya-karya, teori pemikiran max weber
terhadap etos kerja guru dalam pembelajaran pendidikan IPS Ekonomi.
2. Pengumpulan Data
Data adalah informasi yang sudah di sitematikan terorganisir sedemikian
rupa, berdasarkan fakta bahan-bahan literature yang didapatkan di perpustakaan.
3. Analisis Data
Menganalisis data ini dengan cara memberikan deskripsi menggambarkan uraian
secara induktif dengan memperhatikan litertur yang logis berdasarkan analisis
ini (content analysis).
4. Menarik kesimpulan dari uraian yang disajikan, hal ini digunakan untuk
menjawab dari berbagai permasalahan dalam peneliti yang ada dalam skripsi.
Dalam langkah-langkah
yang dilakukan dalam penelitian ini baik dari kajian
pustaka maupun pengumpulan data tersebut diatas, maka dengan itu akan ditemukan
beberapa informasi dan data-data yang nantinya akan dikembangkan secara dan
lebih mendalam
F. Sistematika
Penulisan
Skripsi ini terdiri dari lima bab yang satu sama
lain saling berkaitan dengan tema pokok “perspektif Max Weber tentang etos
kerja guru dalam pembelajaran pendidikan IPS- Ekonomi” Adapun sistematika
penulisan yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini mencakup Latar Belakang
Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan
Peneliti, Kerangka Pemikiran, Metodologi
Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini mencertakan dan
menjelaskan biografi,
karya-karya Max Weber, dan teori Max Weber.
BAB III METODOLOGI
PENELITIAN
Bab
ini
mencakup penelitian kepustakaan, waktu penelitian, jenis penelitian, teknik
pengumpulan data, analisis data, dan menarik kesimpulan dari uraian yang
disajikan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Bab ini memuat tentang
pemikiran Marx Weber tentang etos kerja guru terhadap pembelajaran ips-ekonomi, implikasi dan kontribusi terhadap guru dan siswa.
BAB V PENUTUP
Bab ini meliputi dari
kesimpulan dengan saran.
BAB II
LANDASAN
TEORI
A.
BIOGRAFI
MAX WEBER
Maximilian
Weber atau yang terkenal dengan sebutan Max Weber lahir di Erfurt, Thuringia,
Jerman tanggal 21 April 1894 dan meninggal di Munchen, Jerman tanggal 14 Juni
1920 tepatnya pada usia 56 tahun. Perbedaan
penting antara Max Weber kedua orang tuanya berpengaruh besar terhadap
orientasi intelektual dan perkembangan psikologi Weber. Ayahnya seorang
birokrat yang kedudukan politiknya relatif penting, dan menjadi bagian dari
kekuasaan politik yang mapan dan sebagai akibatnya menjauhkan diri dari setiap
aktivitas dan idealisme yang memerlukan pengorbanan pribadi atau yang dapat
menimbulkan ancaman terhadap kedudukannya dalam sistem. Lagi pula sang ayah
adalah seorang yang menyukai kesenangan duniawi dan dalam hal ini, juga dalam
berbagai hal lainnya, ia bertolak belakang dengan istrinya. Ibu Marx Weber
adalah seorang Calvinis yang taat, wanita yang berupaya menjalani kehidupan
prihatin (asetic) tanpa kesenangan seperti yang sangat menjadi dambaan
suaminya. Perhatiannya kebanyakan tertuju pada aspek kehidupan akhirat, ia
terganggu oleh ketidak sempurnaan yang dianggapnya menjadi pertanda bahwa ia
tak ditakdirkan akan mendapat keselamatan di akhirat. Perbedaan mendalam antara
kedua pasangan ini menyebabkan ketegangan perkawinan mereka dan ketegangan ini
berdampak besar terhadap Weber. Karena tak mungkin menyamakan diri terhadap
pembawaan orang tuanya yang bertolak belakang itu, Weber kecil lalu berhadapan
dengan suatu pilihan jelas (Marianne Weber, 1975:62).
Ibu Max Weber, Helena falenstein Weber adalah
seorang wanita protestan terpelajar dan liberal. Banyak anggota keluarganya di
Thuringia yang bekerja sebagai guru dan pejabat rendahan. Tetapi ayahnya adalah
seorang pejabat kaya yang menjelang revolusi 1848, menghabiskan pensiun di
sebuah villa di Heidelberg, (Weber Max 2009:3).
14
|
Pada usia dua puluh tahun Weber kembali melanjutkan study di universitasnya
di berlin dan Gottingen di mana, tetapi pada musim panas 1885 dan sekali lagi
pada tahun 1888 ia ikut dalam oprasi militer di Posen. Di sana ia merasakan
dari jarak dekat atmosfer perbatasan jerman-Slavonia, yang bagian tampak
sebagai perbatasan “kultural” Diskusinya tentang Channing, dalam sebuah surat
untuk ibunya, menjadi ciri pemikirannya waktu itu (Weber Max, 2009:9).
Pada tahun 1882 Weber
mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg sebagai mahasiswa hukum. Setelah setahun pelayanan militer ia pindah ke Universitas Berlin . Setelah beberapa tahun pertama sebagai mahasiswa, di mana ia
menghabiskan banyak waktu "minum bir dan pagar , "Weber semakin akan mengambil sisi ibunya dalam argumen keluarga
dan tumbuh terasing dari ayahnya. Bersamaan dengan studinya, ia bekerja sebagai
junior pengacara, (Craig J. Calhoun, 2002:01-02).
Pada tahun 1886 Weber
lulus pemeriksaan untuk Referendar, sebanding dengan asosiasi bar pemeriksaan dalam
sistem hukum Inggris dan Amerika. Sepanjang akhir 1880-an, Weber melanjutkan studi
hukum dan sejarah. Ia menerima gelar doktor hukum-Nya pada tahun 1889 dengan menulis disertasi tentang sejarah hukum yang berjudul The History
of Medieval Bisnis Organisasi; penasihat adalah Levin Goldschmidt, otoritas dihormati di komersial hukum. Dua tahun kemudian,
Weber selesai Habilitationsschrift, Sejarah
Agraria Romawi dan Signifikansi untuk Hukum Publik dan Privat, bekerja dengan Agustus Meitzen . Memiliki demikian menjadi Privatdozent, Weber bergabung dengan Universitas fakultas Berlin, ceramah dan
konsultasi untuk pemerintah (Weber, Max. 1994:ix).
Setelah kuliah tiga semester Weber meninggalkan
Heidelberg untuk dinas militer dan tahun 1884 ia kembali ke Berlin, ke rumah
orang tuanya, dan belajar di Universitas Berlin. Ia tetap disana hampir delapan
tahun untuk menyelesaikan studi hingga mendapat gelar Ph.D., dan menjadi
pengacara dan mulai mengajar di Universitas Berlin. Dalam proses itu minatnya
bergeser ke ekonomi, sejarah, hukum, filosofi, sosiologi, dan teologi. yang
menjadi sasaran perhatiannya selama sisa hidupnya. Selama delapan tahun di
Berlin, kehidupannya masih tergantung pada ayahnya, suatu keadaan yang segera
tak disukainya. Pada waktu bersamaan ia beralih lebih mendekati nilai-nilai
ibunya dan antipatinya terhadapnya meningkat. Ia lalu menempuh kehidupan
prihatin (ascetic) dan memusatkan perhatian sepenuhnya untuk studi.
Misalnya, selama satu semester sebagai mahasiswa, kebiasaan kerjanya dilukiskan
sebagai berikut: “Dia terus mempraktikkan disiplin kerja yang kaku, mengatur
hidupnya berdasarkan pembagian jam-jam kegiatan rutin sehari-hari ke dalam
bagian-bagian secara tepat untuk berbagai hal. Berhemat menurut caranya, makan
malam sendiri dikamarnya dengan 1 pon daging sapi dan empat buah telur goreng”
(Mitzman, 1969/1971:48; Marianne Weber, 1975:105).
Weber
menjalani hidup prihatin, rajin, bersemangat kerja, tinggi dalam istilah modern
disebut Work aholic (gila kerja). Semangat kerja yang tinggi ini
mengantarkan Weber menjadi profesor ekonomi di Universitas Heidelberg pada
1896. Setelah masa kosong yang lama, sebagian kekuatannya mulai pulih di tahun
1903, tapi baru pada 1904, ketika ia memberikan kuliah pertamanya (di Amerika)
yang kemudian berlangsung selama enam setengah tahun, Weber mulai mampu kembali
aktif dalam kehidupan akademis tahun 1904 dan 1905 ia menerbitkan salah satu
karya terbaiknya. The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism.
Meski terus diganggu oleh masalah psikologis,
setelah 1904 Weber mampu memproduksi beberapa karya yang sangat penting. Ia
menerbitkan hasil studinya tentang agama dunia dalam perspektif sejarah dunia
(misalnya Cina, India, dan agama Yahudi kuno). Menjelang kematiannya (14 Juni
1920) ia menulis karya yang sangat penting, Economy and Society. Meski
buku ini diterbitkan, dan telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, namun
sesungguhnya karya ini belum selesai. Selain menulis berjilid-jilid buku dalam
periode ini, Weber pun melakukan sejumlah kegiatan lain. Ia membantu mendirikan
German Sociological Society di tahun 1910. Rumahnya dijadikan pusat
pertemuan pakar berbagai cabang ilmu termasuk sosiologi seperti Georg Simmel,
Alfred, maupun filsuf dan kritikus sastra Georg Lukacs (Scaff, 1989:186:222).
Pada musim semi 1892, seorang putri keponakan Max
Weber, datang ke Brlin untuk menempuh pendidikan demi suatu profesi. Marianne
Schnitger, gadis dua puluh tahun putri seorang dokter, sudah menyelesaikan
sekolahnya di kota Hanover. Kemudian gadis ini jatuh cinta sama Max Weber,
kemudian saling jatuh cinta menikah Max Weber dengan Marianne Schnitger pada
musim gugur tahun 1893, (Weber Max, 2009:11).
Pada tahun 1920 Weber mengalami menderita sakit,
kemudian tepatnya pada tanggal 14 juni 1920 Weber meninggal dunia dikarnakan
mengalami gangguan penyakit psikis yang dideritanya, dari sinilah kalangan
calvinisme banyak yang membaca dan menerapkan pemikiran Weber dalam hidupnya
yang penuh semangat mencari profesi, dan bekerja keras tanpa mengenal lelah.
B.
KARYA-KARYA
MAX WEBER
Max Weber adalah salah satu tokoh sociologi yang
terkemuka, kebanyakan karya Max Weber sendiri tentu diwarnai dengan aplikasi
piawai metode historis Marx. Tetapi, Weber banyak mengemukakan karyanya dengan
berbagi kebiasaan protestan, Spirit
Of Capitalisme, semangat untuk bekerja. Sosiologi agama, ekonomi dan masyarakat,
Weber sebagi tokoh yang terfigur pada saat itu bahkan karyanya melesat ke
jerman timur, amerika, sampe ke mahasiswa-mahasiswi di berbagai kampus ( Weber
Max, 1989:13).
Berikut adalah karya-karya Max Weber sepanjang
dalam hidupnya yang berhasil penulis dapatkan dari berbagai sumber referensi
yaitu sebagai berikut:
1.
The
Protestant Ethic and The Spirit of Capitalism
Weber
mencurahkan perhatiannya pada gagasan dan pengaruhnya terhadap ekonomi. Dalam The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1958), Weber membahas
pengaruh gagasan keagamaan terhadap ekonomi. Ia memusatkan perhatian pada
Protestanisme terutama sebagai sebuah sistem
gagasan, dan pengaruhnya terhadap kemunculan sistem gagasan yang lain, yaitu
semangat kapitalisme, dan akhirnya terhadap sistem ekonomi kapitalis. Weber
mencurahkan perhatian serupa terhadap agama dunia yang lain, dengan mempelajari
bagaimana cara gagasan keagamaan itu merintangi perkembangan kapitalisme dalam
masyarakatnya masing-masing (Weber, 1951:195).
Weber
mengamati bahwa agama Kristen memberikan nilai yang positif terhadap dunia
material yang bersifat kodrati. Ia berpendapat bahwa meskipun orang Kristen
memiliki tujuan tertinggi di dunia lain, namun di dunia ini, termasuk
aspek-aspek material yang ada padanya dinilai secara positif sebagai tempat
untuk melakukan usaha-usaha yang aktif. Ia sendiri menemukan sikap
terhadap dunia material tersebut teramat kuat di kalangan orang-orang Kristen
Protestan ( Sudrajat, Ajat. 1994:41).
Menurut
Weber, sikap seperti itu erat hubungannya dengan salah satu konsep yang
berkembang di kalangan Protestan yakni konsep Beruf (Jerman), atau
mungkin lebih jelas dalam bahasa Inggris sering disebut Calling
(panggilan). Bagi dia, konsepsi tentang ”panggilan” merupakan konsep agama,
yang baru muncul semasa reformasi. Istilah ini tidak ditemukan sebelumnya dalam
lingkungan orang Katolik atau zaman purba, melainkan hanya ditemukan di
lingkungan Protestan. Lutherlah yang mengembangkan konsep ini pada dekade
pertama dari aktivitasnya sebagai seorang Reformator.
Lebih
jauh, Weber menjelaskan bahwa arti penting dari konsep panggilan dalam
agama Protestan adalah untuk membuat urusan-urusan biasa dari kehidupan
sehari-hari berada dalam pengaruh agama. ‘Panggilan’ bagi seseorang adalah
suatu usaha yang dilakukan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban terhadap
Tuhan, dengan cara perilaku yang bermoral dalam kehidupan sehari-harinya.
‘Panggilan’ merupakan suatu cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan,
dengan memenuhi kewajiban yang telah dibebankan kepada dirinya sesuai dengan
kedudukannya di dunia. ‘Panggilan’ adalah konsepsi agama tentang suatu tugas
yang telah ditetapkan Tuhan, suatu tugas hidup, suatu lapangan yang jelas di
mana seseorang harus bekerja (Sudrajat, Ajat.
1994:42).
Ajaran
Luther mengenai panggilan selanjutnya diteruskan oleh Calvin, meski tidak sama
persis. Bagi Calvin, dunia ada untuk melayani kemuliaan Tuhan dan hanya ada
untuk tujuan itu semata. Orang-orang Kristen terpilih di dunia hanya
dimaksudkan untuk memuliakan Tuhan dengan mematuhi firman-firman-Nya sesuai
dengan kemampuan masing-masing pribadi manusia. Akan tetapi, Tuhan menghendaki
adanya pencapaian sosial dari orang-orang Kristen sebab Tuhan menghendaki bahwa
kehidupan sosial dari orang-orang Kristen semacam itu harus dikelola menurut
firman-Nya. Aktivitas
sosial dari orang-orang Kristen di dunia ini adalah in majorem gloriam Dei
(semua demi kemuliaan Tuhan). Ciri ini kemudian dilakukan dalam kerja dalam
suatu panggilan hidup yang dapat melayani kehidupan duniawi dari masyarakatnya (Weber, Max.
2000: 158-159).
Weber menyatakan bahwa berbeda dengan
orang-orang Katolik yang melihat kerja sebagai suatu keharusan demi
kelangsungan hidup, maka Calvinisme—khususnya sekte-sekte Puritan—telah melihat
kerja sebagai panggilan. Kerja tidak sekedar pemenuhan keperluan tetapi sebagai
tugas suci. Penyucian kerja berarti mengingkari sikap hidup keagamaan yang
melarikan diri dari dunia (Sudrajat, Ajat. 1994:43).
Weber
mencoba memberi perhatian pada salah satu ajaran Calvinis yang memiliki
pengaruh yang cukup kuat bagi para pengikutnya, yaitu ajaran
mengenai predestinasi. Lewat ajaran predestinasi dikatakan bahwa Allah menerima
sebagian orang sehingga mereka dapat mengharapkan kehidupan, dan memberikan
hukuman kepada yang lain untuk menjalani kebinasaan. Calvin sendiri berpendapat
bahwa hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa yang dimaksudkan sebagai
dasar predestinasi adalah ‘Allah tahu segala hal dari sebelumnya.’ Dengan kata
lain, apabila kita menganggap bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum
waktunya, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa segala hal itu sudah sejak
kekal dan sampai kekal berada di hadapan Allah. Sebelum penciptaan, manusia
sebenarnya sudah ditentukan untuk diselamatkan atau dihukum. Sejak semula,
demikian Calvin, semua orang tidak diciptakan dalam keadaan yang sama. Oleh
karena itu, kita harus mengatakan bahwa dasar predestinasi bukanlah pada
pekerjaan manusia. Artinya, tidak ada satu pun manusia yang mampu mengubah
keadaan tersebut, dan tidak ada yang bisa menolong seseorang yang sudah
ditentukan bahwa ia akan dihukum setelah kematiannya sebab predestinasi adalah
keputusan Allah yang kekal dalam dirinya sendiri, tidak memperhitungkan sesuatu
yang berada di luar.
Weber
berargumentasi bahwa akibat dari ajaran tentang predestinasi bagi para pemeluk
Calvinis adalah adanya suatu kesepian di dalam hati mereka. Artinya,
mereka harus berhadapan dengan nasibnya sendiri yang telah diputuskan Tuhan
sejak awal penciptaan. Mereka harus berhadapan dengan takdirnya secara pribadi
dan tidak dapat memilih seseorang yang dapat memahami secara bersamaan firman
Tuhan, terkecuali hatinya sendiri. Dalam persoalan yang menentukan ini, setiap
orang harus berjalan sendirian saja, tidak seorang pun dapat menolong dirinya,
termasuk kaum agamawan. Tidak pula sakramen, karena sakramen bukanlah sarana
untuk memperoleh rahmat. Bukan pula Gereja, sebab bagaimanapun, keanggotaan
Gereja abadi mencakup mereka yang terkutuk. Akhirnya, bahkan Allah pun tidak
bisa membantu (Sudrajat, Ajat. 1994:58).
Kalau
demikian, bagi para pemeluk Calvinis, usaha untuk mencari identitas dirinya
yang pasti masih merupakan misteri yang belum terungkapkan. Sementara itu, ia
tetap terikat dengan berbagai aktivitas penghidupan dunia. Para pemeluk
Calvinis sadar bahwa adanya dunia adalah diciptakan untuk melakukan pemujaan
terhadap Tuhan, sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri. Begitu pula terpilihnya
orang-orang Kristen di dunia adalah untuk meningkatkan pemujaannya terhadap
Tuhan. Ini berarti bahwa orang Kristen harus mengikuti perintah-perintah-Nya
sesuai dengan kemampuannya yang paling baik. Tuhan sendiri mengajarkan agar
kehidupan sosial ini diatur sesuai dengan perintah-perintah-Nya. Aktivitas
sosial yang dilakukannya semata-mata diperuntukkan bagi kemuliaan Tuhan. Namun
demikian, hal yang paling penting dari aktivitas-aktivitas itu dilakukan dengan
dasar ’kerja dalam panggilan’ untuk melayani kehidupan masyarakat dunia.
Etika
Protestan adalah kekuatan di balik aksi massa yang tidak direncanakan
dan tidak terkoordinasi yang menyebabkan perkembangan kapitalisme.
Ide ini juga dikenal sebagai "tesis Weber". Weber menunjukkan bahwa semangat itulah tidak
terbatas pada budaya Barat bila kita menganggap itu sebagai sikap individu,
tetapi orang tersebut pengusaha heroik, karena ia menyebut mereka-tidak bisa
dengan sendirinya membentuk suatu tatanan ekonomi baru (kapitalisme). Yang
paling umum kecenderungan adalah keserakahan untuk mendapatkan keuntungan
dengan usaha minimal dan gagasan bahwa kerja adalah kutukan dan beban yang
harus dihindari terutama ketika itu melebihi apa yang cukup untuk hidup
sederhana (Parsons, Taloctt and Weber Max, 1930:5).
Implikasinya
adalah, pertama, setiap orang mempunyai suatu kewajiban untuk menganggap dirinya
sebagai orang terpilih. Ia harus menghilangkan semua sifat keragu-raguan karena
perasaan dosa. Bagi Calvin, adanya rasa kurang percaya kepada diri sendiri
merupakan akibat dari keyakinan yang kurang sepenuhnya. Adanya
sifat keragu-raguan terhadap kepastian pemilihan adalah bukti adanya keyakinan
yang tidak sempurna. Kedua, kegiatan duniawi yang sangat intens
merupakan sarana yang paling baik dan sesuai untuk mengembangkan dan
mempertahankan pemilihan. Weber berpendapat bahwa karena kecenderungannya
tersebut, maka dapatlah dimengerti mengapa orang-orang Calvinis dalam
menghadapi panggilannya di dunia memperlihatkan sikap hidup yang optimis,
positif, dan aktif (Sudrajat, Ajat. 1994:63-84).
Sekedar untuk mengulang, bukan doktrin
etis suatu agama, melainkan bentuk tingkah laku etis dimana pahala di
tempatkan yang menjadi persoalan, pahala semacam itu beroprasi melalui bentuk
dan kondisi manfaat penyelamatan masing-masing. Dan tingkah laku demikian
merupakan “etos” spesifik “seseorang” dalam arti kata sosiologis. Bagi
puritanisme, tingkah laku itu adalah suatu cara hidup rasional, metodis yang
pada kondisi tertentu melapangkan jalan pada “pembuktian” dari seseorang
dihadapan tuhan dalam pengertian mencapai penyelamatan yang bisa dijumpai dalam semua denominasi
Puritan dimiliki dalam satu agama, dan “membuktikan” diri dihadapan manusia
dalam pengertian memepertahankan diri seseorang secara sosial dalam sekte-sekte
Puritan. Kedua aspek itu merupakan tambahan yang saling menopang dan bergerak
dalam arah yang sama: mereka membantu melahirkan “semangat” kapitalisme modern,
ethos spesifiknya: etos kelas menengah borjuis modern (Max Weber,
2009:382).
Pada
intinya kemudian, "Spirit of Capitalism" Weber adalah efektif dan lebih
luas dengan Roh Rasionalisasi. Esai ini juga dapat diartikan sebagai salah satu kritik Weber Karl
Marx dan teori-teorinya. Sementara Marx diadakan, secara umum, bahwa semua
lembaga manusia termasuk agama – adalah berdasarkan fondasi ekonomi, Etika
Protestan ternyata teori ini di atas kepala dengan menyiratkan bahwa gerakan
keagamaan dipupuk kapitalisme, bukan sebaliknya. Spirit
kapitalisme Fitur, pertama, dan mungkin yang paling penting dari semangat
kapitalisme adalah bahwa itu diinvestasikan "Penghematan"
dengan signifikansi moral yang tinggi. Individu terlibat dalam
penghematan kapitalistik tidak hanya untuk kemanfaatan dari mencari nafkah, tetapi dengan
harapan bahwa kegiatan tersebut akan menguji sumber
daya batin dan dengan demikian menegaskan nilai moralnya ( Max Webe, 1905:15).
2. The Sociology of Religion, Economy and Society
Ekonomi Max Weber dan Masyarakat adalah risalah sosiologis terbesar
ditulis dalam abad ini. Diterbitkan secara anumerta di Jerman pada tahun
1920-an, telah menjadi bagian konstitutif dari imajinasi sosiologis modern. Ekonomi
dan Masyarakat adalah perbandingan ketat empiris pertama struktur sosial
dan perintah normatif di dunia-historis mendalam, mengandung bab-bab yang
terkenal pada aksi sosial, agama, hukum, birokrasi, karisma, kota, dan
masyarakat politik dengan dimensi kelas, status dan kekuasaan. Ekonomi dan Status
hanya risalah besar Weber untuk masyarakat umum berpendidikan. Hal itu
dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang luas, namun dengan caranya sendiri itu
adalah buku yang paling menuntut belum ditulis oleh seorang sosiolog. Ketepatan
definisinya, kompleksitas tipologi dan kekayaan konten historisnya membuat
pekerjaan tantangan berkesinambungan pada beberapa tingkatan pemahaman untuk
sarjana canggih yang meraba-raba karena rasa masyarakat, untuk mahasiswa pascasarjana
yang harus mengembangkannya kemampuan analisis sendiri, dan untuk sarjana yang
harus cocok akal dengan Weber (Max Weber, 2005:xii).
Isi
buku merupakan jawaban atas kegelisahan penulisnya mencari format rancang
bangun ekonomi Islam dalam Islam, perekonomian dan masyarakat dan dari beberapa
diskusi dengan ilmuwan dan profesor dalam bidang ekonomi Islam (Naqvi, 2003:xviii).
Buku ini ditulis beranjak dari keinginan untuk
menguraikan tentang bangunan ilmu ekonomi dalam Islam. Seperti apa yang ditulis
Naqvi bahwa tulisan ini menyajikan bagaimana ajaran Islam tentang ekonomi juga
terkait dengan etika universal dan bagaimana ekonomi Islam menjelaskan sejumlah pernyataan yang bersifat
feasible menyangkut perilaku orang-orang Islam refresentatif dalam sebuah
masyarakat Muslim riil hidup berkenaan dengan nilai-nilai ideal yang tertanam
dalam suatu personalitas yang jelas (Naqvi, 2003:xv).
Economy and Society Menurut Random House (1955:198) yang meminjam dari
buku besar Max Weber sosiolog Jerman, Wirtschaft and Gesellschaft atau
Economy and Society jelas bahwa ekonomi dianggap wilayah kecil yang merupakan
bagian dari wilayah besar masyarakat. Dengan perkembangan masyarakat yang makin
komplek, kehidupan ekonomi menjadi makin penting dan lama-kelamaan dalam sistem
(ekonomi) kapitalisme seakan-akan menjadi jauh lebih penting ketimbang
masyarakat sendiri. Meskipun di Indonesia semua orang menyadari krisis yang
kita hadapi sejak 1997 adalah krisis multidimensi (politik, ekonomi, budaya),
namun orang cenderung dengan mudah menyebutnya sebagai krisis ekonomi. Konotasi
ekonomi rupanya dianggap jauh lebih “menyeluruh” atau dianggap jauh lebih
penting ketimbang aspek-aspek kehidupan politik, sosial, budaya, bahkan moral.
Adapun alasan utama anggapan lebih pentingnya ekonomi ketimbang faktor-faktor
lain adalah karena sejak pembangunan ber-Repelita (1969), pembangunan ekonomi
berupa pertumbuhan ekonomi rata-rata 7% per tahun selama 30 tahun (210% secara
akumulatif), telah mengubah Indonesia secara “luar biasa” dari sebuah negara
miskin menjadi negara yang tidak miskin lagi.
Meskipun Max Weber mengetahui eksistensi ekonomi
Islam, dengan menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam merupakan hambatan bagi
kemajuan. Akan tetapi kesimpulan ini tidak terbukti benar dan kesimpulan Max
Weber ini terbantahkan oleh Chapra, dengan menyatakan bahwa “Hanya karena
faktor Islam-lah yang mampu menjawab permasalahan mengapa masyarakat Badui
mampu membangun peradaban begitu cepat”, (Adiwarman A Karim, 2004:19).
Mungkin
fakta bahwa negara-negara yang berpenduduk Muslim menunjukkan perkembangan dan
pertumbuhan ekonomi yang rendah, namun dibalik itu kita mungkin tidak serta
merta melupakan kejayaan kaum Muslimin beberapa abad yang lalu, sejumlah
sarjana seperti Toynbee (1957), Hitti (1958), Hodgson (1977), Baeck (1994) dan
Lewis (1995) menunjukkan bahwa Islam memegang peran yang positif dalam
pembangunan masyarakat Muslim. Sehingga sangat wajar jika Chapra mengeluarkan statement menamfik apa yang
disimpulkan oleh Weber tersebut. Maka, tidak berlebihan mungkin ketika disebutkan
bahwa sistem ekonomi Islam adalah satu-satunya golden ways untuk menuju
masyarakat humanis yang maju dan berkeadilan dalam bidang ekonomi (M. Abdul Karim, 2007:38).
Diawali
dengan penjelasan menyangkut ekonomi Islam yang membahas tentang perilaku
orang-orang Islam dalam suatu masyarakat Muslim yang khas, Naqvi mendefinisikan
ekonomi Islam adalah merupakan kebiasaan baru yang radikal dalam praktek
ekonomi hal ini didasarkan pada postulat bahwa praktek ekonomi Islam
bersentuhan dengan realitas masyarakat Islam dan pentingnya mengkaji perilaku
masyarakat Muslim serta menghubungkan perilaku para pelaku ekonomi dengan
masyarakat Muslim, hal ini dibutuhkan karena desakan untuk memasukkan secara
eksplisit nilai-nilai etik yang didasarkan pada agama dalam suatu frame work
analisis yang terpadu (Syed Nawab Haider Naqvi, 2003:19).
Sistem ekonomi Islam berbeda dari Kapitalisme,
Sosialisme, maupun Negara Kesejahteraan (Welfare State). Berbeda dari
Kapitalisme karena Islam menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap
buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Orang miskin dalam Islam
tidak dihujat sebagai kelompok yang malas dan yang tidak suka menabung atau
berinvestasi. Ajaran Islam yang paling nyata menjunjung tinggi upaya pemerataan
untuk mewujudkan keadilan sosial,
disejajarkan dengan Sosialisme, Islam berbeda dalam hal kekuasaan negara,
yang dalam Sosialisme sangat kuat dan menentukan. Kebebasan perorangan yang
dinilai tinggi dalam Islam jelas bertentangan dengan ajaran Sosialisme. Sementara ketegangan antara keyakinan dan
tanggung jawab bisa, pada kenyataannya, bekerja dalam praktek (dan Goldman
mungkin meremehkan argumen Weber pada tahun 1918 bahwa etika tanggung jawab dan
etika keyakinan harus memainkan "saling melengkapi" ketimbang peran
yang benar-benar bertentangan), Goldman tepat ketika ia mencatat bahwa Weber
tidak memiliki gagasan tentang bagaimana untuk memediasi konflik-konflik nilai
(Max Weber, 2004:62).
Akhirnya ajaran Ekonomi Kesejahteraan (Welfare
State), yang berada di tengah-tengah antara Kapitalisme dan Sosialisme,
memang lebih dekat ke ajaran Islam. Bedanya hanyalah bahwa dalam Islam etika
benar-benar dijadikan pedoman perilaku ekonomi sedangkan dalam Welfare State
tidak demikian, karena etika Welfare State adalah sekuler yang tidak
mengarahkan pada "integrasi vertikal" antara aspirasi materi dan
spiritual. Demikian dapat dinyatakan bahwa dalam Islam pemenuhan kebutuhan
materiil dan spiritual benar-benar dijaga keseimbangannya, dan pengaturan oleh
negara, meskipun ada, tidak akan bersifat otoriter Manusia sebagai wakil
(kalifah).
3.
Esay in Sociology
Max Weber penulis Kelas, Status,
Partai terus menjelaskan sifat intrinsik dari kelas dan bagaimana kelas,
kelompok status dan partai politik membentuk struktur masyarakat kita. Menurut
Weber tiga adalah, "fenomena distribusi kekuasaan dalam masyarakat."
Memang, esai, Kelas, Status, Partai yang ditemukan dalam berpotongan
Ketimpangan hanya dari 490 halaman buku yang berjudul, Dari Max Weber: Esai di
Sosiologi. Bagian yang dipilih, Kelas, Status, Partai rincian keinginan manusia
untuk kekuatan sosial dan bagaimana, melalui bentuk-bentuk tertentu kelas
kekuasaan tercapai. Weber berpendapat bahwa mengejar kekuasaan sosial pada dasarnya merupakan
upaya untuk memperoleh kehormatan sosial, Weber menyebutkan bahwa kekuasaan
tidak selalu mengarah untuk menghormati sosial dan menggunakan gagasan dari
Boss Amerika sebagai contoh. Namun, ia mengakui bahwa orang-orang yang dianggap
terhormat oleh masyarakat sering mendapatkan kekuatan sosial atau memiliki
kesempatan lebih besar untuk melakukannya (Max Weber, 2007:8).
Weber mengakui bahwa ilmu-ilmu
sosial harus berkaitan dengan fenomena spiritual atau ideal, sebagai ciri-ciri
khas dari manusia yang tidak berada dalam jangkauan bidang ilmu-ilmu alam. Akan
tetapi, pembedaan yang diperlakukan tentang subyek dan obyek tidak harus
melibatkan pengorbanan obyektivitas di dalam ilmu-ilmu sosial, atau pembedaan
yang menyertakan intuisi sebagai pengganti untuk analisis sebab-musabab yang
dapat ditiru. Menurut Weber, ilmu-ilmu sosial bermula dari suatu perasaan
bertanggungjawab atas masalah-masalah praktis, dan kemudian dirangsang oleh
rasa keharusan manusia memberi perhatian demi terjadinya perubahan sosial yang
diinginkan (Giddens, 1986:164).
Pindah kembali ke kehormatan sosial, yang Weber klaim adalah mengejar semua
orang, kelompok status adalah cara untuk mencapai kehormatan sosial tergantung
pada konvensi sosial dasar. Pada dasarnya
kelompok sosial adalah komunitas orang-orang yang berbagi gaya hidup yang sama
dan mengumpulkan komunal untuk merayakan gaya hidup yang mereka pilih.
Sementara ia berpendapat bahwa orang-orang dari kelas yang berbeda dapat
berbaur bersama dalam kelompok status kemungkinan seorang pekerja dermaga pergi
ke acara gala di sebuah country club jarang. Dalam kebanyakan kasus gaya hidup seseorang
ditentukan oleh status ekonomi mereka, namun alasan moneter tidak satu-satunya
metode untuk menciptakan gaya hidup.
Max Weber mengatakan sifat
obyektivitas merupakan usaha untuk menghilangkan kekacauan, yaitu yang menurut
Weber seringkali dianggap menutupi pertalian yang logis antara
pertimbangan-pertimbangan ilmiah dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Arah
tujuan tulisan-tulisan empiris dari Weber sendiri—yang tampak dalam Economy
and Society—menyebabkan suatu perubahan tertentu dalam penitikberatan di
dalam pendirian tersebut. Weber tidak melepaskan pendirian fundamentalnya
tentang pemisahan logis dan mutlak antara pertimnbangan-pertimbangan faktual
dan pertimbangan-pertimbangan nilai. Dengan demikian, sosiologi itu sendiri
berkaitan dengan perumusan dari prinsip-prinsip umum dan konsepsi-konsepsi
jenis umum yang ada hubungannya dengan tindakan sosial. Sebaliknya, sejarah
diarahkan ke analisis dan penjelasan sebab-musabab dari tindakan-tindakan,
struktur-struktur dan tokoh-tokoh yang khusus dan yang dalam segi budaya
memiliki arti penting (Giddens, 1986:168-178).
Aspek etnis atau budaya memiliki pengaruh besar pada gaya hidup seseorang,
yang pada gilirannya menentukan apa kelompok status yang mereka afiliasi,
dengan Ini adalah kelompok status etnis berbasis yang sering bekerja lebih pada
tradisi atau ritual dan di kalangan tertentu mengesampingkan kelompok lain atau
orang adalah tradisi umum dilakukan. Sementara kelompok status adalah
masyarakat tidak seperti kelas, pihak adalah bentuk yang lebih luas dari
masyarakat sebagai keterbatasan mereka tidak hanya berdasarkan berdiri ekonomi
atau etnis. Sebaliknya cara untuk mendapatkan
akses ke pesta adalah untuk berbagi cita-cita yang sama. Namun, partai
seseorang pilihan sering ditentukan oleh gaya hidup mereka atau status dan
situasi kelas mereka.
Di sisi lain, Weber dan Marx
tampaknya setuju untuk menolak idealisme Hegel, yang menyatakan bahwa di dunia
ada yang mendominasi, yaitu national spirit (folk spirit). Durkheim menyatakan
bahwa memang ada semangat tertentu dalam kelompok yang mengikat sehingga
menjadi unit analisis. Asumsi dasar Marx mengenai saling ketergantungan antara
pelbagai institusi dalam masyarakat juga ditekankan dalam fungsionalisme
Durkheim, Misalnya, pandangan keduanya mengenai pentingnya hasil tindakan yang
tidak dimaksudkan, yang sebenarnya bertentangan dengan hasil yang diharapkan.
Sebagai contoh tentang ini, dapat dilihat pula dalam pengaruh-pengaruh yang
tidak diharapkan dari investasi kapitalis yang dimaksudkan untuk meningkatkan
keuntungan, akan tetapi secara tidak disengaja mempercepat krisis ekonomi
(Johnson, 1986:163).
Hal ini tidak mengherankan bahwa
Weber memutuskan untuk tepat judul esainya, Kelas, Status, Partai karena urutan
di mana mereka saling terhubung satu sama lain adalah tepat bahwa: Kelas,
Status, Partai. Situasi kelas A seseorang niscaya akan menentukan status sosial
mereka dan karena status sosial terkait dengan gaya hidup, yang membentuk
cita-cita kebanyakan orang dan convicitions transisi dari status afiliasi ke
partai politik tertentu adalah perkembangan alam. Dan itu adalah bahwa
perkembangan alami, yang datang untuk membentuk dan struktur masyarakat secara
keseluruhan, sering penyemenan kelas, status, rumus partai.
4.
The Theory Sosioal and Economic and Organization
Pembahasan tentang organisasi dicantumkan Weber dalam
buku Economy and Society setelah
menguraikan apa itu tindakan sosial, relasi sosial, tindakan yang berorientasi,
legitimasi, dan relasi dalam asosiasi. Bagi Weber, ciri yang mencolok dari
relasi-relasi sosial adalah kenyataan bahwa relasi-relasi tersebut bermakna
bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya. Kompleksitas hubungan-hubungan
sosial yang menyusun sebuah masyarakat baru dapat dimengerti apabila mampu
dicapai sebuah pemahaman mengenai segi-segi subjektif dari tindakan-tindakan
sosial antara pribadi dari anggota masyarakat. Selanjutnya, khusus untuk
legitimasi, Weber menyebut bahwa ada tiga tipe legitimasi yaitu yang berbentuk
tradisional, kharismatik, dan legal/rasional. Penjelasan Weber tentang tindakan
sosial pada hakekatnya menunjuk kepada tindakan individual, dimana penjelasan
segala sesuatu tentang tindakan tersebut juga dicari dari diri si individual
tersebut.
Organisasi
birokrasi biasanya menaiki tumpuk kekuasaan berdasarkan suatu pemeringkatan
perbedaan ekonomi dan sosial. Sekurang-kurangnya perjenjangan ini bersifat
relatif, dan berkepentingan dengan signifikasi perbedaan sosial dan ekonomi
karna asumsi fungsi-fungsi administratif (Max Weber, 2009:268).
Tindakan sosial adalah suatu tindakan yang dilakukan
dengan mempertimbangkan perilaku orang lain. Weber menyatakan bahwa sosiologi
sebagai studi tindakan sosial antara hubungan sosial. Sebuah tindakan dianggap
sebagai tindakan sosial atau tidak tergantung dari ada atau tidaknya tujuan
dibalik tindakan tersebut. Sepanjang tindakan tersebut mempunyai arti
subyektifitas bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Tindakan manusia yang
menjadi perhatian mengandung makna subyektif, diarahkan kepada satu atau
beberapa orang, dan memperhatikan tindakan orang lain. Jadi, ia dapat sebagai
respon dari situasi atau tindakan orang, atau dapat juga karena mengharapkan
respon dari orang lain.
Weber
memilih bebagai “tipe” aneka tindakan bermotivasi. Tindakan-tindakan yang
tercakup dalam sifat kelaziman rasional ia nilai secara khas sebagai tipe yang
paling “bisa dipahami”, dan perbuatan “manusia ekonomis”. Jika pemikiran Weber
disempitkan dalam satu konsep saja, maka orang akan menyebut pada ”tindakan
sosial”. Inilah yang menjadi intisari dari sosiologi Weber.
Dalam buku Economy and Society Weber membahas bahwa tindakan sosial juga
terjadi dalam organisasi, dimana organisasi menjadi latar utama bagaimana
tindakan orang-orang. Artinya, meskipun tindakan sosial sering dipahami
dilatari semata oleh motivasi individu, di bagian buku ini Weber mengakui
kuatnya peran pihak luar yang berperan menentukan dan membatasi tindakan
seorang atau sekelompok individu. Pemikiran ini sedikit banyak memiliki kesejajaran
dengan cara berfikir Durkheim, dimana masyarakat – atau struktur - lah yang
menentukan bagaimana perilaku manusia. Weber, perilaku orang dalam organisasi dipengaruhi oleh karakter spesifik
atau prosedur dalam organisasi dimana mereka berada. Apa yang disebut dengan
”tindakan organisasi” adalah: (1) tindakan staf yang dilegitimasi oleh pihak
eksekutif atau oleh mereka yang memiliki kekuatan representatif dan ditujukan
untuk mencapai tujuan organisasi; dan (2) tindakan anggota organisasi sebagaimana
diarahkan oleh staf. Disini terlihat bahwa tindakan yang dilakukan ditentukan
oleh aturan organisasi. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa individu luruh
dalam apa keinginan dan batasan yang dibuat organisasi. Individu tidak lagi sebagai
aktor yang bebas belaka
(Max Weber, 2009:67).
Bagaimana kondisi yang melingkupi dan tujuan dari
tindakan individu dipaparkan Weber dalam berbagai bentuk sesuai dengan tipe dan
jenis organisasi yang melingkupi orang bersangkutan. Tindakan organisasi
misalnya terjadi baik di komunal ataupun asosiasi, dimana komunal dan asosiasi
yang tertutup merupakan organisasi. Seseorang yang melakukan tindakan
organisasi disebut Weber dengan ”person in authority”. Segala tindakannya
mewakili organisasinya, karena ia adalah representatif dari organisasi di
belakangnya. Sebuah organisasi dapat
berupa autonomus bila aturan-aturan dalam organisasi dibuat oleh anggotanya
sendiri, dan disebut heteronomus bila aturan ditetapkan oleh pihak luar. Dalam
hal bagaimana pemilihan kepemimpinan atau pengurus, disebut sebagai autocephalous bila
dipilih dari anggota sendiri secara internal dan heterocephalous bila pimpinan
ditetapkan oleh pihak luar. Organisasi-organisasi yang hidup di masyarakat
merupakan kombinasi dari kedua dimensi tersebut.
Tindakan-tindakan
yang kurang “rasional” oleh Weber
digolongkan, kaitannya dengan pencarian “tujuan-tujuan absolut”, sebagai
berasas sentimen berpengaruh (affectual sentiments), atau sebagai
“tradisional”, Tindakan sosial yang
lebih menjadi objek perhatian dalam sosiologi adalah tindakan yang terjadi
secara berpola sehingga dapat diprediksi. Pola tersebut salah satunya dibentuk
karena adanya aturan. Keteraturan dalam asosiasi ditegakkan dalam dua cara
yaitu dengan kesepakatan sukarela atau ditentukan. Pada bagian relasi
komunal dan relasi asosiatif, Weber menjelaskan bahwa relasi sosial disebut
sebagai “komunal” jika orientasi tindakan sosialnya didasarkan pada perasaan
subjektif kelompok (parties). Sementara relasi sosial disebut asosiasi apabila
tindakan sosial yang dijalankan didasarkan pada motivasi yang rasional yang
sejajar dengan kesepekatan yang sudah dibuat. Orientasi itu sendiri dapat
bersifat rasional nilai atau rasional pengharapan. Kedua tipe tindakan ini
dapat dijalankan dalam relasi sosial yang terbuka atau tertutup. Relasi sosial
yang tertutup atau mambatasi pihak luar disebut dengan organisasi jika regulasi
tersebut didasarkan atas wewenang pihak tertentu yaitu pimpinan organisasi
bersangkutan, yang mana wewenang tersebut diperoleh karena posisinya sebagai
perwakilan dari anggota
(Max Weber, 2009:67-68).
Organisasi merupakan salah satu fenomena sosial yang
tidak bisa lepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Oleh karena itu, manusia
tidak bisa menolak kehadiran organisasi dalam kehidupannya. Organisasi membatasi
sekaligus membentuk (govern) tindakan sosial. Dengan kesadaran ini, maka
mempelajari tindakan sosial individu dengan mempertimbangkan apa dan dimana
organisasi yang melingkupinya, akan sangat mempermudah pemahaman.
Weber juga menyebutkan bahwa sebuah organisasi
dipengaruhi lingkungan masyarakat tempat dimana ia berada, sehingga menjadi
organisasi teritorial. Konsep tekanan (imposed) yang dirasakan organisasi
tumbuh dari aturan-aturan yang bersifat mayoritas. Seseorang – dan juga
organissi - yang lahir dan besar di satu wilayah, otomatis berada dalam tekanan
dari ”organisasi” masyarakat di sekitarnya, untuk bertindak sebagaimana
diinginkan. Disini terlihat ada kesamaan dengan pemikiran Durkheim, dimana ada
tekanan organisasi politik yang mewarnai suatu masyarakat. Sebuah organisasi
yang formal sekalipun menghadapi banyak kekuatan luar yang menekannya.
Organisasi
birokrasi biasanya menaiki tampuk kekuasan berdasarkan suatu pemeringkatan
perbedaan ekonomi dan sosial. Sekurang-kurangnya penjenjangan ini bersifat
relatif, dan berkepentingan dengan signifikansi perbedaan sosial dan ekonomi
karena asumsi fungsi-fungsi administratif. Pada bagian lain pemikirannya, objek
tentang organisasi ini diperluas Weber ketika membicarakan birokrasi. Weber menyebutkan bahwa birokrasi adalah suatu bentuk organisasi yang lebih
matang dimana seluruh aktivitasnya dijalankan menurut prinsip-prinsip
rasionalitas. Hal ini berperan terhadap kapitalisme, dimana tumbuhnya
organisasi birokrasi di Eropa bersamaan dengan revolusi industri. Organisasi
birokrasi dijalankan dengan prinsip rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan
ekonomis. Otoritas dan kekuasaan yang syah digunakan untuk mengontrol pihak
lain yang berada di bawahnya
(Max Weber, 2009:268).
Dalam menjelaskan berbagai bentuk organisasi, Weber
memandang lingkungan organisasi sebagai sesuatu yang penting. Lingkungan
organisasi adalah sesuatu yang eksternal, berada di luar organisasi, namun
mempunyai hubungan dan berpengaruh secara timbal balik terhadap organisasi.
Itulah kenapa dalam tipe-tipe yang diajukan Weber ada heteronomus dan
heterocephalous, juga adanya organisasi politik yang memberi pengaruh terhadap
organsisasi di wilayah tertentu. Dari penjelasan ini terlihat bahwa organisasi
adalah juga seorang aktor yang tindakan-tindakannya tergantung kepada kondisi
sosial dimana ia hidup. Lebih jauh kemudian, organisasi dengan beragam tipenya,
merupakan lingkungan yang membatasi dan menekan tindakan sosial yang dijalankan
individu yang menjadi anggota dari organisasi tersebut.
Dengan kata lain, tindakan organisasi adalah juga
suatu tindakan sosial individu namun terjadi pada level yang berbeda. Beberapa
atribut dan penjelasan untuk tindakan sosial individu dapat pula diaplikasikan
secara terbatas dalam menjelaskan tindakan organisasi, tentunya dengan
penyesuaian-penyesuaian tertentu.
5.
General
Economi History
Pekerjaan akhir dari ilmuwan sosiolog besar, ekonom,
dan politik dimulai dengan deskripsi dan analisis dari sistem agraria, dan
kemudian mengeksplorasi sistem bangsawan, serikat pekerja, dan kapitalisme
awal, organisasi industri dan pertambangan, pengembangan perdagangan, syarat
teknis untuk mengangkut barang, sistem perbankan, evolusi kapitalisme dan
semangat kapitalistik.
Bahkan jika makna aslinya sudah lama terlupakan. Situasi inisial dapat digantikan hanya sangat
lambat. Sejarah ekonomi memiliki karena itu untuk menangani dengan non-ekonomi
elemen. Di antaranya adalah: magis dan religious elemen-yang berjuang
untuk barang salvational, politik unsur-the berjuang untuk kekuasaan, dan unsur-unsur dari status sosial-yang berjuang
untuk kehormatan.
Hari ini ekonomi adalah, sejauh bahwa itu adalah komersial ekonomi, sebagian
besar ekonomi otonom: berorientasi hanya untuk ekonomi perspektif dan dengan
tingkat tinggi rasionalitas diperhitungkan. Tetapi irasionalitas bahan
yang kuat terus-menerus mengganggu ke kondisi ini rasionalitas formal, yang timbul terutama dari distribus pendapatan, yang sampai
batas tertentu (dilihat dari sudut pandang yang 'Penyediaan optimal komoditas') mengarah pada material irasional distribusi barang, dan
juga dari dalam negeri dan spekulatif antarests yang, dari perspektif
perusahaan komersial, irra- internasional di alam. Namun perekonomian tidak hanya domain budaya atas mana perjuangan
rasionalitas formal dan material dimainkan keluar. Hal yang sama juga berlaku domain hukum, di mana secara formal
applica-tion dari bentrokan hukum dengan rasa keadilan materi.
Weber
berpendapat bahwa oikos klasik adalah ciptaan kuno akhir, dan tidak
harus diidentifikasi dengan masyarakat kuno pada umumnya. Kemudian kuno diikuti oleh periode regresi untuk
'ekonomi alami', berhasil dari sekitar abad kesepuluh oleh pertumbuhan
konsumsi, munculnya industri kerajinan, dan pembentukan kota-kota baru. Itu Argumen sehingga tidak hanya pindah ke aktivitas 'industri' mengikuti pengobatan
'kegiatan pertanian' dalam bab pertama, melainkan memperlakukan kegiatan seperti bagian fungsional dari householding, kontinyu dengan argumen sebelumnya terkena. Namun, hanya ketika batas
kebutuhan rumah tangga melampaui bahwa sesungguhnya potensi manufaktur
menjadi jelas, karena barang bisa pro-diproduksi untuk pertukaran. Di sini
sekali lagi, Weber tidak pernah
menyimpang jauh dari sosial organisasi kegiatan ekonomi-serikat regulasi
craftproduction diperkenalkan, meskipun sistem ini pada gilirannya cepat
membedakan menjadi struktur yang lebih kompleks mengintegrasikan berbagai
tahapan produksi dan pertukaran. Out of this lokakarya dan pabrik awal muncul (Max Weber, 2006:7).
Bab ketiga kemudian menguraikan bentuk-bentuk yang
menghubungkan berbagai bagian dari, semakin dibedakan tapi masih sistem pra-kapitalis, produksi-uang dan
pengembangan trade. Exchange requiresthe lembaga khusus untuk mentransfer dan mengamankan hak, serta fisik
mengangkut mereka dari satu tempat ke tempat lain. Pasar dan pameran,
serikat pedagang, uang bentuk, kredit dan bunga, dan akhirnya muncul bank.
Jaringan ini pada gilirannya membuat mungkin munculnya perusahaan abadi, yang timbul dari commenda sebagai
pertama berupa 'hubungan asosiatif', dari Vergesellschaftung, yang Struktur membuat bentuk dasar atau akuntansi modal yang diperlukan. Di sini
untuk Misalnya Weber mengacu pada studi doktoralnya pada 1880-an nanti. Dalam
bab keempat dan terakhir sekarang mungkin untuk memperhitungkan Munculnya
kapitalisme modern-didefinisikan sebagai suatu sistem pertukaran dalam yang penyediaan
untuk kebutuhan kelompok manusia terpenuhi melalui berfungsi dari perusahaan,
bukan oleh rumah tangga. Ini masuk-prises yang rasional, lembaga kapitalis
untuk tingkat yang mereka memanfaatkan akuntansi modal untuk menentukan
profitabilitas alternatif eko-ekonomi employments. Sementara berbagai bentuk
kapitalisme dapat ditemukan dalam semua periode-nya tory, penyediaan kebutuhan sehari-hari dengan cara kapitalis adalah unik untuk Barat, dan bahkan di sini hanya
menjadi khas sejak paruh kedua dari abad kesembilan belas (Max Weber, 2006:8).
6.
Religionasseziologie
(Sociologi of Religion)
Max Weber dalam buku ini menjelaskan bagaimana agama
memainkan faktor fundamental dalam developement ekonomi dalam masyarakat yang
berbeda. Buku ini terdiri tiga esai menjadi yang terakhir yang paling menarik
karena Weber menceritakan perjalanan apa yang harus Amerika Serikat di mana
Protestanisme dalam denominasi yang berbeda membantu dalam pembangunan. Juga
dalam perjalanan buku kita dapat menemukan beberapa konsep tentang kekuasaan,
negara, rasionalitas ekonomi
Setidaknya bagi saya adalah pekerjaan yang baik dan apakah Anda ingin tahu
tentang sosiologi, sosiologi baik saya sarankan Anda buku ini.
Tema pokok sosiologi agama Weber adalah gagasan
tentang rasionalisasi. Rasionalisasi adalah suatu proses yang menjadikan
aturan-aturan dan prosedur-prosedur dapat dikalkulasikan secara eksplisit dan
intelektual, disistematisasi dan dispesifikasikan, dan langsung menggantikan
sentimen dan tradisi. Rasionalisasi juga menunjukkan suatu bentuk kontrol
normatif, suatu bentuk kekuatan legitimate yang oleh Weber disebut dengan
“otoritas legal rasional”. Weber mendefinisikan model legitimasi ini sebagai
“model yang didasarkan pada keyakinan atas legalitas pola-pola aturan normatif
dan hak orang-orang yang menduduki otoritas dimana di bawah aturan tersebut ia
mengeluarkan perintah. Weber mempertentangkan bentuk dominasi legitimate ini
dengan “otoritas tradisional” dan “karismatik”. Pusat untuk ide Weber tentang perubahan agama dan sosial adalah
"integrasi dan perbedaan antara sistem ekspektasi yang dilembagakan dalam
perintah normatif dan pengalaman yang sebenarnya orang menjalani" atau, dengan kata lain,
studi sosiologis apa yang orang menafsirkan menjadi konsekuensi bagi diri
mereka sendiri dan aspek dari kondisi manusia yang mereka terpisah dalam
kaitannya dengan kesesuaian atau ketidaksesuaian dengan perintah normatif
didirikan. Ketegangan dasar adalah bagaimana Weber mendefinisikan dan
menganalisis perkembangan perubahan sosial dan agama dalam suatu masyarakat
tertentu dan munculnya berikutnya dari 'terobosan' (Max Weber, 1991:vi).
Rasionalisasi sebagai tipe ideal dan sebagai kekuatan
sejarah muncul dalam banyak tulisan-tulisan Weber. Dia menganggap pengembangan
bentuk-bentuk rasional untuk menjadi salah satu karakteristik yang paling
penting dari perkembangan masyarakat Barat dan kapitalisme. Weber dilihat
bentuk-bentuk tradisional dan karismatik sebagai tidak rasional, atau
setidaknya non-rasional. Yang terakhir ini mungkin mengandalkan agama, magic,
atau supranatural sebagai cara untuk menjelaskan dunia sosial dan otoritas juga
dapat berasal dari ini. Ini mungkin tidak memiliki bentuk yang sistematis
pembangunan, tapi mungkin bergantung pada personal, wahyu wawasan, emosi dan
perasaan, fitur yang non-rasional dalam bentuk. Sebaliknya, rasionalitas terdiri dari seperangkat tindakan sosial yang
diatur oleh alasan atau penalaran, perhitungan, ditambah mengejar rasional
kepentingan seseorang. Rasionalitas membentuk sebagian besar dari
rasional-hukum otoritas dan ada beberapa karakteristik yang Weber menganggap
sebagai aspek rasionalitas (Ritzer, 1999:124-125).
Pada
awal karyanya, Weber berhati-hati untuk negara, "adalah The esensi agama
bahkan perhatian kami, karena kami membuat tugas kita untuk mempelajari kondisi
dan pengaruh dari jenis tertentu dari perilaku sosial" Dia hanya. ingin
mendekati studi agama dari sudut pandang 'subyektif' atau dari sudut pandang
perilaku agama itu "berarti." la mencanangkan bahwa agama rasional
termotivasi oleh 'aturan pengalaman' dan karenanya tidak boleh terlepas dari
berbagai perilaku sehari-hari, "terutama karena bahkan ujung tindakan
religius dan magis sebagian besar adalah ekonomi". Di sini, melalui
kekuatan yang luar biasa yang dirasakan yang ia gambarkan sebagai karisma,
memulai proses abstraksi berdasarkan pengalaman di mana mereka yang
dirasionalisasi, dilambangkan, dan stereotip dalam hukum agama dan, setelah
refleksi lebih lanjut, menjadi spesialisasi tujuan dewa dan numina yang
menyebabkan imam . Roh-roh mencerminkan
prinsip-prinsip tertentu agar, yang berkembang menjadi lampiran etika individu
untuk kosmos kewajiban. Magic dan pujian berkembang menjadi ketaatan kepada
hukum agama. Tabu berubah menjadi sistematisasi etika dan immergence irasional
harapan untuk keselamatan. Nubuat dan imamat bekerja untuk menghasilkan
pemusatan etika bawah naungan keselamatan agama (Max Weber, 1991:1).
Dinamika ini dimainkan berbeda dalam kelas-kelas
politik, sosial, dan ekonomi berbeda. Agama tertentu yang dikembangkan di
lingkungan perkotaan, sementara yang lain kebanyakan agraria. Kepentingan
proletar cenderung lebih rasional dan kebencian display sementara konsep dosa
dan keselamatan cenderung tidak ditemukan di kalangan elit politik tetapi
digunakan untuk kontrol politik dan legitimasi. Kelas menengah cenderung ke arah
agama rasional jemaat etis. Masyarakat politik dan etika berbaur dengan dewa lepas dari koneksi politik
menjadi kekuatan universal dan etika dan ekonomi bentrokan rasionalisasi
mengakibatkan penolakan 'dunia' dan terutama kegiatan ekonomi. Seks dan seni
juga ditentukan melalui rasionalisasi etika mengakibatkan permusuhan indikasi
dari setiap agama otentik keselamatan.
Pendekatan Weber pada dasarnya evolusi yang
mencerminkan kali di mana dia tinggal dan menulis. Saya merasa penting bahwa
ia, seperti Durkheim, keduanya kehilangan pengaruh bahwa ilmu pengetahuan akan
bermain di kedua masyarakat dan agama meskipun mereka berdua digunakan untuk
beberapa derajat model evolusi disediakan oleh ilmu pengetahuan. Bagaimanapun,
saya menemukan tiga basis otoritas atau legitimasi (karisma, tradisionalisme,
dan rutinisasi) menjadi wawasan. Meskipun bisa dilihat sebagai suatu penyederhanaan, proses ini tampaknya menjadi lazim dalam bentuk sebagian
besar aspek agama dan politik. Saya tidak begitu yakin bahwa "aturan
birokrasi tidak dan tidak hanya beragam dari otoritas hukum", tapi di dunia sejarahnya ini tampaknya
menjadi model bagi masyarakat Barat (Max
Weber, 1991:299).
Menurut pea (2008:59) kaum puritan ajaran
calvinisme, ajaran ibu dari Teori-teori Max Weber mengatakan bahwa etos kerja
terdapat lima konsep yaitu:
1. Pengintegrasian antara kehidupan bekerja dan kehidupan beragama
menjadi satu kesatuan hidup yang kudus bagi tuhan.
Setiap pekerjaan yang dilakukan dibuatnya
menjadi sebuah arena guna memuliakan dan mentaati tuhan serta untuk
mengungkapkan kasih melalui pekerjaannya kepada sesama manusia.
2.
Pekerjaan
sebagai sebuah “panggilan (calling)”
Kaum puritan bahwa setiap umat kristen memiliki
panggilan kerja tertentu yang khusus baginya. Setiap upaya yang dilakukan
seseorang untuk memenuhi panggilan tersebut melakukan bukti ketaatan kepada
tuhan.
3.
Motivasi dan
upah kerja
Upah
dari pelaksanaan sebuah panggilan kerja harus bersifat rohani dan memiliki
nilai moral, yakni untuk memancarkan kemuliaan tuhan dan bermanfaat bagi
kepentingan publik.
4. Sukses dalam pekerjaan merupakan anugrah Tuhan, bukan
hasil upaya kita.
Calvinisme tidak mengajarkan pada kekuatan
diri, seperti konsep-konsep etos kerja akan tetapi calvinisme mengajarkan
konsep tentang anugrah di dalam teori etos kerjanya yaitu apapun hasil imbalan
yang kita terima dari pekerjaan kita, maka hal itu merupakan bentuk karunia
anugrah dari tuhan.
5.
Moderasi
terhadap pekerjaan
Kaum
puritan
menilai pentingnya untuk mempertahankan posisi antara hidup bermalas-malasan di
satu sisi dan hidup diperbudak oleh pekerjaan dilain sisi. Kaum puritan membuat
pekerjaan sebagai tanggung jawab pribadi sekaligus kewajiban didalam kehidupan
sosial mereka sebagai umat tuhan.
METODOLOGI
PENELITIAN
Metode penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang cara penelitian ilmu alat-alat
dalam suatu penelitian. Oleh karena itu
metode penelitian membahas tentang konsep teoritis berbagai metode,
kelebihan dan kelemahan yang dalam suatu karya ilmiah. Kemudian dilanjutkan
dengan pemilihan metode yang akan digunakan dalam penelitian nantinya.
Metode penelitian dalam skripsi ini
adalah sebagai berikut:
A. Obyek dan Waktu Penelitian
Obyek
penelitian penulisan ini adalah:
1.
Work Ethic
Protestan dalam buku The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (1958).
2. Spirit of Capitalism dalam buku The protestant Ethic and The Spirit of Capitalism, (2000).
3. Perubahan ekonomi Masyarakat dalam buku Economy
and Society, (1914).
4. Tindakan sosial dalam buku Esay in
Sociology, (1946).
5. Teori ekonomi dengan Tindakan sosial dalam
organisasi dalam buku The Theory and Economy and Organization, (1947).
6.
Sosiologi agama dalam buku Religionasseziologie
(Sociologi of Religion), (1991).
Waktu penelitian untuk penulisan skripsi ini berlangsung pada tanggal 01 Januari sampai dengan 01 Mei 2013, melalui berbagai
referensi buku beserta literatur-literatur yang bersangkutan dengan skripsi
ini.
B.
Jenis
Penelitian dan Pendekatan
39
|
C.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yakni membicarakan
tentang bagaimana cara penulis mengumpulkan data. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan Metode Dokumentasi. Menurut (Riyanto, Yatim. 1996:83), Dokumentasi berasal
dari kata dokumen, yang berarti barang tertulis, metode dokumentasi berarti
cara pengumpulan data dengan mencatat
data-data yang sudah ada dari pemikiran Max Weber The Spirit of Capitalis semangat
kerja dengan etos kerja guru dalam pembelajaran IPS.
Adapun metode dokumen yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah buku-buku, jurnal, majalah-majalah, internet, pemikiran-pemikiran tokoh yang berhubungan langsung dengan penelitian skripsi, pemikiran tokoh sosiologi yaitu Max Weber,
yang menuangkan pemikiran Spirit of Capitalisme, semangat bekerja yang
mampu mengimplemntasikan dalam kalangan calvinisme. Adapun tehnik yang penulis
terapkan diantaranya:
•
Teknik Library
Research (kepustakaan) yakni mengumpulkan
data-data dari beberapa referensi diantaranya buku, jurnal, dan lain-lain yang
mampu mendukung penulisan dalam skripsi.
•
Teknik Deduktif, yakni proses analisis yang menngunakan penjelasan-penjelasan yang
bersifat umum, menuju kearah penjelasan-penjelasan yang bersifat khusus.
•
Teknik Induktif, yakni proses analisis yang menggunakan penjelasan-penjelasan yang
bersifat khusus, kearah penjelasan yang bersifat umum.
•
Teknik
Komperehensif, teknik yang menggabungkan unsur
deduktif dan unsur induktif.
D.
Teknik Analisis
Data
Analisis data adalah upaya yang
dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data,
memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan
memutuskan apa yang dapat disampaikan kepada orang
lain.
Adapun langkah-langkah dalam tehnik
analisis data dalam penelitian ini
adalah:
1. Reduksi Data
Reduksi Data dalam analisis
data penelitian kualitatif, menurut Miles
& Huberman (1992:
16) sebagaimana ditulis Malik diartikan
sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan
tertulis di lapangan, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting
terhadap isi dari suatu data yang
berasal dari referensi buku-buku, sehingga data
yang telah direduksi dapat memberikan gambaran yang lebih tajam tentang hasil
pengamatan. dalam proses reduksi data ini, peneliti dapat melakukan
pilihan-pilihan terhadap data yang hendak dikutip,
mana yang dibuang, mana yang merupakan teori.
Dengan cara sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan finalnya
dapat ditarik dan diverifikasi.
2. Display Data
Display data dalam perspektif Max Weber tentang etos kerja guru merupakan proses menampilkan data secara sederhana dalam bentuk
kata-kata, kalimat naratif, dengan maksud agar data yang telah dikumpulkan
dikuasai oleh penulis sebagai dasar untuk mengambil kesimpulan
yang tepat.
3. Verifikasi dan Simpulan
Sejak
awal pengumpulan data dalam perspektif Max Weber tentang etos kerja guru, peneliti harus membuat simpulan-simpulan sementara. Dalam tahap
akhir, simpulan-simpulan tersebut harus dicek kembali (diverifikasi) pada
catatan yang telah dibuat oleh peneliti dan selanjutnya kearah simpulan yang
mantap. Menarik suatu kesimpulan ini dilakukan oleh peneliti melalui data-data
yang terkumpul dan kemudian kesimpulan tersebut akan diverifikasi atau diuji
kebenarannya dan validitasnya (Silalahi, 2006:313).
BAB IV
HASIL
PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Perspektif
Max Weber tentang Etos Kerja
Etos kerja yang didalamnya terkandung gairah kerja
yang kuat untuk mengerjakan sesuatu
secara optimal, lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas
kerjanya sesempurna mungkin Studi ini
mengartikan etos kerja sebagai nilai-nilai yang diyakini sebagai cita-cita
ideal tentang kerja, yang diwujudkan dalam kebiasaan kerja sehari-hari. Sedangkan
semangat kerja merupakan refleksi dari.
Menurut Soebagio bahwasanya Etos kerja adalah sikap
kehendak seseorang yang diekspresikan lewat semangat yang didalamnya termuat
tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai tertentu. Myrdal lebih jauh mengemukakan
pula bahwa etos kerja merupakan sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab
moralnya: (1) kerja keras, (2) efisiensi, (3) kerajinan, (4) tepat waktu, (5)
prestasi, (6) energetik, (7) kerja sama, (8) jujur, (9) loyal. Etos kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai
sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja
ini yaitu meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang
telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan ( Soebagio Atmowirio, 2000:214).
Toto
Tasmara (2002:10) mengatakan Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya
serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada
sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal
sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan
makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan
beberapa hal penting seperti:
a.
Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik
waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
42
|
b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
c.
Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
d.
Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga
bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e.
Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah
kreativitas diri.
Menurut Al Hayath kerja dalam pengertian luas
adalah semua usaha yang dilakukan manusia dalam hal materi maupun non materi,
intelektual, fisik. Serta hal yang berkaitan dengan keduniaan dan keakheratan.
Dalm hal ini kerja dikaitkan dengan kemaslahatan, sedangkan kerja dalam
pengertian khusus adalah tiap potensi yang dilakukan manusia untuk memenuhi
tuntutan hidup berupa makan, fisik tempat tinggal dan peningkatan tahap hidup
pada umumnya (Abdul Aziz Al Khayyath 1974 13-22).
Etos
itu didasarkan kepada tradisi, adat, kebiasaan, rumusan akal atau kebebasan
(Hamzah Ya’kub, 1992: 1).
Bekerja adalah fitrah dan sekaligus merupakan
salah satu identitas manusia, sehingga bekerja yang didasarkan pada prinsip-prinsip
iman tauhid, bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, tetapi sekaligus
meninggikan martabat dirinya (Toto Tasmara, 1995: 2).
Apabila bekerja itu adalah fitrah manusia,
maka jelaslah bahwa manusia yang enggan bekerja, malas dan tidak mau
mendayagunakan seluruh potensi diri untuk menyatakan keimanan dalam bentuk amal
kreatif, sesungguhnya dia itu melawan fitrah dirinya sendiri, menurunkan
derajat identitas dirinya sebagai manusia, untuk kemudian runtuh dalam
kedudukan yang lebih hina dari binatang (Toto Tasmara, 1995: 172).
Dengan demikian tampaklah bahwa “bekerja” dan
kesadaran jiwa mempunyai dua dimensi yang berbeda menurut takaran seorang
muslim, yaitu bahwa makna dan hakekat “bekerja” adalah fitrah manusia yang
secara niscaya, sudah seharusnya demikian (conditio sine quanon).
Manusia hanya bisa memanusiakan dirinya lewat bekerja. Sedangkan kesadaran
bekerja akan melahirkan suatu improvements untuk meraih nilai yang lebih
bermakna, dia mampu menuangkan idenya dalam bentuk perencanaan, tindakan, serta
melakukan penilaian dan analisa tentang sebab dan akibat dari aktivitas yang
dilakukannya, manusia disinalah mempunyai peran apalagi itu kedudukanya sebagai
guru haruslah mempunyai etos kerja yang baik, etos kerja guru mampu dibentuk
dengan sendiri akan tetapi ada yang lebih membentuknya dari segi intern,
ekstern, seperti kepala sekolah, guru-guru lainya.
Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat
dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia pendidikan yang ada di
Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi sekolah
mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses
pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai.
Dengan begitu bangsa Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa
maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Menurut Nurcholis Madjid (2005:15) etos ialah
karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat
khusus tentang seorang individu atau seklompok manusia. Dan dari kata etos
muncul pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna akhlak bersifat
akhlaqi yaitu berkualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia
termasuk suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang
dari padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni
etika.
Sedangkan Max Weber mengartikan bahwa Etos
kerja adalah sebuah nilai bebas (values free). Secara normatif
(institusional) etos kerja dapat dirumuskan dalam visi, misi, tujuan,
kebijakan, dan program organisasi sebagai
pattern for behavior. Refleksi
konkrit etos kerja dapat dilihat dari semangat kerja atau spirit kerja,
dan bukan ritual kerja atau
pokoknya bekerja. Semangat kerja
melahirkan budaya kerja sebagai pattern of behavior.
Konsep etos kerja sangat berkait dengan
masalah sikap mental. Sebagaimana Magnis
(1978:31) pernah menjelaskan bahwa etos kerja merupakan sikap kehendak
yang ada hubungan erat dengan tanggung jawab moralnya. Etos kerja adalah sikap
mental (moral), walaupun keduanya tidak identik. Perbedaannya bahwa sikap
mental (moral) menegaskan orientasi pada norma sebagai standar yang harus di ikuti dalam bertindak,
sedangkan etos kerja lebih menegaskan sikap itu sudah mantap dan inheren dalam.
mempengaruhi tindakan seseorang atau
sekelompok orang. Dengan demikian, etos kerja birokrasi mengungkapkan semangat
dan sikap batin yang tetap dari seseorang atau sekelompok orang dalam
birokrasi, sejauh di dalamnya termuat tekanan dan nilai-nilai moral tertentu.
Etos kerja birokrasi dapat dipandang sebagai faktor yang meresap dalam
kompleksitas kebudayaan tertentu dalam birokrasi sehingga menciptakan koherensi
antar berbagai unsur yang menjiwainya dan menimbulkan struktur perilaku dengan
identitas tertentu. Adapun sikap mental selalu berkait dengan nilai-nilai yang
menjadi landasan etos kerja birokrasi. Nilai-nilai yang dianut dapat berasal
dari berbagai sumber antara lain agama, filsafat dan kebudayaan. Nilai-nilai
mana yang dominan menimbulkan etos kerja birokrasi yang tinggi sangat
ditentukan oleh proses adopsi, adaptasi dan penghayatan orang, kelompok orang
atau masyarakat dalam birokrasi terhadap nilai-nilai yang diyakininya baik dan
benar.
Dalam karyanya Weber menjelaskan bahwa ada kaitan antara perkembangan suatu
masyarakat dengan sikap dari masyarakat itu terhadap makna kerja.
Menurut pengamatan Weber dikalangan sekte Protestant Calvinist
terdapat suatu kebudayaan yang menganggap bahwa kerja keras adalah suatu
keharusan bagi setiap manusia untuk mencapai kesejahteraan spiritual. Kerja
keras bagi ummat protestan sekte Calvinist
adalah suatu panggilan rochani untuk mencapai kesempurnaan kehidupan mereka.
Akibat dari dorongan semangat kerja
keras ini ternyata sangat berpengaruh
dengan semakin melimpahruahnya pada peningkatan kehidupan ekonomi mereka. Dengan bekerja keras serta
hidup hemat dan sederhana para pengikut ajaran Calvin itu tidak hanya
hidup lebih baik, tetapi mereka mampu pula memfungsikan diri mereka
sebagai wiraswasta yang tangguh dan menjadikan diri mereka
sebagai tulang punggung dari sistem ekonomi kapitalis (Suryono Agus, 2002:8).
Weber menerangkan dalam tesisnya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism, etos kerja semuanya sama untuk mencari sebuah
keuntungan dalam kehidupan manusia, kerja keras merupakan kunci kesuksesan
seseorang, dengan kerja keras orang mampu menguasai kehidupan dunia, weber
mengatakan bahwa kerja keras mampu memanusiakan profesornya manusia. Semngat
diartikan etos dan capitalis diartikan kerja.
Spirit kapitalisme adalah“sikap untuk berusaha
memperoleh keuntugan secara rasional dan sistematis untuk memanfaatkan tenaga
kerja seolah-olah ia adalah tujuan akhir itu sendiri. Spirit ini merupakan
Suatu etika sosial yang terfokus pada upaya “memperoleh uang dan lebih Banyak
uang, disertai dengan upaya menghindari kesenangan hidup yang spontan” (
Morris, 2003 :74).
Pengamatan Weber tersebut kemudian oleh para
ahli ilmu sosial dijadikan paradigma pembangunan, khususnya bagi negara-negara
yang sedang berkembang. Paradigma ini mengajarkan bahwa apabila negara yang
sedang berkembang menginginkan usaha pembangunannya berhasil, maka mereka harus
memiliki etos kerja yang tinggi yang dimanifestasikan dalam semangat kerja
keras dan hidup sederhana serta hemat seperti yang telah dilakukan oleh
kelompok sekte Protestant Calvinist
di Eropa. Dengan kata lain, paradigma ini mengajarkan bahwa masalah pembangunan
dan keterbelakangan (development and underdevelopment) dari
suatu etnik atau bangsa tertentu adalah sangat berkait dengan masalah
dimiliki atau tidaknya etos kerja yang sesuai dengan pembangunan. Artinya,
semakin tinggi etos kerja yang
dimanifestasikan dalam kemauan mereka untuk bekerja keras dan hidup hemat dan
sederhana, maka semakin besar kemungkinan mereka berhasil dalam usaha-usaha
pembangunan. Sebaliknya, akan terjadi kegagalan apabila etnik atau bangsa
tersebut memiliki etos kerja yang rendah
(Suryono Agus, 2002:8-9).
Dengan demikian, esensi dari etos kerja
merupakan perilaku kerja positif yang timbul sebagai refleksi dari keyakinan
tentang nilai baik dan benar dalam kinerja pendidikan. Atau sebagai konsep dan
paradigma tentang makna kerja yang diyakini oleh seseorang atau sekelompok
orang dalam birokrasi sebagai baik dan benar yang diwujudkan secara khas dalam
perilaku kerja mereka sehari-hari.
Hasil pengamatan Weber mengartikan etos kerja
merupakan salah satu kunci kesuksesan dalam bekerja, namun dalam hal ini
menyangkut karir sebagi guru, guru yang mampu mengimplementasikan pengetahunya
di iringi dengan semangat tinggi akan mampu menghasilkan siswa yang penuh
kreatif, inovatif dan aktif, karna ini yang memberi dorongan etos kerja yang
tinggi, etos inilah mampu membentuk behavior anak didik sehingga mampu
menjadi insan yang berguna nusa dan bangsa.
B.
Implikasi
Pemikiran Max Weber tentang Etos Kerja dalam Pembelajaran IPS Ekonomi
Berbicara masalah etos kerja dalam
pembelajaran adalah hal yang sangat menarik, sebab perkembangan ekonomi dalam
suatu komunitas-komunitas sosial tidak dapat dipisahkan dengan etos kerja.
Perkembangan ekonomi dalam suatu masyarakat sangat ditentukan oleh etos
kerjanya. ekonomi inilah mempengaruhi terjadinya penurunan etos, guru yang
memberikan warna pendidikan dari sisi kerjanya, guru yang mempunyai etos tinggi
akan mampu mewarnai dunia pendidikan, didalamnya terdapat pembelajaran yang
sungguh-sungguh untuk membentuk jiwa peserta didik untuk menjadi anak yang
berguna nusa, bangsa dan negara khususnya agama.
Dalam pendidikan ada proses untuk membentuk
generasi muda yaitu pembelajaran IPS, dimana hal ini penting dalam pencapaian
hasil, pembelajaran yang efektif ini mampu memanusiakan manusia diiringi dengan
etos kerja guru yang baik, namun untuk mencapai pembelajaran yang efekti itu
hal yang sulit, dengan itu dari pemikiran Max Weber mampu menerapkan konsep
pembelajaran yang efektif dalam pembelajaran IPS, dengan guru yang berkualitas
dan etos kerja yang baik.
Nu’man Sumantri (2001:44) mengartikan
pendidikan IPS yang diajarkan sekolah sebagai “(1) pendidikan IPS yang
menekankan pada tumbuhnya nilai-nilai kewarganegaraan, moral ideologi negara
dan agama, (2) pendidikan IPS yang menekankan pada isi dan metode berfikir
keilmuan sosial, (3) pendidikan IPS yang menekankan pada reflektif inquiry, (4)
pendidikan IPS yang mengambil kebaikan-kebaikan dari butir 1,2,3 diatas”.
Menurut weber dikalangan sakte
protestan calvinis terdapat suatu kebudayaan yang menganggap, bahwa kerja keras
merupakan suatu panggilan rohani untuk mencapai kesejahtraan hidup berbeda
dengan ajaran katolik, seperti di anjurkan oleh Santa Thomas Aquino, yang
melihat kerja sebagai suatu keharusan demi menjalankan hidup, dengan kerja
keras, hidup hemat dan sederhana para penganut ajaran calvinis membuahkan hidup
semakin membaik. Disamping itu juga mampu memfungsikan diri sebangai tulang
punggung diri sistem ekonomi kapitalis (Santa Thomas Aquino dalam Taufik
Abdullah Ed, 1979:9).
Dari pengamatan Max Weber
diketahui, bahwa dalam teorinya jika ingin melihat usaha pembangunan berhasil,
termasuk menghasilkan peserta didik yang profesional pengajar harus memiliki
etos kerja tinggi yang termanifestasikan dalam (1) kerja keras, sebagai
panggilan rohani (2) sikap hemat, dan (3) hidup sederhana.
Weber
menunjukkan beberapa fakta , data statistik, mengenai status kaum protestan
dalam bidang wiraswasta kependidikan. Menurutnya afiliasi sosial keagamaan menunjukkan status ekonomi tertentu.
Weber menyebut bahwa bekerja bukan semata-mata demi memperoleh uang untuk
menunjang kehidupan merupakan suatu panggilan. Hanya dengan memenuhi panggilan
itu tiap hari, seakan-akan menjadi biarawan dalam kehidupan sehari-hari,
barulah bisa diperoleh penyelamatan (
surga ). Dengan kata lain, bekerja menjadi tugas suci yang merupakan bagian
dari doktrin keagamaan; bekerja merupakan bukti bahwa si pemeluk protestan
adalah salah seorang yang terpilih Kegiatan duniawi dianggap memiliki makna
keagamaan. Pensucian kerja atau perlakuan terhadap kerja sebagai suatu usaha
keagamaan yang akan menjamin kepastian dalam diri akan keselamatan berarti
mengingkari sikap hidup keagamaan yang melarikan diri dari dunia. Sikap hidup
keagamaan yang diinginkan Weber adalah askese duniawi (Innerweltliche Askese, Innerwordly Ascesticism), yaitu
intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja –
kegairahan kerja sebagai gambaran dalam pernyataan manusia yang terpilih. Asketisme adalah suatu persyaratan yang
penting dan memadai bagi tumbuhnya kapitalisme rasional namun asketisme perlu
diletakkan dengan sejumlah variabel pokok lainnya. Asketisme merupakan suatu pola kegiatan yang
diletakkan atas dasar-dasar etis dan keagamaan yang menganjurkan pengekangan
diri dan kegiatan ekonomi yang rajin dan teliti ( Weber, 1965:91 ).
Hal yang ingin
dicapai dalam doktrin Weber adalah askes duniawi (Innerweltliche Askese, Innerwordly Ascesticism), yaitu
intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegiatan kerja – semangat
kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia terpilih. Weber memberi tekanan
pada verstehen
yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Etos kerja
terdapat dalam diri seseorang dan hidup dalam lingkungan sehingga dikatakan
etos kerja lingkungan.
Dalam
pembelajaran yang berperan aktif adalah etos kerja, namun etos inilah banyak
faktor untuk menumbuhkannya, baik dari intern maupun ekstern. Pendidikan selalu
menerapkan beragam model pembelajaran untuk mengembangkan dan menjadikan
pendidikan yang bermutu, pendidikan bertaraf nasional bahkan internasional.
Sejalan dengan
pemikiran Max Weber bahwa etos kerja dilain dengan interpretasi dalam
pendidikan, harus mampu dalam interpretasi dalam lingkungan sehingga
menghasilkan Etika Kerja, perhatikan tabel dibawah ini:
Batin
|
Pikir
|
Lahir
|
Keyakinan Kepercayaan Cara Pikir Perbuatan
Etos Kerja
|
Profesionalisme
|
Cara Kerja
|
Etika Kerja
|
Sistem Organisasi
Batin-pikir-lahir secara lebih jelas dapat dikembangkan menjadi
keyakinan-kepercayaan-cara pikir-perbuatan. Keyakinan adalah sesuatu yang sulit
dirubah, termasuk di sini adalah nilai-nilai tentang baik buruk, hati nurani,
dan ajaran agama. Etos kerja dimasukkan ke dalam kategori kepercayaan, yang
bisa berubah sesuai dengan inputan yang masuk dari pikiran. Etos kerja menjadi
dasar dari cara pikir profesionalisme. Dan selanjutnya akan diwujudkan dalam
bentuk perbuatan cara kerja.
Ada dua faktor utama
dari luar yang mempengaruhi suatu etos kerja, yaitu etos kerja lingkungan dan
etika kerja. Etos kerja lingkungan adalah contoh nyata yang diberikan oleh
lingkungan Adapun etika kerja adalah bagian dari kesisteman organisasi, yang
biasanya dituangkan dalam bentuk formal prosedural. Sebagai contoh adalah
kondisi etos kerja di negara ini. Etos kerja di negara ini telah diketahui
bersama berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, terbukti dari
banyaknya kasus korupsi. Maka salah satu jalan melawan etos kerja lingkungan
yang buruk ini adalah dengan menegakkan etika kerja internal organisasi.
Hamid Hasan, 1998:73 mengatakan bahwa Guru yang
memiliki motivasi tinggi dalam mengajar ilmu-ilmu sosial akan memperlihatkan
unjuk kerja yang jauh berbeda dari guru yang memiliki motivasi rendah. Tinggi
rendahnya etos kerja seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan kerja dan faktor diri seseorang.
Seorang guru yang mempunyai etos kerja
yang tinggi akan mengerjakan pekerjaannya lebih semangat dan menekuni
pekerjaannya dengan tanggung jawab besar, sehingga akan berpengaruh terhadap
keberhasilan kerjanya. Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi akan memiliki
motivasi yang tinggi dalam bekerja.
Ada para ahli menerangkan hasil dari etos kerja
yang tinggi diantaranya: Maman Racma (1999), Jansen H, Sinamo and Max Weber
(2005), Wotruba, T.R. dan Wright P.L.
Dalam: Yusuf Hadi Miarso (2004): bahwa menjelaskan dalam satu bagan yaitu yang
dibawah ini:
Manajemen Kelas
|
Etos Kerja
|
Efektifitas Proses Belajar Mengajar
|
Manajemen Kelas, dalam: Maman Racman (1999):
·
Mengecek kehadiran siswa
·
Mengumpulkan pekerjaan hasil siswa, memeriksa dan menilai
hasil pekerjaan.
·
Pendistribusian alan dan bahan
·
Mengumpulkan informasi dari siswa
·
Mencatat data
·
Pemeliharaan arsip
·
Menyampaikan materi pelajaran
·
Memberikan tugas
Etos Kerja, dalam: Jansen H, Sinamo and Max Weber
(2005):
·
Kerja adalah Rahmat
Bekerja tulus penuh syukur
·
Kerja adalah amanah
Bekerja benar penuh bertanggung jawab
·
Kerja adalah panggilan
Bekerja tuntas penuh integritas
·
Kerja adalah aktualisasi
Bekerja keras penuh semangat
·
Kerja adalah ibadah
Bekerja serius penuh kecintaah
·
Kerja adalah seni
Bekerja keras penuh kreatifitas
·
Kerja adalah kehormatan
Bekerja tekun penuh keunggulan
·
Kerja adalah pelayanan
Bekerja paripurna penuh kerendahan hati
Efektivitas Proses Belajar Mengajar, wotruba, T.R. dan Wright P.L. Dalam : Yusuf Hadi Miarso (2004):
·
Pengorganisasian materi yang baik
·
Komunikasi yang efektif
·
Penguasaan dan antusiasme terhadap materi pelajaran
·
Sikap positip terhadap siswa
·
Pemberian nilai yang adil
·
Keluwesan dalam pendekatan pembelajaran
·
Hasil belajar siswa yang baik
Dalam pendidikan IPS di Indonesia, banyak
sekali problema dari intern yang paling dominan yaitu masalah etos kerja guru,
inilah faktor keberhasilan belajar siswa atau mahasiswa dalam pembentukan
karakter seseorang, akan tetapi etos kerja guru yang mampu pula memberikan
keberhasilan belajar siswa dalam mencari jatidirinya, etos kerja guru akan
membawa pendidikan yang lebih baik, yaitu akan memberikan keberhasilna pembelajaran
dengan sempurna karena kesemangatan guru untuk mendidik peserta didiknya, dari
sinilah pendidikan akan lebih baik dan bermakna dalam pembentukan cita-cita
siswa atau mahasiswa yang bertujuan mencari ilmu untuk masa depan yang lebih
baik, dari segi kurikulum dengan adanya etos kerja tinggi akan mampu memebrikan
pembelajaran yang beribu-ribu inovasi dalam pembelajaranya baik dari materi
maupun dalam pembelajaran pengalaman, artinya adanya etos kerja guru yang
tinggi mampu melahirkan manusia-manusia yang cerdas, inovatif, kreatif, yang
mampu menopang kehidupan masa depan yang cerah.
Weber melalui tesisnya yang berjudul “The
Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” banyak mengimplementasikan
tentang semangat kapitalis dipicu dari etos kerja yang memebrikan kontribusi
nyata dalam masyarakat zaman sekarang, masyarakat dapat belajar dari apa yang
telak dipraktekkan oleh Weber untuk mencari keberhasilan dalam dunia, adanya
etos kerja yang baik mampu merevolusi dari kemalasan menjadi kesemangatan dalam
bekerja, yang sehingga mampu akan membewa perubahan dari kehidupan masyarakat
yang primitif menjadi progresif, yang kurang baik menjadi lebih baik, sehingga
mampu merubah tatanan kehidupan dari segi pendidikan nasional menjadi bertarap
internasional.
C. Kontribusi Pemikiran Max Weber tentang Etos
Kerja terhadap Guru dan Siswa.
Pemikiran Max Weber adalah salah satu
inspirasi yang pokok dalam kehidupan kerja, dari pemikiran inilah masyarakat
kalangan calvinisme sangat menilai dari pemikiran Max Weber untuk menerapkan
dalam kehidupanya, dari sinilah penulis ingin mengimplementasikan pemikiran Max
Weber terhadapa dunia pendidikan, yang kaitanya guru dan siswa, sehingga mampu
menjadikan guru yang profesional, meningkatnya prestasi belajar siawa, mempunyai bakat yang lebih baik dimasa yang
akan datang. Dan menjadikan pendidikan yang berkualitas bertaraf nasional
bahkan internasional.
a) Guru yang Profesional.
Profesionalisme
berasal dari kata profesi yang artinya suatu bidang pekerjaan yang ingin atau
ditekuni oleh seseorang. Profesi juga diartikan
sebagai suatu jabatan atau pekerjaan tertentu yang mensyaratkan pengetahuan dan
keterampilan khusus yang diperoleh dari pendidikan akademis yang intensif
(Webstar, 1989:45).
Tinggi rendahnya etos kerja seseorang banyak dipengaruhi oleh lingkungan
kerja dan faktor diri seseorang. Seorang guru yang mempunyai etos kerja yang
tinggi akan mengerjakan pekerjaannya lebih semangat dan menekuni pekerjaannya
dengan tanggung jawab besar, sehingga akan berpengaruh terhadap keberhasilan
kerjanya. Guru yang memiliki etos kerja yang tinggi akan memiliki motivasi yang
tinggi dalam bekerja.
Hamid Hasan (1998 :73) mengatakan
bahwa Guru yang memiliki motivasi tinggi dalam mengajar ilmu-ilmu sosial akan
memperlihatkan untuk kerja yang jauh berbeda dari guru yang memiliki motivasi
rendah.
Dari pemikiran Max Weber menafsirkan bahwa
guru tidak ada semangat bekerja tidak mungkin untuk mendapatkan julukan guru
yang profesional, akan tetapi guru yang mempunyai semangat bekerja akan mampu
menjadikan dirinya sebagai guru yang profesional, bukanlah hanya semata dari
individu untuk menjadikan diri yang semangat, namun ada yang mempengaruhinya
diantaranya internal dan eksternal, Max Weber mengatakan Etos kerja hanyalah
insting dari dalam diri individu sendiri, yang mampu menggerakan dirinya untuk
mengerjakan sesuatu dengan terus menurus diiringi dengan kesenangan. Etos kerja guru
sangatlah penting untuk membentuk karakter siswa, guru mampu mengerjakan tugas
itu desebabkan beberapa faktor diantaranya yang dominan adalah kepala sekolah,
dengan kepala sekolah guru mampu menumbuhkan kesadaran dalam dirinya, karna
kepala sekolah itu pemimpin diatas kerja guru.
Dalam upaya meningkatkan etos kerja, menurut
Wahjosumidjo (1999:92), bahwa “kepala sekolah adalah seorang yang dapat
menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah”. Jika kepala sekolah cakap maka
tentunya akan besar perhatiannya pada etos kerja baik yang menyangkut guru
maupun peserta didik sejak masuk sekolah sampai dengan kembali kerumah
masing-masing. Kepala sekolah juga
berpikir dan berusaha bagaimana guru merasa nyaman di sekolah, senang dalam
bekerja dan memperoleh kesejahteraan yang memadai.
Sejalan dengan itu
Sergiovanni (1987:269), menyebutkan: “School Improvement requires a
strong commitment from the principle”. Pernyataan tersebut memberikan
pengertian bahwa perbaikan sekolah itu sesungguhnya berada pada komitmen kuat
kepala sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah juga di tuntut untuk memiliki
kemampuan, terampil, cerdas untuk mewujudkan iklim kerja yang sehat,
sehingga akan tercipta etos kerja pada guru di sekolah. Jika iklim suatu
organisasi dapat merangsang iklim kerja, tersedia sarana dan prasarana yang
memadai bagi para guru dan peserta didik, maka iklim kerja yang demikian akan
memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan etos kerja guru.
Kegiatan yang membuat seseorang belajar memerlukan
suatu disiplin ilmu, agar dapat melaksanakan tugas secara sistematis dan logis
yang disebut profesi, dari profesi diperlukan etos kerja yang baik untuk membentuk
guru yang profesional.
Profesionalisme dapat dikatakan sebagai mutu,
kualitas, dan tindak-tanduk yang merupakanciri suatu profesi atau
orang yang profesional (memiliki keahlian). Hal ini ditandai dengan adany
standar atau jaminan mutu seseorang dalam melakukan suatu upaya profesional.
Jaminan mutu ini dapat saja dalam kalangan terbatas – dilingkungan profesi
– atau dapat juga dilingkungan yang luas – oleh masyarakat umum membuat
penilaian terhadap kinerjanya.
Etos kerja
merupakan semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang (dalam
hal ini kelompopk guru IPS). Etos kerja seorang profesional guru IPS adalah
selalu membangun suasana ilmiah, memberikan kesempatan kepada siswa belajar
dengan berbagai sumber belajar, dan membangun makna baik melalui interaksi
sosial maupun interaksi personal serta menginternalisasi cara IPS diperoleh,
substansi ilmu pengetahuan sosial, dan penerapan dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai petugas
profesional dalam pendidikan IPS, yaitu mengarahkan siswa kepada tujuan
pendidikan IPS, membentuk masyarakat
yang sadar/Literasi Sains dan Teknologi (LST). Dengan demikian, siswa diberi
kesempatan untuk membentuk persepsi tentang fenomena masyarakat dan proses
interaksi sosial dalam masyarakat.
Salah satu teori berkaitan dengan peningkatan etos
kerja sebagaimana yang dikemukan oleh Mitchel,T.R dan Larson (1987:343) bahwa
indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi: (1) kemampuan,
(2) prakarsa/inisiatif, (3) ketepatan waktu, (4) kualitas hasil kerja, dan (5)
komunikasi. Dari teori diatas banyak hal untuk mengembangkan etos kerja
guru yang lebih baik.
Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan
suatu upaya yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap guru, kepala
sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk
mengembangkan etos kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar
yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara umum menurut. (Triguno, 2002:141-142) upaya yang harus ditempuh
dalam pengembangan etos kerja tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Peningkatan
produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan
memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang
dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.
2. Sistim pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang
memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas,
produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.
3. Dalam melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang
pendidikan sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna
mempertebal rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam
mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.
4. Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh
sikap mental manusia yang produktif.
5. Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar
terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi
masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga
pendidikan formal tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh
yang positif terhadap masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja
yang diharapkan.
6. Menumbuhkan motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti
pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya,
semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi
guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar
dalam meningkatkan etos kerjanya.
Upaya-upaya
pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur
dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan
secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu
peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya
seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati
tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan
etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini
karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia,
khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan
usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.
Barometer sikap mental seorang guru dapat
meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya
dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya, hal tersebut
dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk
menumbuhkan etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja
sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap
inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu
adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk
mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja
merupakan bagian dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran
dan kebijaksanaan yang tertuang dalam perencanaan dan program yang terpadu dan
disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren maupun interen organisasi
(Triguno 2002:3).
Dari
pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah
dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang
lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua
orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot.
Cara
terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu
motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis (Jansen, 2010:24).
Dari sinilah dengan adanya etos kerja yang
tinggi, pemikiran Max Weber mengajarkan kekalangan pendidikan untuk mendapatkan
pendidikan yang bermutu, maka terapkan guru-guru yang profesional penuh dengan
sikap etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi.
Profesi apapun ketika tidak diiringi dengan kesemangatan kerja tidak akan
sempurna hasilnya. Demikian pula halnya dengan guru, sebuah profesi yang tak
kalah mulianya dibanding profesi yang lain, bahkan dari profesi inilah lahir
generasi-generasi yang diharapkan menjadi penentu masa depan. Guru adalah aset
nasional intelektual bangsa dalam pelaksanaan pendidikan yang mempersiapkan
pengembangan potensi peserta didik dalam rangka melahirkan sumber daya manusia
yang mampu, cerdas, terampil dan menguasai IPTEK serta berakhlak mulia guna
menunjang peran serta dalam pembangunan.
Berkaitan dengan itu Sahabuddin (1993:6)
mengemukakan bahwa seorang guru profesional harus mempunyai empat gugus
kemampuan yaitu: (a) merencanakan program belajar mengajar, (b) melaksanakan
dan memimpin Proses Belajar Mengajar, (c) menilai kemajuan Proses Belajar
Mengajar dan (d) memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar mengajar dan
informasi lainnya dalam penyempurnaan Proses Belajar Mengajar
Untuk mencapai suatu profesionalisme bukanlah hal yang mudah, tapi harus
melalui suatu pendidikan dan latihan yang relevan dengan profesi yang ditekuni,
dan melakukan profesinya dengan ulet, etos kerja yang baik. Profesionalitas
sangat diperlukan di era global, jika tidak maka kita akan tergilas oleh arus dan
pada akhirnya tersisih.
Sikap seorang guru yang
profesional dituntut dengan sejumlah persyaratan minimal, antara lain: memiliki
kualitas pendidikan profesi yang memadai, memiliki kompetensi keilmuan sesuai
dengan bidang yang ditekuninya, memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik
dengan anak didiknya, mempunyai jiwa kreatif dan produktif, mempunyai etos
kerja dan komitmen yang tinggi terhadap profesinya, dan selalu melakukan
pengembangan diri secara terus menerus (countinuous improvement) melalui
organisasi profesi, internet, buku, seminar dan semacamnya (Sidi, 2003:50).
Guru mampu menjadikan dirinya sebagai guru yang
profesional, hal ini sangat berpengeruh terhadap prestasi siswa, sangat
menentukan pendidikan yang berkualitas, guru inilah yang bisa merubah tatanan
kehidupan dunia pendidikan, banyak guru yang tidak mampu melaksanakan
profesinya itu hal yang sangat urgen didalam pendidikan karena bisa
mengakibatkan fatal dalam pembentukan karakter bangsa. namun, ketika hal seperti ini terjadi ada
beberapa hal yang menjadikan guru yang tidak profesional diantaranya yang
paling penting diperhatikan adalah kesemangatan dalam bekerja, etos kerja yang
tinggi akan mampu menjadikan anak bangsa yang lebih progresif dan aktif
diberbagai bidang, kebanyakan tidak ada yang semangat untuk melaksanakan
profesinya, ini hambatan dalam proses belajar mengajar, dan akan mengakibatkan
terjadinya penurunan prestasi siswa.
Sejalan dengan uraian di atas Menurut Rice dan
Bishoprick (1971: 5) guru profesional adalah
guru yang mampu mengelola dirinya sendiri dalam melaksanakan tugas-tugasnya
sehari-hari. Profesionalisasi disini dipandang sebagai satu proses
yang bergerak dari ketidaktahuan (ignorance) menjadi tahu, dari
ketidakmatangan (immaturity) menjadi matang, dari diarahkan oleh orang
lain (other directedness) menjadi mengarahkan diri sendiri, dan menjadikan dirinya dengan etos kerja yang
baik, selalu semangat, energic, dalam melakukan profesinya dengan kesenangan.
Ibrahim Bafadal (2000: 5) mendefinisikan bahwa
profesionlisme guru adalah kemampuan guru dalam mengelola dirinya sendiri dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sehari-hari.
Ada beberapa ciri-ciri profesionlisme guru sebagai
berikut:
1.
Mengidenfikasi
kekurangan, kelemahan, kesulitan, atau masalah dialami dirinya.
2. Menetapkan
program peningkatan kemampuan guru dalam
mengatasi kekurangan, kelemahan, kesulitanya.
3.
Merumuskan
tujuan program pembelajaran.
4.
Menetapkan
serta merancang materi dan media pembelajaran.
5.
Menetapkan
bentuk dan mengebangkan instrumen penilaian.
6.
Menyusun
dan mengalokasikan program pembelajaran.
7.
Melakukan
penilaian.
8.
Malaksanakan
tindak lanjut terhadap siswa.
Hal ini mengandung
arti bahwa seorang guru mempunyai semangat kerja yang tinggi dan kesungguhan hati untuk
mengerjakan dengan sebaik-baiknya.
Adapun karakteristik seorang pendidik/guru selain
berkepribadian juga diharapkan dapat mewujudkan perilaku mengajar yang tepat.
Karakteristik yang diharapkan adalah :
1.
Memiliki
minat yang besar terhadap pelajaran dan mata pelajaran yang diajarkannya.
2.
Memiliki
kecakapan untuk memperkirakan kepribadian dan suasana hati secara tepat serta
membuat kontak dengan kelompoknya secara tepat. Memiliki kesabaran, dan
sensitivitas yang diperlukan untuk menumbuhkan semangat belajar.
3.
Memiliki
pemikiran yang imajinatif (konseptual) dan praktis dalam usaha memberikan penjelasan
kepada peserta didik.
4.
Memiliki
kualifikasi yang memadai dalam bidangnya, baik isi maupun metode.
5.
Memiliki
sikap terbuka, luwes, dan eksperimental dalam metode
dan teknik.
Kepribadian guru adalah pengaruh yang sangat besar
bagi peserta didik. Seperti yang telah disebutkan oleh Muhibin Syah bahwa
kepribadian guru adalah faktor yang sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, hal ini mengandung arti
bahwa seorang guru mempunyai semangat kerja yang tinggi dan kesungguhan hati
untuk mengerjakan dengan sebaik-baiknya, karena disamping sebagai pembimbing,
dan pembantu guru juga berperan sebagai panutan.
Untuk mencapai pendidikan yang berkualitas tidaklah semudah membalik
telapak tangan, banyak masalah yang dihadapi dalam Proses Belajar Mengajar,
diantaranya keterbatasan sumber belajar, keterbatasan penguasaan
pengetahuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dalam kemajuan pendidikan,
cara menyampaikan materi pelajaran, cara membantu anak agar belajar lebih baik,
cara membuat dan memakai alat peraga, peningkatan hasil belajar anak dan
pelaksanaan berbagai perubahan kebijakan yang berhubungan dengan tugasnya.
Ibrahim Bafadal (2003: 4), guru
merupakan unsur manusiawi yang sangat menentukan keberhasilan pendidikan. Guru
merupakan unsur manusiawi yang sangat dekat hubungannya dengan anak didik dalam
upaya pendidikan sehari-hari di sekolah. Dalam latar pembelajaran di sekolah
pernyataan tersebut sangat tergantung kepada tingkat profesionalisme guru.
Jadi, diantara keseluruhan komponen pada sistem pembelajaran di sekolah ada
sebuah komponen yang paling esensial dan paling menentukan kualitas pembelajaran
yaitu guru. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya bilamana dihipotesiskan
bahwa peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah tidak mungkin ada tanpa
peningkatan profesionalisme guru yang
mempunyai etos kerja yang baik.
Dasar utama dari sekolah atau pendidikan yang
bermutu adalah pembelajaran yang efektif (Idris, 2006:103). Sekolah yang efektif memerlukan guru yang profesional, karena
profesionalisme dalam segala pekerjaan utamanya dalam pendidikan adalah syarat
mutlak agar tujuan pendidikan dapat tercapai. Guru Profesional adalah guru yang
memenuhi aspek-aspek pokok yaitu:
1. Memiliki ilmu pengetahuan tertentu.
2. Dapat mengaplikasikan kemampuan/kecakapannya.
3. Memiliki kaitan dengan kepentigan umum.
Dengan adanya tenaga pendidik yang profesional maka akan memberikan
pengaruh yang besar terhadap peserta didik. Pengaruh tersebut tentunya
diharapkan dapat membawa peserta didik kearah kemajuan.
Kepribadian guru adalah pengaruh yang sangat
besar bagi peserta didik. Seperti yang telah disebutkan oleh Muhibin Syah
(1995:225), bahwa kepribadian guru adalah faktor yang sangat berpengaruh
terhadap keberhasilan seorang guru sebagai pengembang sumber daya manusia, karena disamping sebagai pembimbing, dan pembantu guru
juga berperan sebagai panutan.
Dari
pembahasan diatas penulis sedikit menyimpulkan bahwa setiap peserta didik
dibawa panutan guru, profesionalitas akan mampu membawa peserta didik untuk
lebih baik dengan berbagai cara yang dilakukan guru, akan tetapi pada dasarnya
guru yang profesional lah yang mampu merubah prestasi siswa, dan guru tidak
mungkin menjadi profesional jika tidak ada etos kerja yang baik, dalam teori
Max Weber mengatakan bahwasanya kerja adalah panggilan, kerja adalah rahmat,
kerja adalah ibadah, kerja adalah pensucian, kerja adalah amanah tanggung
jawab, dari sinilah guru yang profesional dibentuk oleh etos kerja yang tinggi,
menurut Max Weber etos kerja datang dalam kesadaran sendiri yang mampu mengatur
dalam kerjanya, sehingga mampu menjadaikan profesinya dengan sempurna, dengan
itu guru yang profesional akan mampu menjadikan peserta didik dengan prestasi
yang baik, dan peserta didik pula menginginkan guru yang profesional, karena
hasil guru yang profesional sangat berdampak terhadap prestasi siswa.
b) Prestasis Belajar Siswa
Apabila berbicara tentang prestasi belajar siswa, maka tidak lepas dari
pembicaraan tentang kegiatan atau pelaksanaan belajar itu sendiri, mengingat guru
yang kurang semangat dalam mengajarnya, etos kerja yang kurang akan berdampak
terhadap pembelajaran dan prestasis siswa, guru salah satu pemegang peranan
yang sangat penting, akan tetapi sering sekali seorang pendidik dan anak didik
dihadapkan pada permasalahan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar.
Semua permasalahan tersebut dalam kaitannya dengan guru yang kurang semangat
mengajar, atau etos kerja yang lemah haruslah dapat teratasi, sehingga dapat
mencapai prestasi belajar yang diharapkan, karena prestasi belajar dapat
menunjukkan sampai di mana tercapainya tingkat keberhasilan suatu tujuan dalam
proses belajar mengajar. Untuk lebih jelasnya mengenai apa yang dimaksud dengan
prestasi belajar, Ilmu Pengetahuan Sosial, kiranya perlu melengkapi beberapa
pendapat tentang prestasi belajar. Kata prestasi belajar terdiri dari dua suku
kata, yaitu prestasi dan belajar. Untuk memudahkan dalam memahaminya, maka akan
diuraikan secara satu persatu apa itu prestasi dan apa itu belajar.
Menurut Suharsimi Arikunto (2002:4),
“prestasi adalah hasil
kerja yang keadaannya sangat kompleks”. Dengan demikian prestasi adalah
hasil usaha yang telah dilakukan seseorang setelah melakukan suatu pekerjaan
atau perbuatan.
Adapun belajar menurut pengertian secara psikologis, adalah merupakan suatu
proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi
dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Perubahan-perubahan
tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku.
Menurut Slameto (2003:2), pengertian belajar dapat didefinisikan sebagai
berikut: “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil
pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
Poerwaodarminto (1995:354), dalam kamus besar bahasa Indonesia mengartikan
bahwa prestasi adalah hasil yang telah dicapai (dari yang telah dilakukan,
dikerjakan, dan sebagainya).
Hal ini terkait dengan Max Weber seseorang mencapi titik temu dalam
bekerja, disebabkan adanya kerja keras, sifat kapitalis dalam kerja diterapkan,
namun kapitalis yang bertanggung jawab, tidak merugikan orang lain, saling
menguntungkan. Hasil akhir dalam bekerja dari proses sampai out put sangat
jelas hasil kerjanya, siswa yang bersungguh-sungguh akan mampu mencapai prstasi
siswa yang baik. Dalam pendidikan prestasi dapat dilihat dari statistik atau
data yang mempu melihat kemampuan peserta didik.
Supriyono (1991:17), mendefinisikan pengertian Prestasi adalah hasil
belajar yang telah dicapai dan dapat dinyatakan dalam angka-angka maupun dengan
kata-kata.
Menurut Nana Sudjana (2000:22), mengatakan bahwa prestasi belajar adalah kemampuan-kemampuan
yang dimiliki siswa setelah menerima pengalaman belajarnya.
Kemampuan siswa sangatlah berbeda, dengan hal ini guru yang semangat untuk
merubah kemampuan siswa adalah guru yang semangat untuk bekerja dalam
profesinya, guru inilah guru yang profesional, dalam pembelajaran guru yang
kerja keras beda dengan guru yang malas-malasan, karna guru adalah panutan
keberhasilan belajar siswa.
Didalam penelitian ini prestasi siswa diartikan sebagai keberhasilan dalam
proses belajar mengajar baik dalam pada aspek afektif, kognitif, dan
psikomotorik. Sudirman N (1987:55), memberi penjelasan aspek yang ada pada
bidang afektif, kognitif, dan psikomotorik antara lain:
a. Pengetahuan
Mengingat materi-materi yang telah dipelajari dari
fakta-fakta merupakan teori abstrak dan prestasi belajar terendah.
b. Pengertian
Kemampuan menangkap arti materi dari menterjemahkan,
menginterprestasikan bahan dan peramalan suatu topik lebih tinggi dari
pengetahuan.
c. Aplikasi
Kemampuan menggunakan bahan yang telah dipelajari ke
dalam situasi baru dan konkrit, misalnya aturan, metode, konsep hukum dan
teori.
d. Analisis
Kemampuan memecahkan bahan di dalam komponen-komponen,
bagian-bagian sehingga struktur organisasi jelas bagi yang menganalisa hubungan
dan prinsip organisasinya
e. Sintesa
Kemampuan meletakkan bagian-bagian dalam suatu keseluruhan
meliputi penghasilan merencanakan tindakan, menyusun suatu hubungan akrab,
menggunakan tingkatan kreatif dengan tekanan pada fenomena struktur baru.
f. Evaluasi
Kemampuan mempertimbangkan nilai dari materi untuk suatu
tujuan tertentu. Pertimbangan ini didasarkan pada kriteria yang jelas. Ini
merupakan hasil belajar tertinggi.
Dari pengertian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa prestasi adalah kemampuan-kemapuan yang dimiliki siswa
setelah menerima pengalaman belajar seperti
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik yang diperoleh melalui usaha dalam
menyelesaikan tugas-tugas belajar, kamampuan inilah tidak sempurna ketika tidak
ada guru yang semangat untuk bekerja dalam profesinya. Etos kerja lah yang
merubah semua pekerjaan diberbagai profesinya, dengan hal ini pendidikan etos
kerja sangat berperan untuk menjadikan siswa yang berintelektual dan akhlakul
kariman, dan menunjang pendidikan yang baik, mencapai pendidikan nasional
bahkan internasional.
c) Pendidikan Berkualitas
Berbicara tentang pendidikan
sangatlah urgen untuk membahasnya, dengan itu penulis ingin menerangkan
pendidikan yang berkualitas diakibatkan dengan dorongan pembelajaran yang baik,
guru yang profesional diiringi dengan etos kerja yang tinggi, mampu
meningkatkan prestasi siwa yang baik, pendidikan sangatlah penting untuk
pembentukan generasi muda indonesia dalam menghadapi zaman genderang moderen
ini, agar mampu menghadapi dengan menjadikan karakter bangsa yang lebih baik
lagi.
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan
mutlak yang harus dipenuhi sejak dari ayunan ibu sampai liang lahat. Keberhasilan suatu
pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh semangat yang menggelora dalam dada
atau biaya yang memadai namun yang tidak kalah pentingnya juga dipengaruhi oleh
etos keja guru.
Etos berasal dari bahsa yunani (ethos) yang memberi
arti sikap, ke pribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Dari
kata etos ini, kita kenal pula kata etiket yang hampir mendekati pada
pengertian akhlak atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik buruk moral,
sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau semangat yang amat kuat
untuk mengerjakan sesuatu secara optimal, lebih baik dan bahkan berupaya untuk
mencapai kualitas kerja yang sesempurna mungkin. Dalam etos tersebut, ada
semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu untuk menghindarkan segala
kerusakan (fasad) sehingga setiap pekerjaannya di arahkan untuk mengurangi, bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari
hasil pekerjaannya (Toto, Tasmara, 2002:15).
Pendidikan
adalah hal sangat penting dalam kemajuan kehidupan, hal ini pendidikan beragam
pendidikan untuk mencerdaskan anak bangsa, dari segi pendidikan formal,
informal, dari institusi, bahkan sampai univesitas, hal ini bukan semata dalam
nama pendidikan, akan tetapi pembentukan karakter bangsa, dari sinilah ada
peran yang paling penting yaitu guru, haruslah guru yang profesional, guru yang
semangat kerja, mempunyai sifat etos kerja yang tinggi dan bertanggung jawab,
pasti akan membawa pendidikan yang berkualitas dalam ilmu pengetahuan dan
teknologinya.
Weber pun tidak
melihat pendidkan dari aspek struktural, institusi, atau sistem melainkan dari
sudut pemahaman dan pemaknaan individu tentang pendidikan. Pendidik harus
memahami bahwa peserta didik merupakan peserta aktif yang memiliki kesadaran,
selalu merancang kegiatannya dan selalu melakukan refleksi. Makna pendidikan
tidak hanya di maknai sebgai transfer of knowledge tetapi pendidikan
harus mampu menciptakan sisitem
pengetahuan siswa untuk membangun kehidupan
dimasa depan. Pendidikan adalah sebagai
bagian dari pengalamna mereka untuk menyongsong masa
depan maka berangkat dari pengalamanlah pendidikan itu berfungsi baik bagi
pendidik, siswa mapun institusi pendidikan. Institusi
pendidikan harus memberikan pengalaman yang lebih bagi para sisiwa sebagai
bekal dalam kehidupannya.
Doktrin Protestan yang kemudian melahirkan karya Weber
tersebut telah membawa implikasi serius bagi tumbuhnya suatu etos baru dalam
pendidikan, etos itu berkaitan langsung dengan semangat untuk bekerja keras
guna merebut kehidupan dunia dengan sukses. Ukuran sukses dunia – juga merupakan ukuran bagi sukses di
akhirat. Sehingga hal ini mendorong suatu semangat kerja yang tinggi di
kalangan guru kepada anak didiknya. Ukuran sukses dan ukuran gagal bagi individu akan dilihat dengan
ukuran yang tampak nyata dalam aktivitas sosial ekonominya. Kegagalan dalam
memperoleh kehidupan dunia akan menjadi ancaman bagi kehidupan akhirat, artinya
sukses hidup didunia akan membawa pada masa depan yang baik di akhirat dengan
“jaminan” masuk surga, sebaliknya kegagalan yang tentu berhimpitan dengan
kemiskinan dan keterbelakangan akan menjadi “jaminan” pula bagi individu itu
masuk neraka.
Makna
bekerja bagi orang muslim adalah suatu upayah yang sungguh-sungguh, dengan
mengerahkan seluruh aset, pikiran, dan zikirnya untuk mengaktualisasikan menampakkan
arti dirinya sebagai hamba Allah yang dapat menundukkan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khairu ummah) atau dengan
kata lain dapat juga kita katakan bahwa dengan hanya bekerja manusia itu memanusiakan
dirinya. (Toto, Tasmara. 2002: 25).
Oleh
karena itu merupakan kewajiban bagi seorang guru untuk melakukan peningkatan
etos kerja juga melakukan Kontruksi dan inovasi dalam proses pembelajaran, agar
peserta didik bisa lebih aktif , kreatif, inovatif, dan mampu menghadapi dunia
masa depan yang lebih cerah lagi, dengan itu etos kerja guru yang profesional
mampu menciptakan siswa-siswi atau mahasiswa yang berprestasi baik dan mampu
pula meningkatkan mutu pendidikan, deskriptif singkat, input siswa bayak ketika dalam prosesnya baik
maka autput pastilah lebih baik dan membawa institut yang lebih baik lagi,
karena lembaga inilah berhasil menciptakan generasi-generasi muda yang
berakhlak mulia bermoral.
Menurut
Sinamo tertulis dalam jurnal Chairul Yoel, (2009:6-7), mengatakan bahwasanya
etos kerja menjadi empat pilar teori utama. Keempat pilar inilah yang
sesungguhnya bertanggung jawab menopang semua jenis dan sistem keberhasilan
yang berkelanjutan (sustainable success system) pada semua tingkatan.
Keempat elemen itu lalu dia konstruksikan dalam sebuah konsep besar yang
disebutnya sebagai Catur Dharma Mahardika (bahasa Sanskerta) yang
berarti Empat Darma Keberhasilan Utama, yaitu:
1. Mencetak
prestasi dengan motivasi superior.
2. Membangun
masa depan dengan kepemimpinan visioner.
3.
Menciptakan nilai baru dengan inovasi kreatif.
4.
Meningkatkan mutu dengan keunggulan insani.
Keempat
darma ini kemudian dirumuskan pada delapan aspek Etos Kerja sebagai berikut:
1.
Kerja adalah rahmat; karena kerja merupakan pemberian dari Yang Maha Kuasa,
maka individu harus dapat bekerja dengan tulus dan penuh syukur.
2.
Kerja adalah amanah; kerja merupakan titipan berharga yang dipercayakan pada
kita sehingga secara moral kita harus bekerja dengan benar dan penuh tanggung
jawab.
3.
Kerja adalah panggilan; kerja merupakan suatu dharma yang sesuai dengan
panggilan jiwa kita sehingga kita mampu bekerjsa dengan penuh integritas.
4.
Kerja adalah aktualisasi; pekerjaan adalah sarana bagi kita untuk mencapai
hakikat manusia yang tertinggi sehingga kita akan bekerja keras dengan penuh
semangat.
5.
Kerja adalah ibadah; bekerja merupakan bentuk bakti dan ketaqwaan kepada Sang
Khalik, sehingga melalui pekerjaan individu mengarahkan dirinya pada tujuan
agung Sang Pencipta dalam pengabdian.
6.
Kerja adalah seni; kerja dapat mendatangkan kesenangan dan kegairahan kerja
sehingga lahirlah daya cipta, kreasi baru, dan gagasan inovatif.
7.
Kerja adalah kehormatan; pekerjaan dapat membangkitkan harga diri sehingga
harus dilakukan dengan tekun dan penuh keunggulan.
8.
Kerja adalah Pelayanan; manusia bekerja bukan hanya untuk memenuhi kebutuhannya
sendiri saja tetapi untuk melayani sehingga harus bekerja dengan sempurna dan
penuh kerendahan hati.
Dari empat pilar tersebut mengambarkan etos kerja yang mampu menjadikan
semua sistem berhasil seperti Pendidikan mempunyai peranan penting dalam
peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan mempengaruhi secara penuh
pertumbuhan ekonomi bangsa. Hal ini bukan saja karena pendidikan akan
berpengaruh terhdap produktivitas,
tetapi juga berpengaruh terhadap fertilitas (angka kelahiran) masyarakat. Dengan
pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam
meghadapi perubahan-perubahan dalam kehidupan. Jadi, pada umumnya pendidikan
diakuai sebagai investasi sumber daya manusia.
Pendidikan memberikan sumbangan yang
besar terhadap perkembangan kehidupan sosial ekonomi melalui peningkatan
pengetahuan, keterampilan, kecakapan, sikap serta produktivitas. Oleh karena
itu, pendidikan merupakan suatu investasi yang berguna bukan saja untuk
perorangan atau individu saja, tetapi juga merupakan investasi untuk masyarakat
yang mana dengan pendidikan sesungguhnya dapat memberikan suatu kontribusi yang
substansial untuk hidup yang lebih baik di masa yang akan datang.
Pendidikan IPS adalah pendidikan yang dinamis dalam menjalankan pembelajaranya,
pendidikan IPS ini sangatlah sulit untuk memahami kehidupan masarakat sekarang,
problema dalam kehidupan sekarang sangatlah komplek dan sangat sulit, namun
pendidikan IPS sudahlah mudah untuk memahaminya
banyak hal cara memecahkan suatu problema, diantaranya hal yang paling
urgen adalah pendidikan, pendidikan inilah yang mampu merubah karakter
seseorang, merubah kemajuan negara dari pendidikan, karna pendidikan adalah
investasi dunia, dengan itu dalam pendidikan untuk mencapai tujuan tertentu
tidak lain mencerdaskan anak bangsa haruslah melihat proses dalam pembelajaran
kepada anak didik. Guru, kepala sekolah, inilah sangat mempengaruhi
keberhasilan siswa, prestasi siswa baik atau tidaknya tergantung kerja guru,
dengan itu penulis mengambil kesimpulan bahwasanya untuk menjadikan anak bangsa
yang cerdas.
Pemikran Max Weber yang mengatakan bahwa dalam kerja haruslah bekerja
keras, karna kerja adalah ibadah kerja adalah panggilan kerja adalah
aktualisasi diri, kerja adalah amanah kerja adalah seni, dari sini Max Weber
menegaskan bahwasanya kerjakanlah profesimu dengan semangat supaya mampu
mencapi tujuan tertentu, etos kerja guru haruslah baik karna kerja tanpa
diiringi dengan keuletan kesemangatan tidaklah sempurna, guru yang semangat
kerja akan mampu menjadikan dirinya sebagai guru profesional, guru profesional
mampu pulan menjadikan anak didiknya berprestasi, dan mampu menjadikan
pendidikan yang berkualitas bertarap nasional bahkan bisa sampai internasional.
Etos kerja sangatlah mempengaruhi dalam proses pembentukan karakter bangsa,
dengan etos kerja yang baik. sisiwa, mahasiswa mampu meenjadikan dirinya yang
giat belajar semangat bekerja dalam profesinya tidak bermalas-malasan, sudahlah
waktunya merubah kehidupan diri dari dini, untuk menghadapai globalisasi ini
yamng begitu memarak dalam dunia pendidika maupun politik. Dengan etos kerja yang tinggi akan mampu
mebawa perubahan yang besar terhadap kehidupan masyarakan sekarang yang lebih
baik, adil, sejahtra, dan berprikemanusiaan.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis kajian yang telah
dilakukan pada bab-bab sebelumnya, ditemukan kesimpulan sebagai berikut:
1. Max Weber, bapak Sosiologi yang mencetuskan
karyanya yang begitu populer dikalangan protestan yang menggagas tentang
semangat kapitalis, etos kerja yang tinggi, lahir di Erfurt, Thuringia, Jerman tanggal 21 April 1894 dan meninggal di
Munchen, Jerman tanggal 14 Juni 1920 tepatnya pada usia 56 tahun, Ketika
berumur delapan belas tahun Weber minggat dari rumah, belajar di Universitas
Heildelberg. Weber telah menunjukkan kematangan intelektual, tetapi ketika
masuk universitas ia masih tergolong terbelakang dan pemalu dalam bergaul.
Sifat ini cepat berubah ketika ia condong pada gaya hidup ayahnya dan bergabung
dengan kelompok mahasiswa saingan kelompok mahasiswa ayahnya dulu, ayahnya
seorang birokrat yang mempunyai kepentingan sakral, mempunyai politik yang mapan.
Ibu Max Weber adalah seorang penganut calvinisme yang setia. Max Weber belajar
Ilmu Hukum dan kemudian ditunjuk sebagai dosen di Universitas Berlin.
Pada tahun 1893 ia menjadi guru besar Ilmu ekonomi di Heidelberg. Ia
menggantikan seorang ekonomi terkemuka Karl Knies.kemudian dia
melnjutkan menjadi profesor dan dari situ Weber Mencetuskan beberapa karyanya
diantaranya sebagi berikut: The Protestan Etnic and The Spirit of Capitalism, Economy and Society, From Max Weber Esay in Sociology, The Theory
Sosioal and Economic and Organization, General Economi
History, Religionasseziologie sociologi of relegion.
2. Teori-teori pemikiran Max Weber tentang Etos
Kerja yang tercatat dalam teori Calvinisme, dan Sosiologi yang berisi tentang:
·
Pengintegrasian
antara kehidupan bekerja dan kehidupan beragama menjadi satu kesatuan hidup
yang kudus bagi tuhan.
·
Pekerjaan sebagai sebuah “panggilan (calling)”.
71
|
Pekerjaan sebagai sebuah “panggilan (calling)”.
·
Motivasi dan
upah kerja.
·
Sukses dalam
pekerjaan merupakan anugrah Tuhan, bukan hasil upaya kita.
·
Moderasi terhadap pekerjaan, Weber dalam teorinya
menginginkan dengan adanya etos kerja tinggi maka akan mendapatkan
kebahagiaan dunia akherat, mampu
mengintegrasian dalam kehidupan dengan agama dan menyatukan kesatuaan
kehidupan, manusia pasti suatu saat akan dipanggil untuk melakukan kegiatanya,
dalam weber kerja adalah panggilan dari tuhan yang begitu suci, dengan itu
untuk mengabdi kepada tuhanya maka sebagai hambanya harus mempunyai etos kerja
yang tinggi untuk memenuhi panggilan tuhanya, kerja tidak mengharapkan buruh
akan tetapi kemaslakatan sesama manusia, kesuksesan dalam bekerja adalah
anugrah dari tuhanya yang telah memberikan kesempatan untuk bekerja, sehingga
mempu memenuhi kehidupan didunia dan diakhirat.
Hal yang urgensi untuk melakukan pembacaan
pemikiran Max Weber etos kerja adalah mengenai karakter kepribadian manusia
dalam kesadarannya sendiri. Weber mampu untuk menjelaskan semangat kapitalis
dalam menghasilkan semua kekayaan dalam hal finansial maupun spiritual, hal
yang mendasar dalam etos kerja hanya dalam kesadaran belaka yang mampu merubah
nasib masyarakat, Guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi adalah guru yang
mampu membentuk anak bangsa yang burguna nusa dan agama, ada beberapa yang
mempengaruhi etos kerja guru yang baik daiantaranya dari intern exsteren,
interen yaitu dari dirinya sendiri awal kesadaran dalam melakukan pekerjaannya,
exstern yaitu dari lingkungan dalam kerjanya kali ini yang berurgensi merubah
etos kerja guru yaitu kepala sekolah, inilah yang mampu merubah etos kerja
dalam lingkungan sehingga awal belum etos kerja yang baik menjadi Guru-guru
yang mempunyai kerja keras atau etos kerja yang baik untuk melakukan
pekerjaanya, Weber menguraikan dalam karyanya protestan semangat kapitalis
mengatakan bahwa etos kerja itu diawali dengan kesadaran sendiri dan awal kerja
keras itu datang karna sudah ada panggilan dari tuhan yang suci sehingga
melakukan pekerjaan dengan penuh semangan ihlas tanpa mengharapkan buruh akan
tetapi mengharapkan kemaslakatan masyarakat, akan tetapi mengumpulkan kekayaan
dengan sebanyak-banyaknya dengan cara bekerja keras tanpa mengetahui kemalasan.
Dengan guru yang mempunyai etos kerja yang tinggi dan semangata kerja akan
mampu menghasilkan peserta didik yang berkualitas inovatif, kreatif, berakhlak
mulia, adil, jujur dan berguna bagi nusa dan bangsa.
3. Kontribusi terhadap pendidikan IPS adalah
menjadikan guru yang profesional, menjadikan meningkatnya prestasi siswa, dan
mutu dalam pendidikan bertarapkan nasional bahkan internasional, hal ini
penulis tuangkan pemikiran Max Weber dalam teorinya kapitalisme semangat dalam
bekerja atau etos kerja, dari sini teori Weber mampu mengimplementasikan
pemikiranya terhadap proses pembelajaran pendidikan IPS, sehingga mampu merubah
tatanan pendidikan, dari sifat dasar guru semangat, menjadikan meningkatnya
etos kerja guru yang baik, berpengaruh terhadap guru yang profesional,
berimplikasi terhadap meningkatnya prestasi siswa, dari semuanya menjadikan
pendidikan yang berkualitas bermutu menjadi pendidikan nasional sampai taraf
internasional.
B. Saran
Etos kerja guru merupakan salah satu sifat
yang mampu membentuk karakter siswa, mengkaji dari pemikiran Max Weber
hendaknya dijadikan sebuah panutan bagi masyarakat yang berharga, betapa
pentingya etos kerja guru yang baik dan bersifat iklas dalam bekerja di
kehidupan masyarakat, hal ini demi terwujudnya pendidikan yang lebih progresif
dan mampu membentuk siswa beretos kerja baik dan berakhlak mulia unutk
mengabdikan dirinya sebagai generasi muda demi memajukan indonesia yang
berasaskan kemanusiaan, dan dalam segi pendidikan mampu mencapai pendidikan
yang bertaarap internasional.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,Taufik. 1979, Agama, Etos Kerja Dan Perkembangan
Ekonomi, Jakarta: LP3ES.
Ahmadi, Abu. H. Drs. 2004. Psikologi Belajar, Jakarta: PT RINEKA CIPTA.
A Karim. 2004.
Bangunan Ekonomi yang Berkeadilan (Teori, Praktek, dan Realitas Ekonomi
Islam). Yogyakarta: Magistra
Insania Press.
Al-Khoziny, STAI. 2012. Progres Jurnal Manajemen Pendidikan,
Surabaya: PP Pergunu.
Andreski, Stanislav.
1989. Max Weber: Kapitalisme, Birokrasi, dan Agama, diterjemahkan oleh Hartono. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Atmodiwirjo,S. 2001. Manajemen
Pendidikan Indonesia.Ardadizyaa. Jakarata.
Bachtiar,
Wardi. Dr. 2006. Sosiologi klasik, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Chatib, Munif. 2012. Gurunya Manusia, Bandung: PT Mizan Pustaka.
David Frisby. 2002. Georg Simmel (Key
Sociologists) ,Routledge, London.
Donald L, Levine.
1985. 'Rasionalitas dan Kebebasan: Multivocals Lazim', dalam bukunya, The Flight dari Ketidakjelasan: Esai dalam Teori Sosial
dan Budaya, Chicago: University of Chicago Press.
Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan,
Universitas Gadjah Mada.
Geertz, Clifford. 1973, Ethos, World View and The Analysis of
Sacred Symbols, dalam Interpretation of Culture, New York: Basic
Books, Inc.
Gerth, HH, C. Wright Mills. 1948. From Max Weber: Essays
in Sociology . London: Routledge
(Inggris).
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern: Suatu Analisis Karya-Tulis Marx Durkheim dan Max Weber/ Anthony
Giddens; penerjemah, Soeheba Kramadibrata.-
Jakarta: UI-Press.
Ibrahim, Bafadal. 2000. Peningkatan Profesionalisme Guru, (Jakarta: PT. Bumi Aksara).
Idris, Jamaluddin. 2006. Sekolah Efektif Dan Guru Efektif. Yogyakarta: Suluh Press.
ons Init P.T.
Gramedia.
Lebang, Tomi. 2007.Berbekal Seribu Akal Pemerintahan Dengan
Logika, Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi.
M. Abdul Karim.
2007. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta: Pustaka
Book Publisher.
Muhibin,
Syah. 1995. Psikologi Pendidikan Suatu Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosdakarya).
Mulyadi, Asep. 2008.Islam Dan Etos Kerja
Relasi Antara Kualitas Keagamaan Dengan Etos Produktifitas Kerja, Peneliti menyelesaikan program S2 Unisma Bekasi 2001.
Nurhayati, Eti. 2009. Pendidikan
Emansipatoris, Mengajak Masyarakat Untuk Berbuat Bersama Berperan Bersama
Berperan Sastra dalam Studi Islam: Memanusiakan Manusia Perspektif Social
Kritis Transformatif. Cirebon: P3M STAIN Cirebon.
Poerwaodarminto,
1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Pemda Kebudayaan).
Said Hamid Hasan,
(1998). Pendidikan Ilmu Sosial. Jakarta ; Proyek Pendidikan Tenaga
Akademik Ditjen Dikti, Depdikbud.
Sasono, Adi. 1998. Solusi
Islam atas Problematika Umat (Ekonomi, Pendidikan dan Dakwah), Jakarta: Gema Insani.
Satrahidayat,
Rochdjatun, Ika, Dr. 2009. Membangun Etos Kerja Dan Logika Berfikir Islam.UIN-Malang
Press.
Silalahi, U. (2006). Metode
Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Press.
Sinamo, Jansen. 2000, Strategi Adaptif Abad Ke
21, Jakarta, Gramedia, Nana. 2000. Dasar-dasar Proses
Belajar Mengajar. (Bandung: Sinar Baru Algensindo).
Sudrajat, Ajat. 1994. Etika Protestan dan Kapitalisme Barat,
Relevansinya dengan Islam Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Sven Eliaeson. 2000. "Caesarism
Konstitusi: Politik Weber dalam Konteks Jerman Mereka," di Turner,
Stephen Cambridge University Press
Syed Nawab Haider Naqvi.
2003. Menggagas ilmu Ekonomi
Islam Terj. M. saiful Anam dan M. Ufuqul Mubin, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Tasmara, Toto. Etos Kerja Pribadi
Muslim, Cet. II Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995.
Taqiyuddin. 2008. Sejarah Pendidikan Melacak Geneologi Pendidikan Islam
Indonesia, Bandung:Mulia press.
Tim Dosen Fakultas
Tarbiyah. 2009.
Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press.
Upe, Ambo. 2010. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari
Filosofi Positivistik Ke Pos Positivistik, Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada.
Weber, Max. 1914. Economy and Society: An Outline of Interpretive
Sociology. Edited by Guenther Roth and Claus Wittich. University of California
Press: Berkeley, Los Angeles, London.
________1927. General Sejarah Ekonomi. New York: Greenberg.
________1946. Essays in Sociology,
New York: Oxford University Press.
________1949. "'Objektivitas' dalam Ilmu Sosial dan Kebijakan Sosial," dalam The Metodologi Ilmu Sosial, ed. Edward A. Shils dan Henry A. Finch. Glencoe: Free Press.
________1949. The Methodolgy of The Social Science. Translated and edited by
E.A. Shils and H.A. Finch. The Free Press, New York.
________1949. "'Objektivitas' dalam Ilmu Sosial dan Kebijakan Sosial," dalam The Metodologi Ilmu Sosial, ed. Edward A. Shils dan Henry A. Finch. Glencoe: Free Press.
________1958.The Protestant Ethic and The
Spirit of Capitalism, New York:
Charles Scribners Sons.
________2000. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme, diterjemahkan oleh Yusup Priyasudiarja. Surabaya: Pustaka Promethea.
Wolfgang Justin Mommsen. (1984). Max Weber
dan Politik Jerman, 1.890-1920.University of Chicago
Press.University of Chicago Press.
Yatim, Riyanto. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan Tinjauan Dasar,
(Surabaya: SIC).
Ya’qub, Hamzah. 1992. Etos
Kerja Islami, Petunjuk Pekerjaan yang Halal dan Haram dalam Syari’at Islam, Cet. I, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
0 Response to "“PERSPEKTIF MAX WEBER TENTANG ETOS KERJA GURU DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN IPS-EKONOMI”."
Post a Comment