Sejarah Peradaban Islam
Sejarah Peradaban Islam
A.Corak
pemikiran politik mutazilah
Kemunculan
berikutnya adalah Mu’tazilah yang mempunyai ciri khas ialah rasionalitas.
Kerasionalannya tergambar dalam memberikan peran akal begitu besar dalam
kehidupan, sehingga implikasinya dikatakan bahwa manusia bebas menentukan
perbuatannya baik atau buruk. Mu’tazilah sebenarnya merupakan gerakan keagamaan
semata, mereka tidak pernah membentuk pasukan, dan tidak pernah menghunus
pedang. Riwayat-riwayat yang menyebutkan tentang keikutsertaan beberapa
pemimpin kaum Mu’tazilah, seperti ‘Amru Ibnu ‘Ubaid dalam serangan yang
dilancarkan kepada al-Walid ibn Yazid, dan yang menyebabkan gugurnya Al Walid
ibnu Yazid, tidaklah menyebabkan Mu’tazilah ini menjadi suatu golongan yang
mempunyai dasar-dasar kemiliteran, sebab pemberontakan terhadap Al-Walid itu bukanlah
pemberontakan kaum Mu’tazilah, melainkan adalah suatu pemberontakan yang
berakar panjang yang berhubungan dengan kepribadian dan moral Khalifah. Maka
ikut-sertanya beberapa orang Mu’tazilah dalam pemberontakan itu hanyalah secara
perseorangan, disebabkan prinsip-prinsip umum, yang menyebabkan rakyat
memberontak kepada penguasa yang zalim.
Walaupun gerakan Mu’tazilah merupakan
gerakan keagamaan, namun pada saat ia mempunyai kekuatan ia tidak segan-segan
menggunakan kekerasan dan tekanan-tekanan terhadap pihak-pihak yang
menantangnya. Pemakaian kekerasan itu dipandang sebagai salah satu dari sikap
Mu’tazilah yang tercela. Dan adanya tekanan-tekanan itu menjadi sebab yang
terpenting bagi lenyapnya aliran ini di kemudian hari. Meskipun aliran
Mu’tazilah pada era dewasa ini sulit ditemukan, pemikiran-pemikiran Mu’tazilah
sepertinya terus berkembang, tentunya dengan gaya baru dan dengan nama-nama
yang cukup menggelitik dan mengelabui orang yang membacanya. Sebut saja istilah Modernisasi Pemikiran, Sekulerisme,
dan nama-nama lainnya yang mereka buat untuk menarik dan mendukung apa yang
mereka anggap benar dari pemikiran itu dalam rangka usaha mereka menyusupkan
dan menyebarkan pemahaman dan pemikiran yang bersumber dari akal pikiran semata.
Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik
beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa
pemerintahan Ali.
Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai
pengangkatannya khalifah yang keempat. Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah
baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan – perbedaan antara Washil Ibn Atha
dengan gurunya Hasan al – Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang
yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat
dosa besar.
Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul
nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum
ada kata sepakat antara mereka. Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang
menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situai dan
perkembangan saat itu, pemikiran – pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan
siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al – Jabbar yang berbicara
tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah
kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk
membentuk negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar
pertimbangan rasio dan tuntutan mu’amalah manusia.
Abd al – Jabar menempatkan
kepala negara pada posisis yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya
kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau
pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala
negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara,
asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan
pemilihan umat Islam sendiri.
B.
Arti pluralisme dalam perspektif mutazilah
Secara sederhana pluralisme dapat
diartikan sebagai paham yang mentoleransi adanya keragaman pemikiran,
peradaban, agama, dan budaya. Bukan hanya menoleransi adanya keragaman
pemahaman tersebut, tetapi bahkan mengakui kebenaran masing-masing pemahaman,
setidaknya menurut logika para pengikutnya. Berbicara soal logika ini, erat
kaitannya dengan kaum mu’tazilah yang sebagaimana mendewakan akal mereka
sehingga mereka ternobatkan sebagai kaum rasionalis. Latar belakang munculnya
gerakan Pluralisme Paham ini muncul akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran
oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Acap kali Prestasi
sebuah bangsa yang demokratis sangat berkaitan erat dengan penghargaannya atas
pluralisme. Hal ini akan menjadi tolok ukur, apakah bangsa tersebut berhasil
menegakan nilai-nilai pluralis, seperti: toleransi, kesetaraan dan kooperasi;
atau hanya sekedar jargon saja. Penegakan pluralisme merupakan “rukun iman”
yang tidak bisa dinafikan dengan alasan apapun. Mengabaikan nilai tersebut
berarti mencederai demokrasi yang sedang kita bangun.
Namun
demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima; khususnya di
negara-negara yang memiliki tingkat kolektifitas dan homogenitas yang tinggi.
Nilai-nilai pluralistik bukan sesuatu yang given atau terberikan begitu saja;
melainkan harus diperjuangkan. Dengan kata lain, fakta bahwa masyarakat atau
suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan orang yang hidup
didalamnya memahami dan menghargai pluralisme. Oleh karena itu, penegakan
pluralisme merupakan kewajiban mendasar bagi mereka yang peduli dengan
demokrasi dan keberlangsungan hidup bangsa ini.
Pluralisme itu sendiri berarti suatu pemahaman yang
mengakui adanya keragaman atau eksistensi yang berbeda-beda. Dalam bahasa Ahmad
F. Fanani, Pluralisme adalah sebuah
pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri
dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja . Dengan demikian,
pluralisme merupakan ruh dari demokrasi yang mengakui adanya perbedaan. Disisi
lain, pluralisme juga memberikan suatu arahan tentang bagaimana memahami suatu
kebenaran mutlak yang disandingkan dengan realitas teologis yang bermacam-macam
yang termanifestasi dalam agama-agama. Pernyataan ini pun ada keterkaitannya sebagaimana Harun Nasution
paparkan ,seorang pembaharu islam yang mendefinisikan dirinya sebagai penerus golongan
mutazilah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sebagaimana
yang telah dipaparkan diatas, kaum mutazilah merupakan kaum yang bisa dikategorikan
sebagai aliran berteologi rasionalis, karena apa ? sebagaimana yang telah
diketahui, sejarah mencatat mereka lebih mengedepankan akal atau rasio dalam
menanggapi segala permasalahan seputar agama. namun laun lambat laun kelompok
ini pun mulai condong ke ranah politik. Dan ini tergambar salah seorang tokoh
mutazilah Abd Al-jabar mengangkat bicara soal kedudukan seorang khalifah.
Adapun Perspektif mutazilah terhadap fenomena pluralisme, memposisikan
mutazilah sebagai kaum yang bisa dikatakan menjunjung tinggi asas demokrasi
karena lebih mengedepankan persatuan dan kesatuan.
0 Response to "Sejarah Peradaban Islam"
Post a Comment